Dunia itu faktanya adalah bahwa tidak semua orang bisa jadi bos atau pimpinan dalam dunia kerja. Dunia itu faktanya adalah bahwa tidak semua orang bisa mendapatkan gaji Rp 100 juta per bulan. Fakta dunia itu, ada yang benar-benar banting tulang berkeringat baru mendapatkan uang, ada juga yang hanya duduk manis bisa mendapatkan uang karena warisan.
Hampir semua orang, apalagi ketika masih muda menginginkan hal ideal tentang pekerjaannya. "Aku ingin bekerja di belakang meja saja," kata seorang teman dahulu kala saat masih bau kencur. "Ini ya, nanti kalau kita sudah senior, tinggal suruh-suruh saja itu bawahan. Nanti kan kita ada waktunya seperti itu," kata seorang teman lainnya belasan tahun lalu.
Semua ingin mendapatkan keenakan, kenikmatan dalam bekerja, khususnya kenikmatan pendapatan. Tapi, sekali lagi bahwa hidup ya tidak bisa semuanya jadi pemimpin. Hidup itu faktanya adalah ada yang menyuruh dan ada yang disuruh. Ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Ada pimpinan kalau lagi ada maunya, memanggil bawahan dengan, "mas minta tolong."
Kadang geli sendiri ada pimpinan menyapa "mas" pada bawahan agar bawahan melaksanakan tugasnya. Padahal si pimpinan itu sehari-hari langsung panggil nama, ketika ada maunya memanggil bawahannya dengan sebutan "mas". Artinya, menghormati ketika ada maunya. Saya geli, tapi tidak sampai basah.
Hidup itu ya ada yang hidup di pemerintahan dan ada yang hidup di swasta. Ada cerita, yang di pemerintahan bilang, "enak ya di swasta, kerjanya lebih fleksibel. Apalagi wiraswasta, bisa ngatur jam kerja seenaknya sendiri. Kalau pegawai pemerintah ya jam 07.30 absen, ada prosedur, cenderung kaku."
Yang kerja di swasta atau wiraswasta punya pandangan lain. "Jadi pegawai pemerintah enak ya karena pendapatan bulanan  sudah pasti. Dapat uang pensiun, jadi kalau sudah tua, sudah pensiun, tinggal di rumah, momong cucu," kata yang swasta. Lalu ditimpali lagi sama yang kerja di pemerintahan. "Pensiun kan ngga seberapa," kata yang kerja di pemerintahan.
Jadi dua pihak yang sering mengeluh itu saling menjelekkan pekerjaannya sendiri dan menganggap pekerjaan yang lain lebih baik. Nah giliran satu waktu kerjaan mereka berganti lalu mengeluh lagi.Â
"Kalau begini caranya mending jadi pegawai pemerintah ya. Jadi swasta berat, harus mikir sendiri," kata mantan pegawai pemerintah yang pindah jadi wiraswasta.Â
Di sisi lain, pegawai swasta yang jadi pegawai pemerintah pun punya pandangan. "Kalau kayak gini mending swasta saja. Kerja kok prosedural," kata pegawai swasta atau wiraswasta yang jadi pegawai pemerintah.
Jadi kata orang dahulu, hidup itu saling memandang. Si A memandang si B enak, si B pun memandang si A enak. Lalu, satu yang pasti, bahwa secara umum yang namanya mencari nafkah itu memang berat.Â
Mereka yang merdeka karena berwiraswasta harus memeras otak, keringat, dengan mati-matian untuk mencari nafkah. Mereka yang bekerja jadi pegawai atau karyawan harus merelakan sebagian kemerdekaannya untuk kepentingan organisasi kerjanya.
Jadi, bekerja itu tinggal jalani saja. Jika bekerja di organisasi baik swasta atau pemerintah ya harus rela memberikan sebagian kemerdekaannya untuk kepentingan organisasi kerja. Sebab, memang seperti itulah organisasi.Â
Orang kalau sudah masuk organisasi harus rela memberikan sebagian kemerdekaannya untuk kepentingan organisasi, yang bahasa kerennya adalah "loyalitas". Sementara, jika bekerja wiraswasta ya memang harus berani menanggung risiko. Risikonya adalah kemungkinan gagal yang relatif besar. Sebab, wiraswasta memang kental dengan spekulasi.
Maka sekali lagi jalani saja. Semua pekerjaan ada plus dan minusnya. Anda boleh saja beranggapan bahwa pekerjaan tertentu lebih enak, tapi coba lakukan saja pekerjaan yang dianggap enak itu. Pekerjaan yang dianggap enak itu pasti akan memunculkan masalah.
Jalani pekerjaan sebaik-baiknya, lalu lupakan. Artinya bekerja ketika bekerja, kalau sudah selesai, bisa pikir yang lainnya. Saya hanya membayangkan, jenuhlah manusia ketika bekerja berjam-jam dan ketika nongkrong pun ngomong pekerjaan. Ketika libur, mensetting pekerjaan. Wuhhh, sempit sekali hidupnya. Tapi itu pun pilihan dan hak setiap orang untuk terus memikirkan pekerjaan atau tidak selalu memikirkan pekerjaan.
Jalani saja pekerjaan, jika sudah selesai bisa kumpul keluarga. Sesekali main ke rumah teman untuk sekadar bersenda gurau. Atau ketika menjelang senja mainlah ke sawah untuk melihat pemandangan sembari menggendong si kecil yang lengket dengan susunya.
Syukur syukur Anda menikmati pekerjaan Anda. Menikmati karena Anda suka. Jangan menikmati karena Anda mendapat gaji tapi tak mau kerja. Jika disuruh kerja berat sedikit, tidak mau dengan alasan macam-macam, tapi getol ketika melihat rekening di awal atau akhir bulan. Kalau gitu, namanya pekerja atau pegawai kardus! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H