Khusus soal sekolah dasar, saya melihat bahwa munculnya narasi memosisikan sekolah sebagai korban karena memang lelahnya orangtua murid. Kelelahan itu memang luar biasa terjadi, khususnya orangtua murid kelas satu sampai mungkin kelas 3 SD. Sebab, dengan sekolah jarak jauh, praktis belajar mengajar dihandle oleh orangtua.
Problemnya adalah ketika orangtua bekerja, maka belajar mengajar tak terlalu efektif. Saya menduga, narasi memosisikan sekolah sebagaik korban juga agar anak kembali ke sekolah dan orangtua tak sibuk dengan memberi pelajaran ke anak. Mungkin begitu? Bisa iya, bisa tidak,
Narasi itu ternyata tak hanya muncul di sekolah dasar, tapi di perguruan tinggi juga menggejala. Narasinya ya sama, kalau tempat lain sudah dibuka, kampus belum dibuka. Kita lihat saja apakah narasinya akan sampai, pemerintah tak pro pendidikan?
Keruh
Narasi pelaku dan korban yang menggejala bisa menjadi keruh ketika tak dijelaskan secara gamblang. Juga menjadi keruh ketika narasi soal pelaku dan korban ini disusupi kepentingan politik.
Akhirnya orang yang berada di kubu politik X menggunakan narasi pelaku korban untuk menyerang kubu politik Y. Sesuatu yang seharusnya bisa jernih dilihat, malah menjadi keruh karena politik bermain di dalamnya.
Lebih parah lagi jika orang-orang yang berada di pusaran narasi itu adalah mereka yang enggan membaca dan berpikir panjang. Efeknya orang-orang di pusaran narasi itu cenderung sumbu pendek, lebih parah lagi tak punya sumbu. Ketika narasi pelaku dan korban dimunculkan emosi berkobar tak keruan. Â (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H