Jadi, apa yang dibicarakan direkam. Karena sekejap ingat soal aksi merekam tanpa izin itu, saya tak banyak berbicara di ujung telepon. Jika ditanya, saya hanya bilang, "saya tak mau berbicara". Â
Sekali lagi, untuk pembicaraan yang bersifat pribadi, atau obrolan warung kopi yang untuk konsumsi terbatas, tak sepantasnya untuk direkam tanpa izin. Apalagi sampai disebarkan. Hal itu tentu bisa memunculkan trauma. Kita tak bisa dengan rileks untuk berbicara pada orang lain karena takut direkam.
Saya sendiri tak paham apakah ada UU yang bisa menjerat orang biasa yang merekam pembicaraan rahasia atau pribadi. Harusnya ada UU yang menjerat mereka yang asal rekam tanpa izin. Yakni mereka yang asal rekam tanpa izin dan tak memiliki kewenangan yang diatur oleh UU. Lain ceritanya jika dia penyidik. Itu masih memungkinkan.
Tapi kalau orang biasa yang melakukannya, tentu tak patut merekam tanpa izin atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tidak patut merekam tanpa izin atau tanpa pemberitahuan untuk pembicaraan yang bersifat rahasia atau pribadi. Orang yang asal rekam seperti itu akan dicatat oleh zaman sebagai pengkhianat. Orang yang tak layak dipercaya. Tak layak dipercaya! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H