Mohon tunggu...
Ilhamdi Putra
Ilhamdi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Manajer Riset LBH Pers Padang, Peneliti Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Peneliti Ruang Riset Sastra dan Humaniora Lab. Pauh9

Kurang tidur, jarang makan, tidak punya hutang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Timang-timang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

23 Juli 2023   22:46 Diperbarui: 24 Juli 2023   00:33 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayangnya, MK kembali kehilangan nyali untuk membatalkan keseluruhan Undang-Undang Cipta Kerja meski mengamini adanya cacat prosedur dalam tahapan pembentukannya. Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 justru menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam tempo 2 tahun. Ketakberanian MK itulah yang kemudian dikangkangi pemerintah dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang kembali menyalahi aturan main penerbitan perppu.

Kedua, perangai Hakim Konstitusi. Dekade pertama MK dimulai dengan kasus Arsyad Sanusi yang membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak berperkara. Tidak butuh waktu lama bagi Arsyad untuk mengakui kesalahannya dan bersedia mengundurkan diri di tahun 2011.

Kasus suap sengketa pilkada yang dilakoni Akil Mochtar pada tahun 2013 merupakan pukulan telak bagi MK sekaligus menjadi titik balik pengadilan konstitusional itu, karena setelahnya pelanggaran etik Hakim Konstitusi kian ramai terjadi. Dekade kedua dapat dimulai dengan kasus suap Patrialis Akbar di tahun 2017 yang memperburuk stigma publik. Sementara dari sembilan Hakim Konstitusi yang tengah menjabat saat ini, terdapat tiga orang yang dapat dipertanyakan etika kenegarawanannya. Sebutlah Arief Hidayat yang melakukan pelanggaran etik beruntun di tahun 2018, lalu Anwar Usman dan Guntur Hamzah yang telah dibahas sebelumnya.

Betapa pun pahitnya, mau tak mau, harapan tetap harus ditumpangkan kepada MK bersama para Hakim Konstitusinya. Putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022 tentang sistem pemilu proporsional terbuka layak diapresiasi untuk kemudian diposisikan sebagai simpang jalan bagi pengadilan konstitusional itu. Keberanian MK patut dipuji karena kuatnya kepentingan politik partai penguasa yang menginginkan sistem proporsional tertutup di pemilu 2024 mendatang. Di titik inilah MK berada tepat di persimpangan jalan; kembali menjadi anak kandung Reformasi, atau kadung nyaman ditimang kekuasaan setelah bersalin asuh menjadi anak adopsi oligarki.

Jalan manapun, pilihan sepenuhnya berada di tangan sembilan Hakim Konstitusi. Bukankah UUD 1945 mengkualifikasikan mereka sebagai negarawan sehingga layak dibekali kewenangan sebagai satu-satunya penafsir yang sah atas konstitusi? Sebuah kewenangan besar yang tidak dapat diimbangi oleh cabang kekuasaan manapun di negara ini. Kewenangan yang hanya dimiliki oleh Sembilan Sulaiman di antara lebih dari 270 juta rakyat Indonesia yang menjadikan MK sebagai strong court dalam kategori Tushnet (2008).

Selamat ulang tahun ke-20 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang kami cintai sepenuh hati, sepenuh diri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun