Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemuda Pikun

12 September 2020   15:47 Diperbarui: 12 September 2020   16:20 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini cerita temanku. Namanya Soni. Dia baru berusia 35 tahun. Bagiku sekalipun sudah punya istri dan anak satu, Soni ini masih bisa dikatakan muda. Tapi, pikirannya sudah dipenuhi banyak hal. Mungkin itulah yang membuatnya sering lupa.

Aku ingat, sejak usia 25 tahun, Soni mulai pelupa. Makin ke sini, dia juga makin pelupa. Padahal masih 35 tahun sudah pelupa. Biasanya kan mereka yang sudah sangat berumur yang pelupa. Akhirnya, kami pun menyebutnya Soni Pikun.

Soni yang anak tunggal ini memang sudah tak memiliki ayah. Sebab, sang ayah meninggal dalam kecelakaan kerja ketika Soni kelas 6 SD. Imbasnya, si ibu banting tulang di pasar. Saat SMA, Soni memutuskan keliling jualan macam-macam usai pulang sekolah. Kenapa? Karena si ibu sudah mulai terjerat rentenir di pasar. Soni terpaksa harus membanting tulang untuk membantu ibunya. Tahu sendiri kan, kalau rentenir itu memberi utang bunganya gila-gilaan.

Soni pernah jualan es cream di sore hari, pernah jualan alat tulis kantor, pernah jualan daleman. Bukan hanya dagang, tapi dia kadang narik becak juga. Pokoknya Soni ingin mandiri. Dia juga kasihan pada ibunya yang membanting tulang sendirian.

Karena sekolah sambil berdagang, nilai Soni memang berantakan. Dia tak hanya memikirkan PR dan ujian, tapi juga utang ibunya, dagangannya, dan cintanya yang mulai bersemi dengan Rodhiah, wanita desa teman sekelas di SMA yang malu tapi manis itu.

Nilai Soni sering ditolong oleh guru-gurunya. Rata-rata nilai raport Soni tiap catur wulannya adalah 6. Dulu saat Soni sekolah masih pakai catur wulan, belum semesteran.

Pernah satu siang, Soni melihat ibunya dibentak oleh dua lelaki kekar yang bertugas menagih utang. Ibu Soni gelagapan, bahkan mohon-mohon sembari membungkukkan badan. Soni melihat dari kejauhan. Dia sendiri juga takut berhadapan dengan dua lelaki kekar seperti itu.

Momen itu terjadi setelah Soni berbunga-bunga bisa duduk berjejeran di kursi angkutan desa bareng Rodhiah. Momen itu terjadi kala besoknya Soni harus ujian. Momen itu terjadi ketika Soni sudah bersiap untuk berdagang. Semua menumpuk. Memusingkan.

Lulus SMA, Soni bekerja di sebuah supermarket di kota. Dia juga memutuskan untuk menyunting Rodhiah. Padahal, kala itu Rodhiah sudah punya pacar. Tapi, Soni bersikeras saja. Lobi ke sana ke mari, keluarga Rodhiah mau menerima Soni.  Kenapa? Karena Soni konkret dan pekerja keras. Sementara, pacar Rodhiah ngga jelas kapan mau melamar.

Menikahlah Soni dan Rodhiah. Namun, dua hari setelah hari bahagia itu, ibu Soni wafat. Terpukullah Soni. Apalagi dia masih harus nyicil utang ke rentenir yang belum tuntas. Tapi, Rodhiah yang juga anak semata wayang itu merelakan sebagian petak sawah warisan untuk dijual.

Uang hasil jual sawah itu untuk membayar utang ke rentenir dan membangun rumah kecil tak jauh dari rumah bapak dan ibu Rodhiah.

***

Soni pernah memiliki dua anak. Namun, dua anak pertamanya itu meninggal dunia di usia kurang dari satu tahun. Pasangan itu baru punya anak lagi ketika usia mereka menginjak 30 tahun.

Roy, anak semata wayang Soni yang berumur lima tahun itu terbaring di rumah sakit karena terjatuh dari sepeda, tangannya agak bermasalah. Untung ada asuransi dari tempat kerja Soni yang meringankan beban.

"Kamen Rider, pak," kata Roy pada Soni. Roy memang tergila-gila dengan Kamen Rider.

"Kamen Rider itu apa bu?" tanya Soni ke Rodhiah.

"Ya itu dulu namanya Ksatria Baja Hitam, yang dari Jepang itu pak," kata Rodhiah sembari senyum dengan kulit cabai merah yang nempel di gigi.

Soni kemudian membayangkan dirinya jadi Doraemon yang bisa mengeluarkan alat pembersih gigi manjur, agar gigi Rodhiah tak mudah ditempeli yang bukan bukan.

"Pak, jangan ngelamun. Belikan sekarang di toko, boneka Kamen Rider," kata Rodhiah.

Soni bergegas pergi ke toko. Sampai di toko dia lupa disuruh beli apa. Telepon genggam tak dia bawa sehingga tak bisa teleponan dengan Rodhiah. "Aduh..." gerutu Soni.

"Pak beli Doraemon satu," kata Soni yakin. Lalu sampailah di rumah sakit.

"Pak Kamen Rider pak, bukan ini," kata Roy dengan merengek menahan sakit di tangannya.

"Pak, kok Dorameon. Kan mintanya Kamen Rider," kata Rodhiah sabar.

Balik lagi Soni ke toko mainan. Tapi sayang, kalau sudah beli tak bisa dikembalikan atau ditukar. Soni pun bingung. Akhirnya dia beli Kamen Rider setelah melihat secarik kertas yang dia bawa yang ditulis Rodhiah, "Kamen Rider".

