Ini adalah cerita pengguna setia parabola karena faktor geografis. Tentu saja, memakai judul nestapa karena parabola kadang memang tak bisa diandalkan, setidaknya itu yang saya alami dan ketahui.
Siapa pengguna parabola? Salah satunya adalah mereka yang rumahnya secara geografis tak menguntungkan. Saya kini termasuk di dalamnya. Saya hidup di daerah yang diapit dua bukit.
Daerah saya berada di antara dua bukit. Di selatan ada bukit. Di utara juga ada bukit. Sebagian bukit di utara sudah dipangkas, tanahnya dijual, entah mau dibangun apa.
Di daerah antara dua bukit itu, antena UHF tak ada manfaatnya. Sebagian besar warga tak bisa memanfaatkan antena UHF. Pernah suatu ketika saya berusaha memasang antena UHF cukup tinggi. Tapi hasilnya nihil. Televisi tetap tak ada gambarnya. Kata orang dulu, hanya gambar semut berantem yang berisik.
Memang ada yang "beruntung" karena UHF bisa dimanfaatkan di daerah cekungan. Tapi, setahu saya tak banyak. Itu pun katanya gambar televisinya tak terlalu istimewa. Maka, banyak orang di daerah saya menggunakan parabola.
Nah, memakai parabola menjadi nestapa jika suka sepak bola. Jika ada siaran langsung sepak bola, khususnya sepak bola luar negeri, pasti diacak. Misalnya stasiun TV Z menayangkan siaran langsung sepak bola, nah dengan memakai parabola maka otomatis saat siaran langsung tak ada gambarnya. Atau ada gambarnya tapi berhenti. Ya karena diacak.
Dulu ada cara yang bisa dilakukan. Namanya bisskey. Jadi, kalau akan ada siaran langsung sepak bola, forum di media sosial ramai berburu bisskey. Bisskey ini adalah nomor pembuka pengacakan.
Sederhananya begini. Misalnya, nanti malam akan ada pertandingan AC Milan vs Chelsea, final Liga Champions. Ini misalnya saja ya. Nah, satu jam sebelum siaran langsung di media sosial ramai para pencari bisskey. "Bos, bisskeynya dong," begitu biasanya salah satu pengguna media sosial bertanya.
Lalu, si admin grup bisskey ini memberikan nomor bisskeynya. Nah, nomor itu kemudian dipencet melalui remote control TV. Akhirnya bisa menonton siaran langsung memakai parabola dengan menggunakan bisskey.
Namun, sepertinya sekarang bisskey sudah tak manjur lagi. Pengacakan yang dilakukan stasiun televisi memiliki tingkat kerumitan yang luar biasa, sehingga tak bisa dibocorkan.
Pengalaman menggunakan bisskey ini pernah saya lakukan pada Piala Dunia 2014 lalu. Saya beberapa kali mendapatkan bisskey dan mampu melihat siaran langsung beberapa laga piala dunia.Â
Namun, setelah momen Piala Dunia 2014, bisskey sudah tak manjur. Saya pun sudah tak pernah lihat forum di media sosial soal perkembangan bisskey dan sejenisnya.
Maka kalau ada siaran langsung sepak bola luar negeri, para pengguna parabola gigit jari saja. Tapi, ada juga cara yang pernah saya ketahui agar bisa nonton siaran langsung. Caranya mengarahkan payung parabola ke arah tertentu dengan derajat tertentu. Nanti bisa melihat siaran langsung dari TV luar negeri.
Tapi, kalau arah payung diubah, tentu TV nasional akan hilang. Kan repot sekali. Kalau pas mau ada sepak bola, harus naik tangga di genting mengubah arah payung. Nanti kalau sepak bola selesai, arah payung diubah lagi.
Sebenarnya bisa saja arah payungnya paten tak diubah dengan risiko tak bisa menikmati acara TV nasional. Tapi ibu-ibu yang suka sinetron itu ya bisa ngajak perang. Bapak-bapak ya ngalah saja. Yang penting dapat jatah.
Kalau yang mengubah payung parabola ini saya tak pernah melakukannya. Sehingga saya belum bisa membuktikan kebenarannya. Hanya katanya itu salah satu cara. Yang saya maksud payung parabola itu ya antena yang bentuknya kayak payung terbalik itu.
Pernah ada teknisi yang bilang bahwa ada payung yang bisa diubah arahnya secara remote control. Tentu saja itu lebih memudahkan. Sebab, tak harus naik genting untuk mengubah arah payung. Tapi ya tahu sendiri, harus keluar uang lagi buat beli payung otomatisnya. Repot lagi.
Teman saya yang fans AC Milan, sering bilang kerepotan mengikuti laga AC Milan. Ya karena efek geografis dan parabola tadi. "Ya memang bisa pakai streaming. Tapi tahu sendiri kualitas gambar streaming. Terus mengeluarkan uang pula kan. Makan kuota banyak," kira-kira begitu kata teman sedesa saya.
Ya pikir saja, orang desa mayoritas petani atau pedagang kecil. Zaman susah seperti ini pendapatan menurun. Masa saat pendapatan menurun memberatkan beli kuota untuk nonton bola? Hehe yang benar saja.
Cara lain? Ya pakai TV berlangganan. Tapi ya itu, keluar uang lagi. Repotnya lagi, TV berbayar itu tak kontinu. Artinya begini, Liga Inggris musim ini bisa dilihat di TV berbayar A. Musim depan bisa jadi yang menyiarkan langsung adalah TV berbayar B. Masa tiap musim ganti TV berbayar yang tentunya ganti alatnya?
Pernahkah ada siaran langsung sepak bola yang bisa dinikmati di parabola? Pernah saya alami saat Piala AFF junior, tahun 2018 kayaknya. Saat itu Indosiar tak mengacaknya. Saat itu, banyak warga yang bisa nonton.
Padahal hanya sekelas kelompok umur, tapi bisa jadi perbincangan saat kumpul-kumpul. Orangtua yang suka bola itu ngobrol ngalor ngidul soal timnas Indonesia kelompok umur.
"Itu tadi Laos kok pemainnya kelihatan tua ya?" Kata satu orang.
"Wah, kayaknya usianya dipalsukan," timpa yang lain.
Tapi, obrolan soal bola ya saat itu saja. Wong Liga Indonesia saja kayaknya tak bisa dilihat di parabola. Kenapa kayaknya? Karena saya jarang sekali memantau Liga Indonesia.Â
Fenomena sulit melihat siaran langsung olahraga di parabola memunculkan fenomena tertentu. Kalau saya lihat di media sosial, banyak yang teriak tak bisa nonton. Apalagi saat Asian Games 2018 yang lalu. Wah, nelangsa deh.
Kini, variasi parabola makin sedikit. MNC Group itu, sudah tak bisa dilihat melalui parabola. Sudah diacak. Kan parabola opsi channelnya yang lain masih banyak?Â
Ya banyak, tapi kalau menurut saya, tak ada channel yang menarik. Saya sendiri pernah lihat, ada channel yang isinya film jadul, ya itu-itu saja. Sudah diputar, diputar lagi, diputar lagi.
Efek Bagusnya?
Tiap ada nelangsa, ada juga bahagia. Anak-anak jadi tak maniak TV. Mungkin karena orangtuanya jarang melihat TV, jadi anak-anaknya tak nonton TV.
Sejak tiga atau empat tahun, anak-anak sering keluyuran naik sepeda. Hal itu, jadi keterusan. Efeknya, sosialisasi anak-anak tak terlalu mengalami masalah. Artinya mereka bisa dengan baik bisa saling berkomunikasi.
Pernah ada anak kecil yang katanya agak berbeda. Sebab, punya dunia sendiri dan sulit membaur. Tapi belakangan si anak itu sudah mulai keluyuran juga naik sepeda.
Karena sejak kecil anak-anak sudah asyik bermain di luar rumah, mereka cenderung ketagihan.
"Biarin saja anak main kayak gitu (main keluar rumah naik sepeda). Di tempat saya malah menyedihkan. Anak-anak pegangnya HP terus," kata seorang kerabat dari kota. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI