Selain itu, bisa jadi yang menandatangani petisi adalah orang yang tak terkait langsung. Misalnya, yang menandatangani petisi adalah orang di luar Jakarta yang tak tersentuh dengan kebijakan Anies. Bisa jadi yang menandatangani petisi adalah orang WNA yang kebetulan keturunan Indonesia yang tak tersentuh dengan kebijakan Jokowi.
Maka, saya melihat dua petisi ini adalah petisi hiburan. Petisi yang meramaikan dunia maya saja. Sebab, faktanya tak bisa dikatakan sebagai representasi dari keinginan masyarakat secara umum karena penandatangan petisi sangat sedikit.
Sulit Terjadi
Secara UU, Jokowi memang bisa mencopot Anies. Ada beberapa prasyarat seorang presiden bisa mencopot jabatan gubernur. Hal itu tertuang dalam UU Pemda. Di pasal 78 ayat 1 dan 2 dijelaskan syarat kepala daerah berhenti. Misalnya, meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau diberhentikan.
Yang dimaksud diberhentikan karena banyak faktor. Di antaranya adalah melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan, berhalangan tetap. Setidaknya ada 10 poin dalam UU tersebut yang menjelaskan seorang kepala daerah diberhentikan.
Pasal 79 ayat 2 menjelaskan, jika DPRD Provinsi tak mengusulkan pemberhentikan gubernur yang bermasalah, maka menteri bisa mengusulkannya ke presiden. Kemudian, presiden bisa memberhentikannya.
Lalu apakah Jokowi akan memberhentikan Anies? Saya pikir tak akan dilakukan. Pertama, Jokowi tidak seperti itu. Kedua, secara politik sangat tidak menguntungkan bagi Jokowi dan partainya.
Lalu soal pencopotan Jokowi? Ya mungkin saja tapi mekanismenya jauh lebih lama dan panjang. Harus melalui MPR dan MK. Harus ada pembuktian. Jadi, dua petisi itu memang sulit akan terjadi. Setidaknya itulah pandangan saya. Â
Hiburan Saja
Jadi, buat hiburan saja. Bahwa ada pendukung yang mendukung dengan sangat luar biasa. Sampai membuat petisi, tapi yang menandatangani petisi hanya sedikit. Riuh politik itu jadikan hiburan saja.
Tapi, kalau riuh politik itu sudah sampai pada perpecahan dan gejala konflik riil, maka kita semua harus memiliki kepedulian. Setidaknya melokalisir agar konflik itu tak meluas menjadi konflik nyata. (*)