Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berilah Kesempatan pada Orang Gagal untuk Jadi Motivator

18 Juli 2020   14:18 Diperbarui: 18 Juli 2020   14:24 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto hanya sebagai ilustrasi. Dok kawan lama dipublikasikan Kompas.com

Tulisan ini dibuat dengan sambil agak ngantuk. Sesekali mungkin malah mata tertutup. Mohon dimaklumi.

Orang-orang yang sukses, makin sukses ketika dia menjadi motivator. Dia laku ke sana ke mari untuk mengisi seminar dan sejenisnya. Dompet pun makin tebal, kalau dapat uang cash. Kalau fee ditransfer, ya rekeningnya makin gendut.

Sudah kaya karena kesuksesan, makin kaya ketika menjadikan jalan suksesnya sebagai motivasi pada yang lainnya. Hal itu telah membuktikan bahwa ruang-ruang keberhasilan itu ternyata memang bercabang dari orang-orang yang berhasil.

Akhirnya anaknya disekolahkan ke sekolah terbaik. Begitu lulus, langsung ditempatkan ke perusahaan ayahnya yang sudah mapan. Keberhasilan itu menurun ke anak-anaknya. Dan seterusnya, dan seterusnya, sampai keturunan ke berapa.

Kembali ke pembahasan. Mereka sukses dan kaya, jadi motivator makin kaya. Ketika sangat kaya, berderma ke mana-mana. Berlipat-lipatlah keuntungannya jadi orang sukses. Nah supaya keberhasilan itu merata, bagaimana kalau forum-forum motivasi itu tak diisi oleh orang-orang sukses.

Orang sukses menjadi motivator kan sudah biasa. Apalagi kalau yang dimotivasi orang yang belum sukses. Di mana-mana memang seperti itu. Biasa saja menurut saya. Nah sekarang bagaimana kalau orang yang sering gagal, dijadikan motivator saja.

Misalnya orang yang kalau bisnis sering gagal. Buka usaha X, gagal. Buka jasa Y, gagal. Jadi karyawan diputus kontrak. Coba jadi bos, dilecehkan bawahan. Bahkan sampai urusan asmara, yakni 'belum nembak sudah ditolak'. Intinya adalah orang yang benar-benar gagal.

Orang tidak lagi belajar tentang jalan menuju sukses. Sebab, itu memang sudah biasa. Orang akan belajar bagaimana kegagalan itu terjadi. Menurut saya, jika motivator adalah orang yang sering gagal, proses diskusinya lebih egaliter.

Kalau pemberi motivasinya  orang yang kaya raya, diskusinya agak berjarak. Karena memang ada dari kita yang hormatnya berlebih pada orang kaya. Kadang mau bertanya sungkan. Takut nanti orang kayanya teringat masa lalu yang kelam, malah nangis.

Nah, kalau motivatornya adalah orang yang sering gagal, maka diskusi itu akan cair. Audiens akan mencecar motivator dengan pertanyaan-pertanyaan penyebab kegagalan berbisnis.

Tentu motivator yang gagal, jika ditanya secara detail, pasti bisa menjawab. Karena kegagalan sudah mendarah daging. Selain itu, mereka yang sering gagal ini sudah tak bisa menangis. Mau menangis bagaimana, wong sering gagal. Air mata sudah kering.

Jadi, audiens tak akan takut bertanya dan motivatornya nangis. Kesetaraan ini bisa menjadikan acara motivasi sebagai kerangka untuk membangun diri, baik motivator atau audiens. Apalagi proses diskusi pasti lama.

Ada keuntungan dari kedua pihak. Motivator yang sering gagal itu mendapatkan fee sebagai motivator. Siapa tahu, ternyata menjadi motivator adalah ladang rezeki dari orang yang sering gagal itu.

Sementara, audiens akan dapat manfaat supaya tak mengulangi kesalahan-kesalahan motivator. Sebab, salah satu jalan sukses adalah tidak mengulangi kegagalan orang lain.

Banner dan sejenisnya tentang informasi acara motivasi, lebih sering dihiasi dengan atribut kegagalan. Misalnya di banner ditulis "Pak No, 7 kali gagal membangun bisnis. Ini adalah bisnis kedelapan dan sepertinya akan gagal lagi".

Atau yang lain lagi misalnya, "Pak No, diputus kontrak sebagai buruh sudah 10 kali". Seperti itulah yang tertulis di banner.

Nah, motivator yang bertarif mahal adalah mereka yang sering gagal dan kerja kerasnya luar biasa. Ibaratnya kaki jadi kepala, kepala jadi tangan, tangan jadi kaki, tetangga kadang dikira istri.

Maka, sudah saatnya orang-orang yang gagal diberdayakan. Ruang ruang yang masih memungkinkan bagi orang yang sering gagal diberikan. Jangan semuanya diberikan orang yang sukses. Dunia dikeruk yang sukses, berderma untuk urusan setelah dunia, juga dilakukan yang sukses. Kalau begitu, kasihan dong yang sering gagal itu.

Kalau seminar motivasi akan dilakukan dengan pembicara yang sering gagal dan audiensnya hanya siuprit alias sedikit sekali bagaimana? Ya anggaplah itu sebagai keberhasilan yang tertunda. Sederhana kan?

"Sederhana, emang warung makan," kata salah satu motivator kaya raya yang mulai tersingkirkan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun