Kenapa akhirnya konsep new normal ini harus dibedah sampai taraf terperinci. Sebab, ini masalah yang bisa jadi ribet di level lapangan ketika pemaknaannya masih kabur.
Kedua, konsep "berdamai dengan corona". Konsep damai dengan corona pun dimaknai beragam karena menurut saya konsep itu tak terjelaskan dengan massif. Maka, kemudian muncul tafsir dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
JK, begitu biasa disapa, menilai bahwa berdamai dengan corona tak mungkin. Sebab, corona adalah virus yang ganas dan tak bisa diajak berdamai. "Kalau kita ingin berdamai sementara virusnya tidak, bagaimana," kata JK beberapa waktu lalu.
Artinya memang belum ada kesamaan arti dari konsep berdamai dengan corona. Nah, di masa yang ruwet ini, akan makin ruwet jika konsep tak dimaknai sama. Di level lapangan akan mengalami kebingungan.
Di luar konteks Covid-19, ada fenomena yang mirip-mirip atau bersinggungan dengan konsep kabur. Ketika masyarakat atau kita atau pemerintah sering membuat sebutan baru untuk pemaknaan yang sama. Misalnya, dulu disebut SMA diganti SMU, kembali ke SMA. Padahal SMA dan SMU secara umum memiliki makna yang sama, yakni jenjang sekolah setelah SMP.
Banyak yang seperti itu. Sehingga ada juga satu generasi dengan generasi lainnya membuat sebutan beda untuk hal yang mirip. Tanya saja sama orang tua, mereka akan fasih dengan sebutan PJKA, orang tua lain akan menyebut Perumka, kini disebut PT Kereta Api. Pilkada, lalu pilkadal, lalu pemilukada, lalu pilkada lagi. Â
Kadang-kadang kita terjebak  kebingungan. Bingung karena konsepnya tak jelas atau sebutan konsepnya berubah-ubah sekalipun substansinya sama. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H