Soni kemudian berpikir lalu buat apa Doraemonnya. Dia pun memutuskan memberikan Doraemon pada salah satu pelayan toko yang juga masih kerabatnya. "Ti, ini untuk anakmu saja. Si Sinta itu," kata Soni pada Siti.

"Kang, anakku namanya Santi. Kalau Sinta kan gadis manis di ujung gang itu," kata Siti.

Soni malu, dan berlalu pergi. Sampai rumah sakit, Soni bercerita pada Rodhiah bahwa dia terpaksa membeli boneka lagi karena yang sudah dibeli tak bisa ditukar.

 "Pak, lha Doraemonnya mana?" kata Rodhiah.

"Sudah aku kasih ke Siti, buat anaknya yang namanya Sinta itu," kata Soni.

"Sinta? Anaknya Siti ya namanya Santi. Sinta itu gadis manis di ujung gang. Kamu kasih ke Sinta apa Santi?" tanya Rodhiah pelan tapi menekan, sembari mencubit pusar Soni.

Soni kalau tertekan jawab sembarangan. "Iya, maksudku buat Sinta," kata Soni yang kembali salah.

"Apaaaaaa?" kata Rodhiah dengan cubitan keras sekali ke bawah perut Soni. Soni geli geli sakit.

***

Soni berkali kali jadi suruhan bosnya. Kadang dia disuruh tanpa dibayar. Sebab, Soni memang tak berani meminta. Hal itu kemudian menjadi keterusan. Soni sendiri tak berani membantah atau melawan. Tapi memang kadang dia juga dapat jatah dari bosnya. Jatah yang berlebih.

Kalau pas Lebaran, Soni dapat THR yang lebih besar dari pekerja lainnya. Tapi, menurutku itu tak sepadan dengan kerja keras dan pengorbanan Soni selama ini. Soni bisa bekerja 12 jam sehari karena lemburan-lemburan tak jelas itu.

Soni yang mudah disuruh dan tak diberi tips itulah yang membuat Rodhiah meradang. Rodhiah dapat laporan dari teman Soni. Maka, pada suatu hari, kemarahan Rodhiah memuncak. Soni tak dapat jatah di malam hari.

Esoknya, Soni bisa pulang lebih cepat dan dapat tips dari bosnya. Baru jam 10 pagi Soni disuruh pulang. "Kamu istirahat saja," kata Si Bos.

Soni bergegas pulang membeli makanan kesukaan Rodhiah, mi ayam. Dia memarkir motor di depan rumah mertuanya. Dia berharap memberi kejutan karena Rodhiah tak tahu kalau dirinya sudah pulang. Sebab tak ada suara motor yang terdengar.

Soni memutuskan masuk rumah lewat pintu samping. Soni mengendap-endap, pintu rumah bagian samping terbuka. Tak jauh dari pintu itu, terlihat roknya Rodhiah tersingkap. Soni kemudian mencoba merabanya. Tapi geger.

"Ngapain kamu pegang-pegang?" kata yang mengagetkan Soni. Sebab, yang dia pegang bukan Rodhiah, tapi tetangganya, Ratinem. Soni ternyata salah masuk rumah.

"Ah kacau," gumam Soni.

"Damai saja Nem, damai. Aku lupa masuk rumah Nem. Damai. Ini ada mi ayam," kata Soni.

Ratinem disogok mi ayam langsung diem.

Soni bergegas pulang ke rumah. Tapi dia lupa untuk beli mi ayam pengganti. Akhirnya dia sampai rumah dengan tangan kosong. Dia lupa bahwa Rodhiah sedang marah. Soni didiemin saja.

"Pinter ya, mi ayamnya diberikan ke Ratinem," kata Rodhiah yang membuat Soni terperanjat. Soni berpikir, kok secepat itu informasi bisa sampai ke Rodhiah? Makin runyamlah pagi itu.

***

Sudah dua hari Rodhiah bermuka masam. Soni pun serba salah. Pagi itu, tanpa pamit dia berangkat kerja. Dia ngga enak ketemu Rodhiah. Dia kepikiran bagaimana cara mendamaikan suasana. Tak hanya itu, hari ini dia harus berangkat lebih pagi karena ada rapat penting, mengantisipasi masa pandemi.

Soni langsung saja bergegas keluar rumah, menyalakan motornya dan dia pergi. Sebenarnya Rodhiah sudah teriak-teriak memanggil Soni. Tapi Soni sudah menutup kepalanya dengan helm. Akhirnya suara Rodhiah tak terdengar.

Sampai di kantor, Soni jadi bahan tertawaan. Sebab, ternyata dia belum memakai celana panjang. Soni baru memakai celana pendek motif Dalmatian. Itu pun bagian depannya agak berlubang. Soni baru sadar setelah semua tertawa melihatnya. Soni langsung cabut pulang karena terpojok. Tapi, dia lupa bahwa dia tadi mengendarai motor. Dia langsung pulang naik angkutan. Di angkutan umum, Soni kembali jadi bahan tertawaan. Soni sempat berpikir untuk keluar dari angkutan. Tapi dia mengurungkannya. Dia memutuskan tetap di angkutan dengan suara cekikikan ibu-ibu muda.

"Ih masnya. Itu ditutup mas, lubangnya," kata seorang ibu-ibu muda.

"Iya mba," kata Soni sembari menutup celananya dengan tasnya. Tas yang ternyata resletingnya belum dia tutup. Resleting terbuka dan sebagian yang ada di tas berhamburan keluar. Soni kelabakan. Saat mengambili barang barang yang berhamburan, celana bagian belakang Soni sobek. Preeeekkk. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun