Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nestapa Pengguna Parabola

20 Agustus 2020   06:06 Diperbarui: 20 Agustus 2020   10:25 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi parabola. | Dokumentasi pribadi

Namun, setelah momen Piala Dunia 2014, bisskey sudah tak manjur. Saya pun sudah tak pernah lihat forum di media sosial soal perkembangan bisskey dan sejenisnya.

Maka kalau ada siaran langsung sepak bola luar negeri, para pengguna parabola gigit jari saja. Tapi, ada juga cara yang pernah saya ketahui agar bisa nonton siaran langsung. Caranya mengarahkan payung parabola ke arah tertentu dengan derajat tertentu. Nanti bisa melihat siaran langsung dari TV luar negeri.

Tapi, kalau arah payung diubah, tentu TV nasional akan hilang. Kan repot sekali. Kalau pas mau ada sepak bola, harus naik tangga di genting mengubah arah payung. Nanti kalau sepak bola selesai, arah payung diubah lagi.

Sebenarnya bisa saja arah payungnya paten tak diubah dengan risiko tak bisa menikmati acara TV nasional. Tapi ibu-ibu yang suka sinetron itu ya bisa ngajak perang. Bapak-bapak ya ngalah saja. Yang penting dapat jatah.

Kalau yang mengubah payung parabola ini saya tak pernah melakukannya. Sehingga saya belum bisa membuktikan kebenarannya. Hanya katanya itu salah satu cara. Yang saya maksud payung parabola itu ya antena yang bentuknya kayak payung terbalik itu.

Pernah ada teknisi yang bilang bahwa ada payung yang bisa diubah arahnya secara remote control. Tentu saja itu lebih memudahkan. Sebab, tak harus naik genting untuk mengubah arah payung. Tapi ya tahu sendiri, harus keluar uang lagi buat beli payung otomatisnya. Repot lagi.

Teman saya yang fans AC Milan, sering bilang kerepotan mengikuti laga AC Milan. Ya karena efek geografis dan parabola tadi. "Ya memang bisa pakai streaming. Tapi tahu sendiri kualitas gambar streaming. Terus mengeluarkan uang pula kan. Makan kuota banyak," kira-kira begitu kata teman sedesa saya.

Ya pikir saja, orang desa mayoritas petani atau pedagang kecil. Zaman susah seperti ini pendapatan menurun. Masa saat pendapatan menurun memberatkan beli kuota untuk nonton bola? Hehe yang benar saja.

Cara lain? Ya pakai TV berlangganan. Tapi ya itu, keluar uang lagi. Repotnya lagi, TV berbayar itu tak kontinu. Artinya begini, Liga Inggris musim ini bisa dilihat di TV berbayar A. Musim depan bisa jadi yang menyiarkan langsung adalah TV berbayar B. Masa tiap musim ganti TV berbayar yang tentunya ganti alatnya?

Pernahkah ada siaran langsung sepak bola yang bisa dinikmati di parabola? Pernah saya alami saat Piala AFF junior, tahun 2018 kayaknya. Saat itu Indosiar tak mengacaknya. Saat itu, banyak warga yang bisa nonton.

Padahal hanya sekelas kelompok umur, tapi bisa jadi perbincangan saat kumpul-kumpul. Orangtua yang suka bola itu ngobrol ngalor ngidul soal timnas Indonesia kelompok umur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun