Itulah kebingungan yang saya alami. Saya kebingungan ketika harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang berbeda. Kebiasaan soal kiri-kanan melawan kebiasaan arah mata angin.
Saya lahir dan besar di sebuah kota di Jawa Tengah. Sejak kecil, di tempat saya lebih merujuk pada arah mata angin. "Mau ke mana?" kata seseorang. "Ke Utara!" kata yang lain. Arah mata angin itu dijadikan patokan.
Sederhananya begini. Jika ingin mencari rumah seseorang, maka biasanya kita akan bertanya pada orang lain. Nah, kebiasaan waktu itu adalah menyebutkan dengan arah mata angin. "Anda lurus saja ke utara, lalu timur. Lurus saja, nanti sampai," jawabannya biasanya seperti itu.
Akhirnya petunjuk berdasarkan arah mata angin itu saya pegang sampai dewasa. Di sisi lain, saya sangat lama berada di rumah yang menghadap ke selatan. Sebenarnya, arah mata angin ini lebih tepat dan akurat daripada merujuk pada kiri dan kanan. Sebab, arah mata angin itu lebih pasti.
Baca juga : Konsep Arah Mata Angin untuk Anak Tunanetra
Kebiasaan arah mata angin itu kemudian harus saya ubah ketika hidup di Jakarta. Di Jakarta, seperti yang saya rasakan sendiri, orang lebih merujuk pada kiri dan kanan. Yang paling sering adalah saat mencari rumah atau lokasi. Maka, biasanya diberi tahu, ke kiri, ke kanan, kiri, dan selanjutnya.
Menunjuk kiri kanan ini lebih simpel. Namun, memang agak jadi masalah jika perspektifnya beda. Misalnya, kalau saya dari Timur ke Barat, maka sebelah kanan saya adalah Utara. Tapi kalau saya dari Barat ke Timur, sebelah kanan saya adalah Selatan.
Mungkin karena lebih simpel, akhirnya saya cukup menikmati penggunaan kiri dan kanan. Tapi kemudian, saya kembali lagi hidup di Jawa Tengah. Pola kiri kanan yang selama di Jakarta saya pakai, kemudian berantakan.
Ini lebih berantakan lagi karena saya hidup di daerah yang berbeda dengan daerah sebelum saya ke Jakarta. Budayanya pun agak beda, sekalipun sama-sama Jawa Tengah. Kini, saya sering kelimpungan sendiri jika ada orang memberi tanda dengan arah mata angin.
Baca juga : Unik, Ternyata di Banjarmasin Tidak Ada Arah Mata Angin!
Kalau sedang slow mungkin tak terlalu masalah. Namun, kalau sedang banyak pikiran dan dikejar waktu, maka kiri kanan dan arah mata angin bisa jadi problem. Satu ketika saya mengejar waktu untuk membeli sesuatu. Saya tanya ke teman. Dia kemudian menjelaskan dengan arah mata angin.
Seperti yang saya ceritakan di atas, bahwa saya terbiasa keluar rumah memandang ke selatan karena rumah saya dulu menghadap ke selatan. Kini keluar rumah menghadap ke utara. Bicara arah mata angin, maka saya agak kelimpungan. Biasanya saya kembali melihat musala di kampung. Itu menghadap ke mana, maka itulah arah Barat.
Nah, teman saya itu memberi petunjuk sebuah tempat yang harus cepat saya tuju dengan arah mata angin. Sontak saja saya kebingungan. "Gini saja pak, itu kanan atau kirinya jembatan. Kalau arah mata angin saya kebingungan," kata saya pakai bahasa Jawa yang sudah saya terjemahkan.
Karena pikiran sedang banyak, maka saya meminta teman ini menjelaskan pakai kiri kanan. Parahnya, dia tak biasa menjelaskan kiri dan kanan. Di tengah keruwetan pikiran dan dikejar waktu, masalah itu menjadi polemik tersendiri.
Baca juga : Rambu Arah Jalan
Lalu bagaimana solusinya? Ya jangan terlalu stres dan santai saja. Kalau santai dan tidak stres, masalah seperti itu bisa ditanggulangi dengan baik. Lalu, tarik napas dalam-dalam dan berpikir dengan jernih. Itu saja. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H