"Kemudian dia (temanku itu) memperlakukanku serendah-rendahnya, berkali-kali. Kalau aku selalu diam, berarti aku juga tak menghormati pengorbanan ibu," kataku seperti kereta yang tak berhenti. Aku berkata sembari memakai gesture tangan dan badanku karena aku berhenti sejenak mencuci motor.
"Kok jadi ibu dibawa-bawa," ujar istriku.
"Kita punya anak bu. Kalau aku diperlakukan serendah-rendahnya dan cerita itu menyebar seperti corona, bagaimana psikologi anak kita. Anak kita pun tak bisa menghargai aku karena aku telah diperlakukan rendah seperti comberan. Kamu ingin anak kita tak punya hormat pada ayahnya gegara terus dicela dan celaan itu diketahui banyak orang? Ini hanya permainan bu. Â
"Aku sudah memaafkannya. Ini hanya permainan, bahwa hidup itu perlu permainan agar kita tak selalu jadi objek untuk dilukai. Sesekali kita harus melawan untuk marwah diri dan keluarga, bu," kataku tak berhenti.
"Tapi kamu tak bisa seperti itu dengan tamu. Bagaimana jika dia juga sakit hati?" kata istriku.
"Ya berarti permainan sudah berjalan dengan baik. Aku pernah dia sakiti berkali-kali dan dia aku sakiti sekali," ujarku.
"Capek ngomong sama kamu pak," ujar istriku.
 Teng...teng...teng.... Suara panci dipukul terdengar dari rumah tetangga sebelah. "Om, apa ngga bisa lebih keras lagi adu mulutnya. Ini puasa om," sindir tetanggaku, Tante Rosa dengan suara baritonnya.
"Siyaaapppp Tante," kataku sembari menghormatkan tangan padanya.
Aku menyemprot motorku dengan air yang terakhir. Selesai. Aku duduk melepas lelah. Lalu, merebahkan badan di depan rumah. Aku menimang kembali pernyataanku pada temanku, pada istriku. "Ya memang itu yang harus aku lakukan. Tapi apa iya seperti itu..." gumamku dalam hati. Aku seperti mulai ragu dengan sikapku... Aku tertidur pulas. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H