Memori saya masih kuat mengingat hal itu. Bagaimana Moerdiono ikut berjoget sembari meniup peluit. Dan momen itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali terjadi kala acara konser dangdut yang disiarkan TPI. Sehingga jika ada acara dangdut kemudian juga ada Pak Moerdiono dengan peluitnya.
Bagi saya, jika ada orang sangat ekspresif di acara seperti konser dangdut, itu adalah upaya untuk melepaskan diri sejenak dari kepenatan. Saya meyakini bahwa sebagai Mensesneg masa itu, stres dan tegang tingkat tinggi jadi rutinitas.
Saya juga ingat ketika membaca sebuah artikel berapa belas tahun setelah Reformasi. Moerdiono digambarkan bisa bicara normal dan tak seperti saat menajdi Mensesneg. Dia bicara mengalir dan biasa saja.
Saya kemudian merenungkan perlunya kehati-hatian. Saya pikir Moerdiono telah memberi contoh secara tak langsung tentang kehati-hatian. Menyampaikan informasi ke publik itu memang hati-hati. Apalagi, informasi yang sangat penting.
Salah informasi bisa jadi masalah besar. Kini, penyampai informasi ke publik tak hanya dimonopoli oleh pejabat negara atau jurnalis. Warga biasa pun bisa menjadi penyampai informasi ke publik melalui aplikasi pesan singkat di telepon genggam.
Banyak kan yang menyampaikan informasi tanpa kehati-hatian? Informasi yang disampaikan tanpa memilah dan memilih. Sampai kemudian, kepanikan menjalar di antara kita semua karena informasi yang disampaikan adalah informasi hoaks.
Di tengah rebahan saya, kemudian saya merasa bahwa membuka lembaran lama untuk dipelajari ulang itu cukup penting untuk direnungkan. Sehingga kita tak perlu mengulangi kesalahan hanya gara-gara tak melihat ke belakang. Oiya, anak saya pun kemudian terlelap. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H