Di tanah yang kita pijak ini, jauh sebelum hari-hari kemerdekaan menjadi nyata, genosida terjadi. Genosida secara sederhana adalah pembantaian secara besar-besaran dan sistematis.
Di tengah riuh kehidupan zaman, lampu terang, telepon genggam, dan mobil berdesakan, jauh sebelum ini ada pembantaian. Ini hanya soal perenungan bahwa masa kini ada setelah masa lalu. Ini hanya perenungan bahwa bahagia ini tak melupakan soal pilu di masa lalu. Agar ada pembelajaran dan agar tak ada pengulangan.
Salah satu yang mencengangkan di masa lalu adalah pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels yang membentang dari Anyer sampai Panarukan, Pulau Jawa.Â
Beberapa daerah yang dilewati Jalan Raya Pos adalah Cilegon, Serang, Jakarta, Bogor, Bandung, Sumedang, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Pati, Kudus,Tuban, Sidoarjo, Surabaya. Jalan ini sebenarnya tak dibangun dari awal. Sebab, jauh sebelumnya sebagian besar jalan tersebut memang sudah ada.
Adalah Herman Willem Daendels yang memerintahkan untuk melebarkan jalan itu sampai 7 meter. Daendels pula yang mengomandoi proyek itu dengan tangan besi. Dia terinspirasi oleh Napoleon Bonaperte, pemimpin Prancis yang kesohor itu. Bahkan, Daendels membayangkan dirinya sebagai Napoleon kecil.
Jangan dipikir Daendels adalah orang yang "cerdas". Dia paling tak suka dengan adu argumentasi. Daendels bisa mengancam dengan bentakan, bahkan menembak mati orang yang mengajaknya beradu argumentasi.
Siapa yang memberi mandat Daendels ke Hindia Belanda? Dia adalah Louis Napoleon, saudara Napoleon Bonaparte. Di masa itu, Belanda memang berada di bawah kekuasaan Prancis.
Kembali ke Jalan Raya Pos. Jalan itu yang membentang 1000 kilometer yang di masanya setara dengan jarak Amsterdam, Belanda ke Paris, Prancis. Jalan Raya Pos rampung dibuat dalam waktu 1 tahun! Pada 1809, jalan ini sudah bisa dipakai.
Efek pembangunan itu adalah transportasi yang lebih mulus. Sebelum Jalan Raya Pos tuntas, Daendels membutuhkan waktu empat hari perjalanan dari Anyer sampai Batavia. Setelah Jalan Raya Pos tuntas, Daendels hanya membutuhkan waktu satu hari untuk menempuh perjalanan dari Anyer sampai Batavia.
Tapi, pengerjaan Jalan Raya Pos itu adalah genosida tak langsung. Setidaknya itulah yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar itu. Ada kerja paksa yang dikenal dengan sebutan rodi. Jatah kerja dan tenggat sudah ditentukan. Penanggung jawab proyek di lapangan yang tak bisa menyelesaikan sesuai dengan tenggat, akan digantung sampai mati pada dahan-dahan pohon sekitar proyek.
Pekerja? Pekerjanya banyak yang tewas karena malaria, kelaparan, dan kelelahan. Tepi jalan yang membentang antara Anyer dan Penarukan itu kemudian dinilai sebagai kuburan terluas di Pulau Jawa. Laporan orang Inggris di tahun 1815 menyebutkan ada 12.000 orang yang tewas selama pembangunan Jalan Raya Pos itu. Angka itu adalah bukti pembantaian besar-besaran secara sistematis yang tak langsung. Artinya tak terjadi dalam satu waktu, tapi dalam rentetan waktu satu tahun pengerjaan Jalan Raya Pos.
Salah satu kerasnya pembangunan jalan itu adalah di ruas Cisarua-Cigenang. Punggung gunung harus dipapras untuk pembuatan jalan. Pengikisan punggung gunung itu tentu saja dilakukan oleh manusia. Jangan bayangkan sudah ada dinamit di masa itu. Â Â
Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan itu adalah mahakarya yang luar biasa di masanya. Termasuk jalan terbagus di masanya. Namun, di balik itu semua, ceceran darah, kuburan massal menjadi hiasannya. Jalan Raya Pos kemudian menjadi salah satu jalan yang sering digunakan di masa modern.
Jalan Raya Pos dipoles berkali-kali ketika pemerintahan Indonesia berubah dari satu masa ke masa yang lain. Kini, Jalan Raya Pos itu telah menjadi magnet bagi kendaraan dan segala macam distribusi barang. Sangat bermanfaat sekali. Walaupun kini ada Tol Trans Jawa, Jalan Daendels tetap dimanfaatkan banyak orang.
Tak menutup kemungkinan, kita menumpangi mobil, melewati Jalan Raya Pos dengan tertawa renyah. Tapi, tentu harus diingat bahwa segala macam kemudahan karena Jalan Raya Pos, dulunya adalah tempat pembantaian.
Pelajaran agar genosida seperti itu tak terjadi lagi. Jangan sampai atas nama pembangunan kita menghabisi anak bangsa sendiri. Jangan sampai atas nama pembangunan, genosida tak langsung terjadi berulang-ulang. Sebenarnya, cukup Jalan Pos saja yang menjadi cerita, sejarah, dan pilu di masa lalu. Jangan terulang di masa kini. (*)
Referensi:
Toer, Pramedya Ananta. 2009. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Lentera Dipantara. Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H