Jadi, audiens tak akan takut bertanya dan motivatornya nangis. Kesetaraan ini bisa menjadikan acara motivasi sebagai kerangka untuk membangun diri, baik motivator atau audiens. Apalagi proses diskusi pasti lama.
Ada keuntungan dari kedua pihak. Motivator yang sering gagal itu mendapatkan fee sebagai motivator. Siapa tahu, ternyata menjadi motivator adalah ladang rezeki dari orang yang sering gagal itu.
Sementara, audiens akan dapat manfaat supaya tak mengulangi kesalahan-kesalahan motivator. Sebab, salah satu jalan sukses adalah tidak mengulangi kegagalan orang lain.
Banner dan sejenisnya tentang informasi acara motivasi, lebih sering dihiasi dengan atribut kegagalan. Misalnya di banner ditulis "Pak No, 7 kali gagal membangun bisnis. Ini adalah bisnis kedelapan dan sepertinya akan gagal lagi".
Atau yang lain lagi misalnya, "Pak No, diputus kontrak sebagai buruh sudah 10 kali". Seperti itulah yang tertulis di banner.
Nah, motivator yang bertarif mahal adalah mereka yang sering gagal dan kerja kerasnya luar biasa. Ibaratnya kaki jadi kepala, kepala jadi tangan, tangan jadi kaki, tetangga kadang dikira istri.
Maka, sudah saatnya orang-orang yang gagal diberdayakan. Ruang ruang yang masih memungkinkan bagi orang yang sering gagal diberikan. Jangan semuanya diberikan orang yang sukses. Dunia dikeruk yang sukses, berderma untuk urusan setelah dunia, juga dilakukan yang sukses. Kalau begitu, kasihan dong yang sering gagal itu.
Kalau seminar motivasi akan dilakukan dengan pembicara yang sering gagal dan audiensnya hanya siuprit alias sedikit sekali bagaimana? Ya anggaplah itu sebagai keberhasilan yang tertunda. Sederhana kan?
"Sederhana, emang warung makan," kata salah satu motivator kaya raya yang mulai tersingkirkan. (*)