Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gelombang 3 untuk Jokowi dan Kritik untuk Peradaban

7 Oktober 2020   14:43 Diperbarui: 7 Oktober 2020   14:41 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo. foto: antara foto/akbar nugroho gumay dipublikasikan kompas.com

Kebijakan mungkin tak akan berubah, tapi wacana yang tertulis di banyak tempat atau diskusi yang terekam akan memberi pandangan pada peradaban kita. Peradaban yang kita harapkan bermanfaat bagi anak cucu kita.

Pengesahan UU Cipta Kerja saya kira adalah terjangan gelombang besar ketiga dalam satu tahun pemerintahan Jokowi di periode kedua ini. Gelombang pertama terjadi saat penolakan revisi UU KPK. Tapi, seperti diketahui revisi yang ditolak oleh banyak elemen itu akhirnya bisa melenggang.

Revisi itu sebelumnya dimaknai sebagai usaha pelemahan KPK. Di masa sekarang ini, saya pikir dugaan pelemahan seperti menemui konfirmasinya. KPK belakangan ini tak bertaji dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, mereka terkesan ribut sendiri di dalam. Hal itu pernah saya tulis di Kompasiana dan bisa dibaca di sini.

Gelombang pertama itu bisa dikatakan dimenangkan pemerintah. Desakan yang begitu kuat saat itu untuk membatalkan revisi UU KPK, tak menemui jalannya.

Gelombang kedua adalah pandemi Covid-19. Kalau pandemi ini memang bukan hanya gelombang serangan bagi pemerintahan Indonesia saja. Hampir semua pemerintahan di dunia dibuat repot oleh pandemi yang tak kunjung usai ini.

Pandemi ini bukan persoalan pemerintah melawan rakyat, tapi pemerintah melawan pandemi. Jika pun akhirnya ada beda pendapat pemerintah dengan rakyat dalam penanganan pandemi, saya pikir itu adalah imbas dari pandemi dan kebijakan pemerintah terhadap pandemi.

Sampai Selasa (6/10/2020), ada 311.176 orang di Indonesia yang positif Covid-19. Kemudian, ada 11.374 yang meninggal karena Covid-19. Adapun yang sembuh dari Covid-19 ada 236.437. Covid-19 seperti mesin pembunuh di banyak negara, termasuk Indonesia.

Saya menilai jika Covid-19 belum dituntaskan, gelombang keruwetan akan menghujam pemerintah dan efeknya pada masyarakat Indonesia. Jika gelombang pertama terjadi kisaran satu atau dua bulan, gelombang kedua ini sudah lebih dari enam bulan.

Kini, gelombang ketiga itu adalah pengesahan UU Cipta Kerja. UU ini diserang banyak pihak karena tidak berpihak pada buruh. Beberapa poin yang disorot misalnya soal potensi jadi pekerja kontrak abadi, rawan PHK, cuti panjang, dan masih banyak lagi.

Gelombang ketiga ini cukup besar. Pertama tentu dari para buruh yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Kedua dari orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk kepentingan tertentu. Ketiga mereka yang netral dan melihat buruh dalam posisi yang sangat terjepit dengan adanya UU itu.

Salah satu orang netral yang saya baca komentarnya pagi ini adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Dia mengajak publik untuk teriak bersama tolak Omnibus Law yang di dalamnya ada UU Cipta Kerja itu.

Ada beberapa hal yang bisa atau sudah terjadi terkait dengan gelombang protes ini. Pertama gerakan buruh yang mulai mogok untuk beberapa hari. Kedua adalah gerakan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Ketiga adalah "kemenangan pemerintah".

Harapan terbesar dan paling aman adalah di MK. Diharapkan ada yang mengajukan uji materi ke MK dan MK memutuskan membatalkan UU Cipta Kerja itu. Tapi, ya siapa yang tahu apa putusan MK. Bisa jadi MK menguatkan UU Cipta Kerja itu.

Jika harapan di MK gagal, saya pikir itu adalah kemenangan pemerintahan Jokowi atas gelombang protes yang membesar ini. Potensi ke arah itu tentu ada. Seperti kekalahan masyarakat ketika pemerintah "menang" di Mahkamah Agung (MA) terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Kalaiu misalnya pemerintah menang di gelombang ketiga ini, saya pikir teriakan untuk menolak UU Cipta Kerja bisa terus didengungkan. Untuk apa? Untuk wacana yang lebih baik, untuk peradaban yang lebih baik.

Kelak ketika protes tentang UU Cipta Kerja ini terbaca 10 atau 20 tahun lagi, anak cucu kita akan tahu bagaimana orang-orang telah berjuang sekuat tenaga membela buruh. Orang-orang sudah dengan kekuatan penuh untuk memberi tempat yang baik bagi para buruh.

Anak cucu kita pun tahu kenapa kemudian di saat ini banyak yang memprotes UU Cipta Kerja itu. Harapannya, anak cucu kita akan menempatkan buruh di tempat yang lebih baik. Gagal sekarang, masih ada waktu yang akan datang. Bukan untuk pertempuran, tapi untuk peradaban yang lebih baik, yang menghargai manusia tak selayaknya mesin. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun