Sebelum panjang lebar berbicara soal konsep yang kabur, saya akan menulis dari awal soal definisi konsep yang saya pahami. Dari definisi itu diharapkan  akan memudahkan pemahaman penjelasan selanjutnya.
Apa itu konsep? Konsep adalah abstraksi dari sebuah fenomena. Kalau ingin sederhana lagi, konsep adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan tentang suatu hal.
Konkretnya? Begini, misalnya ada perempatan yang lampu lalu lintasnya sering tak berfungsi. Di perempatan itu pun sering terjadi keruwetan lalu lintas. Di perempatan itu juga  sering kecelakaan.
Fenomena di atas itu dikonsepsikan dengan satu kata yakni "rawan". Contoh lainnya, ada keluarga yang rumahnya terbuat dari bambu dan hampir roboh. Pendapatan mereka pun rendah. Mereka pun makan sehari sekali. Nah fenomena itu disebut atau dikonsepsikan sebagai "miskin".
Konsep itu menurut saya untuk menyederhanakan fenomena dengan sebutan biar lebih mudah. Nah, di masa Covid ini muncul konsep yang menurut saya masih kabur dan berpotensi membingungkan.
Kenapa masih kabur? Mungkin karena penjelasannya tak terkomunikasikan dengan baik atau malah tak pernah ada penjelasannya. Misalnya konsep new normal atau normal baru. Normal baru itu untuk menjelaskan fenomena apa?
Apakah misalnya untuk menjelaskan hidup normal dengan memakai topeng? Apakah untuk menjelaskan hidup normal dengan kungkungan wabah yang melanda? Apakah untuk menjelaskan kenormalan dengan banyak kekurangan?
Jika kenormalan baru adalah menormalkan ketidaknormalan, bagaimana caranya merealisasikan konsep new normal? Maka, konsep new normal pun bisa membingungkan. Tak heran kemudian mantan Ketua MPR Amien Rais berujar mempertanyakan konsep new normal.
Secara sederhana saya menangkap apa yang dikemukakan mantan Ketua Umum PAN tersebut. New normal menurutnya bisa jadi adalah konsep untuk mengamini segala ketidaknormalan. Akhirnya ketidaknormalan dinormalkan untuk selamanya.
Misalnya ilustrasinya adalah pemanasan global dimaknai sebagai kenormalan. Kenaikan air laut dimaknai sebagai kenormalan. Hal-hal yang dulunya tidak normal karena cenderung negatif, maka dimaknai normal di era new normal.
Nah, menormalkan yang tidak normal bisa memunculkan degradasi. Misalnya, silaturahmi bertatap muka dimaknai sebagai alat spiritual untuk memperpanjang umur. Kalau new normal jadi tidak boleh silaturahmi tatap muka? Atau diminimalkan silaturahmi tatap muka? Jika beribadah di rumah ibadah selama ini dinilai lebih afdol daripada ibadah di rumah, apakah kenormalan baru termasuk makin menjarangkan ibadah di tempat ibadah?
Kenapa akhirnya konsep new normal ini harus dibedah sampai taraf terperinci. Sebab, ini masalah yang bisa jadi ribet di level lapangan ketika pemaknaannya masih kabur.
Kedua, konsep "berdamai dengan corona". Konsep damai dengan corona pun dimaknai beragam karena menurut saya konsep itu tak terjelaskan dengan massif. Maka, kemudian muncul tafsir dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
JK, begitu biasa disapa, menilai bahwa berdamai dengan corona tak mungkin. Sebab, corona adalah virus yang ganas dan tak bisa diajak berdamai. "Kalau kita ingin berdamai sementara virusnya tidak, bagaimana," kata JK beberapa waktu lalu.
Artinya memang belum ada kesamaan arti dari konsep berdamai dengan corona. Nah, di masa yang ruwet ini, akan makin ruwet jika konsep tak dimaknai sama. Di level lapangan akan mengalami kebingungan.
Di luar konteks Covid-19, ada fenomena yang mirip-mirip atau bersinggungan dengan konsep kabur. Ketika masyarakat atau kita atau pemerintah sering membuat sebutan baru untuk pemaknaan yang sama. Misalnya, dulu disebut SMA diganti SMU, kembali ke SMA. Padahal SMA dan SMU secara umum memiliki makna yang sama, yakni jenjang sekolah setelah SMP.
Banyak yang seperti itu. Sehingga ada juga satu generasi dengan generasi lainnya membuat sebutan beda untuk hal yang mirip. Tanya saja sama orang tua, mereka akan fasih dengan sebutan PJKA, orang tua lain akan menyebut Perumka, kini disebut PT Kereta Api. Pilkada, lalu pilkadal, lalu pemilukada, lalu pilkada lagi. Â
Kadang-kadang kita terjebak  kebingungan. Bingung karena konsepnya tak jelas atau sebutan konsepnya berubah-ubah sekalipun substansinya sama. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H