Mungkin ini narasi yang menggejala di negeri ini. Narasi ada yang menindas dan ada yang ditindas. Narasi ada pelaku dan ada korban. Pandemi, kemudian menjadi arena yang juga tak jauh dari narasi pelaku dan korban. Jika dulu yang dinarasikan sebagai korban adalah tempat ibadah, kini yang dinarasikan sebagai korban adalah sekolah.
Beberapa waktu lalu, kala pandemi awal menggejala, suasana riuh sempat terjadi. Kala itu, sebagian pihak menilai tempat ibadah sebagai korban ketidaktepatan kebijakan. Narasi yang dimunculkan adalah pasar tetap buka, tapi tempat ibadah ditutup.
Narasinya kemudian mengarah ke pemerintah bahwa ada upaya pemerintah untuk menjauhkan umat dengan tempat ibadah. Repot kalau sudah seperti itu. Pernyataan seperti itu massif diungkapkan di masa itu.Â
Bahkan, mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo pun termasuk dalam barisan agar warga tetap beribadah di tempat ibadah, lebih khususnya masjid, sekalipun pandemi.
Kemudian, apa yang terjadi setelahnya. Ketika ada relaksasi, tempat ibadah pun dibuka. Ada yang berkomentar di twitter. Saya lupa siapa yang berkomentar. Intinya mengatakan, dulu minta tempat ibadah dibuka, kini setelah dibuka hanya sedikit yang ke tempat ibadah.
Saya tak terlalu tahu kebenaran pernyataan di twitter itu. Namun, saya memiliki padanan cerita, khusus soal musala. Satu ketika ada panitia pembangunan musala. Seperti biasa memberi kesempatan warga untuk berderma untuk pembangunan musala.
Selang beberapa waktu saya kembali bertemu dengan salah satu panitia pembangunan musala. Saya pun bertanya, bagaimana pendanaannya? Panitia ini pun menjawab.Â
"Kalau membangun musala itu gampang. Yang sulit kan mengisi musala," katanya. Maksud dari pernyataan itu adalah bahwa membangun musala adalah perkara yang cukup mudah di tempat yang mayoritas muslim. Pendanaan pun tak terlalu sulit. Namun, yang sulit adalah setelah musala itu jadi, berapa yang mau menginjakkan kaki ke musala untuk  berjamaah.
Kembali ke komentar netizen soal tempat ibadah. Bisa jadi benar jika dulu meminta tempat ibadah dibuka, saat dibuka tetap saja tak banyak yang ke tempat ibadah. Itu adalah narasi yang terjadi beberapa bulan yang lalu.
Kini, narasi mirip pun berkembang. Pagi tadi, saya mendapatkan informasi atau pendapat orangtua murid. "Mal saja sudah dibuka, semua sudah dibuka. Masak sekolah belum juga dibuka," Â kata seorang orangtua murid.
Coba tengok, narasinya pun sama dengan narasi tempat ibadah. Bedanya, kalau soal tempat ibadah sudah ada narasi pemerintah tak pro pada keagamaan, tapi kalau untuk sekolah saya belum dengar ada narasi pemerintah tak pro pada pendidikan.
Khusus soal sekolah dasar, saya melihat bahwa munculnya narasi memosisikan sekolah sebagai korban karena memang lelahnya orangtua murid. Kelelahan itu memang luar biasa terjadi, khususnya orangtua murid kelas satu sampai mungkin kelas 3 SD. Sebab, dengan sekolah jarak jauh, praktis belajar mengajar dihandle oleh orangtua.
Problemnya adalah ketika orangtua bekerja, maka belajar mengajar tak terlalu efektif. Saya menduga, narasi memosisikan sekolah sebagaik korban juga agar anak kembali ke sekolah dan orangtua tak sibuk dengan memberi pelajaran ke anak. Mungkin begitu? Bisa iya, bisa tidak,
Narasi itu ternyata tak hanya muncul di sekolah dasar, tapi di perguruan tinggi juga menggejala. Narasinya ya sama, kalau tempat lain sudah dibuka, kampus belum dibuka. Kita lihat saja apakah narasinya akan sampai, pemerintah tak pro pendidikan?
Keruh
Narasi pelaku dan korban yang menggejala bisa menjadi keruh ketika tak dijelaskan secara gamblang. Juga menjadi keruh ketika narasi soal pelaku dan korban ini disusupi kepentingan politik.
Akhirnya orang yang berada di kubu politik X menggunakan narasi pelaku korban untuk menyerang kubu politik Y. Sesuatu yang seharusnya bisa jernih dilihat, malah menjadi keruh karena politik bermain di dalamnya.
Lebih parah lagi jika orang-orang yang berada di pusaran narasi itu adalah mereka yang enggan membaca dan berpikir panjang. Efeknya orang-orang di pusaran narasi itu cenderung sumbu pendek, lebih parah lagi tak punya sumbu. Ketika narasi pelaku dan korban dimunculkan emosi berkobar tak keruan. Â (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H