Kala perceraian merebak, maka akan menjadi biasa. Sebab, sesuatu yang sudah sangat sering terjadi dinilai sebagai hal yang biasa. Kalau perceraian sebagai hal yang biasa, repotnya yang bisa jadi tren untuk diburu adalah "perceraian yang ideal", bukan lagi "pernikahan yang ideal".
Dahulu orang ramai memperbincangkan pernikahan ideal. Misalnya tampan dan cantik, kaya, sukses, dan langgeng. Dalam jagat artis setahu saya yang digambarkan sebagai pernikahan ideal salah satunya adalah Sophan  Sophiaan (almarhum) dan Widyawati.
Pasangan itu gambaran ideal pernikahan. Banyak pesohor yang ingin pernikahannya seperti Sophan dan Widyawati. Dari banyak macam orang menikah, mereka ingin seperti Sophan-Widyawati.
Perceraian? Setahu saya dahulu tabu untuk dibicarakan atau diungkap. Selain itu, jumlah perceraian sepertinya juga sedikit. Jadi ngapain juga membahas perceraian. Tapi berjalannya waktu, pikiran dan cara hidup berubah.
Perceraian kemudian merebak akhir-akhir ini. Tak hanya di lingkungan artis, tapi juga di lingkungan orang awam. Karena sudah merebak, maka perceraian malah seperti hal yang lumrah. Hal yang biasa.
Kini, belakangan saya melihat ada pembahasan soal perceraian yang tak membuat sang anak telantar. Sekalipun sudah cerai, tapi si pasangan itu tetap berkomunikasi dengan si anak. Kemudian, bungkusan ceritanya adalah "sekalipun bukan lagi suami istri, tapi tetap menjadi orangtua yang baik bagi si anak".
Citra perceraian yang sukses dan ideal itu belakangan memang muncul. Di dunia keartisan saya beberapa kali melihat dari berita bahwa seolah-olah mereka memang tak masalah dengan perceraian. Cerai baik-baik dan tetap berhubungan baik dengan anak.
Mungkin masyarakat juga mulai terbiasa dengan kabar perceraian. Pernikahan bisa jadi bukan lagi hal yang sakral. Nikah-cerai jadi biasa saja. Lama-kelamaan bisa saja pandangan masyarakat berubah. Masyarakat bisa saja berpandangan seperti artis bahwa perceraian tak mengapa asalkan tetap ideal.
Mungkinkah seperti itu? Ya mungkin saja. Sebab, saya menilai Indonesia ini cukup adaptif untuk menyerap "kebebasan". Kebebasan yang salah satunya adalah penghormatan pada individualisme. Ujung-ujungnya adalah asal tak melanggar hukum dan tak mengganggu orang lain, ya tak masalah.
Nikah Seperti Baju
Saya termasuk khawatir juga pernikahan menjadi hal yang biasa saja. Nikah asal nikah dan jika sudah tak cocok, langsung pisah. Ibaratnya menganggap pernikahan seperti baju, jika sudah rusak dibuang saja.
Apa yang membuat saya khawatir? Karena sebagian kita menyerap nilai kebebasan sebatas kebebasannya saja. Nikah cerai adalah bentuk kebebasan individu. Nah hanya kebebasannya saja yang diserap.
Tapi, tak menyerap nilai-nilai pengembangan diri. Misalnya kebebasan tinggi, tapi belajar rendah. Kebebasan tinggi tapi kreativitas rendah. Kebebasan tinggi tapi kesulitan ekonomi makin akut. Kebebasan tinggi tapi tanggung jawab sosial rendah. Kebebasan tinggi dan korupsi serta maling juga tinggi.
Kita dinaungi kebebasan dan kita menyerap itu dengan syahdu. Sementara, permasalahan dasar seperti ekonomi, kejujuran, tanggung jawab, tak pernah diserap dengan maksimal. Imbasnya, ya kekacauan.
Bebas nikah bebas cerai, anak tak tahu harus diapakan karena ekonomi dan pendidikan rendah. Bebas nikah bebas cerai tapi miskin tanggung jawab. Maka, perceraian ideal itu tak akan pernah nyata di dunia masyarakat awam kita.Â
Perceraian ideal itu hanya jadi tren yang tak pernah bisa diburu. Perceraian ideal itu hanya terjadi dalam berita-berita artis itu. Ya, di beritanya, tak tahu di dunia senyatanya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H