Salah satu kerasnya pembangunan jalan itu adalah di ruas Cisarua-Cigenang. Punggung gunung harus dipapras untuk pembuatan jalan. Pengikisan punggung gunung itu tentu saja dilakukan oleh manusia. Jangan bayangkan sudah ada dinamit di masa itu. Â Â
Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan itu adalah mahakarya yang luar biasa di masanya. Termasuk jalan terbagus di masanya. Namun, di balik itu semua, ceceran darah, kuburan massal menjadi hiasannya. Jalan Raya Pos kemudian menjadi salah satu jalan yang sering digunakan di masa modern.
Jalan Raya Pos dipoles berkali-kali ketika pemerintahan Indonesia berubah dari satu masa ke masa yang lain. Kini, Jalan Raya Pos itu telah menjadi magnet bagi kendaraan dan segala macam distribusi barang. Sangat bermanfaat sekali. Walaupun kini ada Tol Trans Jawa, Jalan Daendels tetap dimanfaatkan banyak orang.
Tak menutup kemungkinan, kita menumpangi mobil, melewati Jalan Raya Pos dengan tertawa renyah. Tapi, tentu harus diingat bahwa segala macam kemudahan karena Jalan Raya Pos, dulunya adalah tempat pembantaian.
Pelajaran agar genosida seperti itu tak terjadi lagi. Jangan sampai atas nama pembangunan kita menghabisi anak bangsa sendiri. Jangan sampai atas nama pembangunan, genosida tak langsung terjadi berulang-ulang. Sebenarnya, cukup Jalan Pos saja yang menjadi cerita, sejarah, dan pilu di masa lalu. Jangan terulang di masa kini. (*)
Referensi:
Toer, Pramedya Ananta. 2009. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Lentera Dipantara. Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H