Belakangan ada tudingan pada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK dituding berada di balik ditangkapnya Edhy Prabowo oleh KPK. Tudingannya, penangkapan Edhy adalah cara JK mengadu Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Sehingga, Prabowo terpuruk dan poros JK-Anies Baswedan-Rizieq Shihab bisa melenggang bagus di Pilpres 2024.
Tudingan pada JK itu terungkap dari rekaman suara calon Wali Kota Makassar Danny Pomanto. Danny lah yang mengungkapkan JK ada di balik kasus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Tentu saja atas tudingan yang muncul di rekaman itu, pihak JK membantahnya.
Saya tak terlalu tertarik dengan apa yang diungkapkan Danny Pomanto dan tudingan pada JK. Yang saya tertarik adalah bahwa Danny mengungkapkan hal itu dalam rangka obrolan biasa, tapi kemudian malah direkam tanpa sepengetahuan Danny.Â
Saya tertarik dengan aksi asal rekam tanpa izin. Apalagi yang merekam itu tak memiliki dasar UU untuk melakukan perekaman tanpa izin. Lebih parah lagi, rekaman itu menyebar.
Bagi saya, aksi asal rekam tanpa izin itu adalah tindakan tak menyenangkan. Bagaimana sebuah obrolan pribadi bisa direkam sedemikian rupa. Lalu, rekaman itu bisa dijadikan senjata untuk kepentingan apa saja.
Terus terang saja, saya pernah mengalaminya. Mungkin tiga kali atau lebih. Pertama adalah pembicaraan yang konteksnya rahasia antara beberapa orang.Â
Pembicaraan yang didasari atas rasa percaya antarsesama. Kala itu ada kisaran lima orang yang berbicara dari hati ke hati tentang satu hal dan berdasar rasa saling percaya.
Parahnya, salah satu dari kami merekamnya. Rekaman itu kabarnya akan dijadikan senjata untuk melakukan serangan. Saya tentu tak terlalu kelimpungan karena saya jarang bicara di forum itu. Tapi teman saya yang lain belingsatan. "Bagaimana hal seperti itu direkam tanpa izin, tanpa sepengetahuan kita," kata seorang teman.
Tapi untungnya, rekaman itu tak pernah diungkap dan apa yang dikhawatirkan tak pernah terjadi. Kedua, pada sebuah pembicaraan lain dengan orang lain pula. Tanpa izin dia melakukan perekaman.Â
Waktu itu tiga orang, juga membicarakan hal yang pribadi dan dari hati ke hati. Saya sendiri tak ngeh jika sedang direkam. Akhirnya teman saya yang mengetahui perekaman itu. Saya tentu tak nyaman.
Satu lagi, saya juga pernah seperti akan terjebak dalam sebuah aksi perekaman. Satu orang "bertanya dan menyudutkan" melalui telepon genggam. Untungnya, saya ingat bahwa si orang itu sering menelepon sambil merekam.Â