Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Tontowi Ahmad Pensiun dan Cerita Masa Kerja yang Usai

18 Mei 2020   11:04 Diperbarui: 18 Mei 2020   13:55 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pebulutangkis ganda campuran, Tontowi Ahmad memutuskan pensiun dari dunia tepok bulu. Tontowi yang asli Sumpiuh, Banyumas mengumumkan pensiunnya melalui Instagram.

"Ini saatnya mengucapkan selamat tinggal untuk sesuatu yang saya tekuni lebih dari setengah umur saya, yang membuat hidupku lebih berwarna, kadang susah, kadang senang, tapi saya bangga," begitulah kata Tontowi.

Sebagai seorang atlet, prestasi Tontowi tak main-main. Dia bersama Liliyana Natsir mampu mendapatkan medali emas bulutangkis Olimpiade 2016. Itu adalah satu-satunya medali emas Indonesia di ajang multievent terbesar dunia tahun 2016 tersebut.

Pasangan tersebut juga dua kali juara dunia. Mereka juga pernah juara All England. Singkat kata, prestasi Tontowi bersama Liliyana luar biasa. Dia bukan hanya mengharumkan nama pribadi, tapi juga nama bangsa.

Pensiun adalah keniscayaan. Jika pun orang mengaku tak pernah pensiun, toh saat meninggal dunia dia otomatis pensiun. Pensiun soal tubuh yang mulai menua, fisik yang tak lagi prima, dan memberi kesempatan yang lebih muda.

Hidup itu soal giliran. Yang saat ini tua, pernah muda dan bergelora. Pernah merasa punya ide ide pembaruan. Namun, ketika mulai beranjak tua, ada anak muda baru yang juga merasa punya ide pembaruan.

Sebagai sebuah keniscayaan, memang sebaiknya pensiun itu dipersiapkan. Saya melihat atau membaca bagaimana ada orang-orang yang tak mempersiapkan pensiun dengan baik. Misalnya, soal pekerja kantoran.

Ada yang begitu pensiun langsung drop. Tak tahu apa yang akan dilakukan sebab sebelumnya sudah sangat fasih hidup mekanis. Bangun tidur, kerja, pulang, tidur, dan selalu seperti itu.

Repotnya lagi jika tak punya hobi, tak punya kesukaan yang jadi arena kesibukan. Pensiun, tak punya hobi, tak ada kegiatan, akhirnya jumud sendiri dan kebingungan. Susahnya lagi, jika anak-anaknya sudah hidup beda rumah. Yang ada hanya berdua dengan istri. Kalau sudah seperti itu, stres bertumpuk dalam hidup.

Kalau sudah stress tingkat tinggi, biasanya diikuti bermacam penyakit. Lebih sedih lagi ketika diterpa penyakit, tak ada anak yang mendampingi karena si anak sudah hidup dengan dunianya sendiri, makin tambah stress.

Ada juga yang sudah pensiun tapi merasa masih punya kewenangan. Sudah pensiun tapi ngatur-ngatur mantan anak buahnya. Ini dilakukan ketika sesekali main ke tempat kerja dahulu, dan di sana malah ngatur-ngatur seperti pimpinan. Namaya post power syndrome.

Repotnya kalau mantan anak buahnya tak mau diatur lagi. Atau ketika tetangganya tak mau diatur lagi, bisa makin stress. Orang tipe seperti ini biasanya sering bernostalgia soal kehebatannya di masa kerja, kehebatan semu. Hehe.

Selain tak siap psikis, ada juga yang tak memanfaatkan dengan baik masa jaya. Ada beberapa fakta ketika muda kaya raya, tapi ketika pensiun rak punya apa apa. Saya pernah baca, beberapa atlet seperti itu. Terjebak dengan euforia muda dan akhirnya kebingungan setelah pensiun.

Dulu dipuja dan dapat sanjungan, kini terpuruk tanpa harta yang memadai. Semua orang tentu berharap bahwa masa tua tidak nestapa baik harta atau psikis. Maka, beberapa atlet layak dijadikan contoh.

Mereka sudah menyiapkan diri dengan baik bahkan sebelum pensiun. Ada yang membuat usaha, ada yang berusaha jadi juragan kost  dan ada lainnya. Artinya pola euforia di masa jaya tak terlalu ditekankan. Tapi  bagaimana menyiapkan diri di masa tua.

Beberapa orangtua juga mulai membangun jaringan dengan baik. Sesama orangtua berkumpul sebulan sekali atau dalam tempo waktu tertentu untuk saling berbagi. Bagaimanapun dunia orangtua berbeda dengan yang muda. Jika dipaksakan untuk menyatu akan jadi masalah.

Jadi, pensiun dan masa tua itu pasti. Yang belum sampai ke sana bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin sehingga tak jadi beban ketika sudah menua. Satu lagi, membangun ruhani juga penting ketika sudah beranjak karena itu yang bisa jadi ruang penenang. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun