Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Provokatif

10 Mei 2020   01:57 Diperbarui: 10 Mei 2020   02:08 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto hanya ilustrasi. sumber foto: KOMPAS.com/DEFRIATNO NEKE dipublikasikan Tribunnews.com

Dia datang ke rumahku, pagi itu. Mengucapkan salam. Wajahku langsung terlipat secara otomatis, mengenang bagaimana dia memperlakukanku jauh di waktu-waktu sebelumnya.

Aku sudah lama tak bertemu dengannya, mungkin setahunan. Dia adalah salah satu orang yang sering bertemu dan menjadikanku sebagai objek celaan. Kadang, dia memperlakukanku seperti pelayan. Dia pernah memintaku membeli makanan. Saat itu, raut mukaku berubah.

Tentu aku tak bisa terima. Karena aku bukan pelayannya. Aku juga bukan anaknya, bukan pula bawahannya. Gesture-nya ketika menyuruhku juga mengesankan bahwa dia adalah bos. Untung kala itu aku tak memukulnya. Jika satu pukulan saja, tubuhnya pasti jatuh di kebun, karena dia ada di tepi bangunan lantai dua bersamaku saat itu. Aku pun menolak mentah-mentah permintaannya untuk membelikan makanan.

Satu ketika di waktu lainnya, dia mengumbar performa fisikku sebagai yang buruk. Dia ceritakan di depan orang banyak, di belakangku. Kenapa aku tahu? Karena belakangan ada teman lain yang menceritakan itu.

Darahku benar-benar mendidih. Aku sempat berpikir untuk menghabisinya kala itu juga. Entah mengapa dia tak suka padaku, merendahkanku, melecehkanku. Sebenarnya apa salahku? Harusnya dia berkaca, kemampuan pikirnya itu tak seberapa. 

Dia tak paham peta kehidupan, tak paham bagaimana mendatangi orang, tak paham dengan nama-nama yang telah mengubah cara pandang banyak orang di dunia. "Modalnya cuma ngebossy, padahal bukan bos. Mungkin IQ-nya sekolam, seperti kata Rocky Gerung itu," gumamku dalam hati.  

Tapi entah mengapa memang aku tak mau menjadikannya sebagai objek yang tak dimaafkan. Aku memaafkannya, bahkan sebelum dia memperlakukanku dengan buruk berkali-kali. Kelak, ketika Tuhan bertanya padaku, maka aku akan bilang aku sudah memaafkannya.

***

Kembali aku cerita saat dia ke rumahku setelah kisaran setahun tak bertemu. Kala itu aku mencuci sepeda motor. Aku memang tak menyalaminya karena memang seperti itu kebiasaan di masa Covid-19. 

Aku mempersilakannya duduk, tapi dia memilih duduk di teras rumah. Pantatnya duduk di lantai bagian depan rumahku dan kakinya menjejak tanah. Tepat depan teras rumahku memang tanah yang tak seberapa. Kadang dibuat untuk menjemur padi.

"Apa kabar?" kataku sembari terus mencuci motor. Aku tak melihatnya.

"Baik. Rajin ya, nyuci motor," ujarnya dengan wajah khas seorang penjilat.

"Ada apa gerangan mampir?" ujarku tak mau basa-basi. Aku masih mencuci motorku.

"Silaturahmi," katanya.

"Selain itu?" tanyaku.

"Ya silaturahmi saja," katanya.

Aku tak mau melihatnya lama-lama karena memang mendidih darahku ketika melihatnya.  Sembari mencuci motor, aku mengeluarkan ludah tepat di depannya. Aku tak peduli dia jijik atau tidak.

Aku tak membuka pembicaraan apapun setelahnya. Dia juga sepertinya mulai kebingungan mau membicarakan apa. "Aku pulang dulu ya," katanya.

"Ya hati-hati," ujarku masih dengan mencuci motor. Dia berlalu pergi, seperti ayam kehilangan induknya. Mungkin hatinya juga mendidih dengan perlakuanku. Tapi biarkan saja, aku menilai apa yang aku lakukan hanyalah permainan dalam hidup.  

Berkali-kali darahku mendidih dibuatnya dan aku masih memiliki banyak kesempatan untuk membalasnya. Membalas dalam konteks bahwa permainan itu ada kalanya diserang dan ada kalanya menyerang.

Ternyata, adeganku dengan si teman itu diketahui istriku. Dari balik jendela dia mempertanyakan perilakuku. "Kenapa tamu kamu perlakukan begitu, pak?" ujar istriku dengan nada tinggi.

"Itu hanya permainan bu. Permainan hidup. Aku tidak bisa selalu diserang dan diam. Ada kalanya aku menyerang. Berapa kali dia memperlakukanku dengan buruk. Kamu tahu berapa pengorbanan ibu (ibuku) untuk menjadikanku sebagai manusia dewasa. Aku disekolahkan, aku diajari menghormati orang, ibu mengeluarkan banyak hartanya sampai aku bisa selesai sekolah pendidikan tinggi (maksudnya D3, red). 

"Kemudian dia (temanku itu) memperlakukanku serendah-rendahnya, berkali-kali. Kalau aku selalu diam, berarti aku juga tak menghormati pengorbanan ibu," kataku seperti kereta yang tak berhenti. Aku berkata sembari memakai gesture tangan dan badanku karena aku berhenti sejenak mencuci motor.

"Kok jadi ibu dibawa-bawa," ujar istriku.

"Kita punya anak bu. Kalau aku diperlakukan serendah-rendahnya dan cerita itu menyebar seperti corona, bagaimana psikologi anak kita. Anak kita pun tak bisa menghargai aku karena aku telah diperlakukan rendah seperti comberan. Kamu ingin anak kita tak punya hormat pada ayahnya gegara terus dicela dan celaan itu diketahui banyak orang? Ini hanya permainan bu.  

"Aku sudah memaafkannya. Ini hanya permainan, bahwa hidup itu perlu permainan agar kita tak selalu jadi objek untuk dilukai. Sesekali kita harus melawan untuk marwah diri dan keluarga, bu," kataku tak berhenti.

"Tapi kamu tak bisa seperti itu dengan tamu. Bagaimana jika dia juga sakit hati?" kata istriku.

"Ya berarti permainan sudah berjalan dengan baik. Aku pernah dia sakiti berkali-kali dan dia aku sakiti sekali," ujarku.

"Capek ngomong sama kamu pak," ujar istriku.

 Teng...teng...teng.... Suara panci dipukul terdengar dari rumah tetangga sebelah. "Om, apa ngga bisa lebih keras lagi adu mulutnya. Ini puasa om," sindir tetanggaku, Tante Rosa dengan suara baritonnya.

"Siyaaapppp Tante," kataku sembari menghormatkan tangan padanya.

Aku menyemprot motorku dengan air yang terakhir. Selesai. Aku duduk melepas lelah. Lalu, merebahkan badan di depan rumah. Aku menimang kembali pernyataanku pada temanku, pada istriku. "Ya memang itu yang harus aku lakukan. Tapi apa iya seperti itu..." gumamku dalam hati. Aku seperti mulai ragu dengan sikapku... Aku tertidur pulas. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun