Dinamikanya selalu seperti itu. Ini adalah tahun terakhir kekuasaan Karmani. Di tahun terakhir ini juga desa kedatangan warga baru. Dia juga jualan klepon tapi area pemasarannya tak di desa. Pabriknya juga tak di desa. Dia beli tanah di desa wilayah tengah yang selama ini netral. Untuk membedakan dengan dinasti klepon, saya sebut saudagar klepon saja.
Si saudagar klepon ini punya bisnis klepon di kota. Dia kaya dan punya jaringan. Dinasti klepon mulai kalah tenar. Dinasti klepon mulai ketar-ketir. Rekonsiliasi pun terjadi antara keluarga Karmadi dan Sarmadi. Mereka ingin agar dinasti klepon yang tetap menjadi pemimpin desa.
Sarmani, cucu dari Sarmadi akhirnya disepakati untuk maju di pemilihan kepala desa mendatang. Dinasti klepon sudah yakin jika saudagar klepon itu akan maju pilkades. Dari gelagatnya sudah kelihatan karena sering sowan ke para tetua dan berderma. Saudagar klepon ini tak banyak bicara. Hobinya berderma.
Dinasti klepon sudah sebar duit dan apa saja agar ketenarannya melonjak. Bahkan, mereka berani utang pada saudagar kota. Istilahnya habis-habisan untuk marwah dinasti klepon. Keluarga Karmadi yang memang tukang mikir juga sudah mengkalkulasi bahwa utang yang
besar itu akan terbayar jika terpilih.
Sepekan lagi pendaftaran calon. Elektabilitas dinasti klepon melonjak karena bagi-bagi duit. Tapi petaka melanda karena wabah corona membuat pilkades ditunda setahun lagi. Dinasti klepon kolaps. Duit nyaris habis. Mereka kebingungan.
Saudagar kota datang untuk menagih utang. Saudagar kota itu ternyata adiknya saudagar klepon. Mampus sudah ekonomi. Beberapa anggota dinasti klepon akhirnya masuk bui karena utang itu.
Dinasti itu ambruk. Belakangan, ada kabar jika dinasti klepon tak lagi berbisnis klepon. Kabarnya mereka kini berbisnis kurma. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H