Diduga hanya karena kotoran ayam, persoalan jadi serius. Hal itu terjadi di Desa Gandukepuh, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Seperti diberitakan Kompas.com, depan rumah Wisnu Widodo ditutup pagar tembok oleh tetangganya sendiri berinisial M.
M merasa jengkel karena kakinya menginjak kotoran ayam milik Widodo. Kabarnya ayam milik Widodo sering main di pekarangan M. Karena itu  M pun membuat tembok. Imbasnya, Widodo harus loncat tembok tiap hari.
Kasus yang terjadi di 2017 itu telah masuk ke pengadilan. Putusannya adalah bahwa M harus membongkar tembok itu. Tapi sampai saat ini M belum membongkar tembok. Yang juga disayangkan warga, tanah tempat membangun tembok itu adalah tanah desa, tapi diklaim milik M.
Tulisan ini hanya ingin memberi secuil cerita tentang hidup di desa. Hidup di desa memang berbeda dengan di kota. Hidup di kota, praktis saya jarang melihat ada ayam berkeliaran. Mungkin, di kota atau di kompleks-kompleks itu malah tak ada warga yang punya ayam. Jadi, tak ada persoalan tentang ayam.
Lain ceritanya dengan di desa. Hampir semua orang memiliki ayam. Ayam oleh sebagian warga desa adalah cara untuk memenuhi kebutuhan mendadak. Misalnya, sedang tak punya uang cukup, tapi ada kebutuhan mendadak, biasanya ayam yang akan dijual.
Ada juga mereka yang memiliki ayam karena memang mengisi waktu luang. Memelihara ayam kadang memang mengurangi stres. Ada juga yang memelihara ayam karena sudah turun terumun dari nenek moyangnya, jadi tingga meneruskan saja.
Ayam di desa itu tidak selalu di kandang. Banyak yang diumbar keluar rumah. Maklum, di desa masih banyak kebun atau pekarangan kosong yang memungkinkan ayam bermain di situ. Tapi, yang namanya ayam memang tak bisa diatur. Kadang mengganggu. Tapi catat ya, kadang mengganggu, bukan selalu mengganggu.
Kapan ayam tetangga itu mengganggu? Misalnya saat warga menjemur gabah di pekarangan depan rumah atau di jalan depan rumah. Ada ayam tetangga yang malah asyik memakan gabah itu. Bukan hanya satu ayam, tapi beberapa ayam.
Biasanya si empunya gabah akan berteriak. "Hsuaah... hsuaah," teriak si empunya gabah. Nanti ayam akan pergi. Namanya ayam, ketika diusir pasti kembali lagi kalau sudah aman. Kalau sudah kembali lagi memakan gabah nanti diusir lagi. Kalau perlu dilempar pakai batu kecil.
Pemandangan itu selalu ada di masa panen. Si empunya gabah selalu menggerutu jika gabah diserbu ayam, apalagi kalau panennya tak bagus.
Tapi, itu menjadi pemandangan yang selesai di situ saja. Artinya, tak sampai kemudian pemilik gabah protes dan mengadu ke polisi karena ayam. Kalau sudah seperti itu, itu namanya serius yang berlebihan. Masalah ayam bisa sampai ke polisi kan repot.
Sepengetahuan saya, hampir semua orang desa juga maklum jika ada yang diganggu ayam. Mereka memang jengkel, tapi ya sebatas jengkel saja, tak sampai mendidih di dada atau malah lari ke hukum.
Itu baru satu problem yang dimunculkan ayam. Ada kalanya ayam malah mampir di teras rumah. Biasanya jelang siang mampir di teras rumah tetangga. Terus buang hajat. Akhirnya lantai keramik itu berceceran kotoran.Â
Hal seperti itu sudah jadi pemandangan biasa. Akhirnya yang punya rumah sembari menggerutu membersihkan lantai. Tapi, ya hanya sampai menggerutu saja, tak sampai masuk ke ranah hukum atau ke polisi atau sampai menutup akses tetangga dengan membuat batas tembok.
Hidup di desa seperti itu, kita sama-sama punya ayam dan ayam kita kadang mengganggu tetangga. Ayam tetangga pun mengganggu kita. Kita memang terganggu, tapi itu jadi ritual yang tak sampai pada tahap yang super serius.
Nah apa yang terjadi di Ponorogo, saya pikir ada dua kemungkinan. Ini hanya rabaan saja. Bisa saja salah. Pertama adalah ketika warga menganggap masalah biasa menjadi sangat serius. Imbasnya malah tak keruan. Kedua, sebenarnya ada masalah yang lebih serius yang kemudian makin meletup ketika menginjak kotoran ayam.
Saya tentu tak dalam posisi untuk memberi penilaian lebih. Saya meyakini orang memiliki alasan mengapa melakukan satu dan lain hal. Tapi, saya pun punya pendapat bahwa masalah yang masih bisa diselesaikan dengan baik baik atau malah diabaikan, tak perlu dirampungkan dengan sangat serius.
Seorang guru saya pernah bilang, bahwa ada namanya "akar masalah", ada namanya "bunga masalah". Yang perlu diselesaikan secara serius itu kalau sudah "akar masalah".Â
Kalau hanya bunga masalah, ya lupakan saja. Apa yang terjadi di Ponorogo juga bisa jadi cermin bagi kita semua. Tentu semoga masalah kecil tak meletup jadi masalah besar antartetangga. Berdoa saja semoga kita bisa bertetangga, berbangsa, dan bernegara dengan baik. Amin. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H