Mohon tunggu...
Ilhamdi Putra
Ilhamdi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Manajer Riset LBH Pers Padang, Peneliti Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Peneliti Ruang Riset Sastra dan Humaniora Lab. Pauh9

Kurang tidur, jarang makan, tidak punya hutang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Timang-timang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

23 Juli 2023   22:46 Diperbarui: 24 Juli 2023   00:33 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Koleksi Penulis (Study Visit Perhimpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Desember 2022)

What is it that makes us trust our judges?

Their independence in office and manner of appointment.

(John Marshall)

Tidak perlu uraian panjang untuk menyatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) merupakan anak kandung Reformasi. Sebagai lembaga yang dibekali kewenangan menafsirkan konstitusi sekaligus menguji konstitusionalitas undang-undang, kelahiran MK merupakan konsekuensi langsung atas gerakan Reformasi yang menghendaki amandemen UUD 1945. Sekalipun amandemen hanya satu dari enam tuntutan bertajuk Agenda Reformasi, namun ide pokok yang mempertautkan keenamnya adalah perombakan struktur ketatanegaraan untuk mewujudkan negara hukum. 

Sementara konsepsi negara hukum meniscayakan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan yang ditempatkan sejajar dengan batas-batas kewenangan yang definitif. Pada kewenangan menafsirkan konstitusi dan membatalkan undang-undang itulah MK hadir guna menjalankan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan, sekaligus menjadi penyeimbang tarik-menarik antara legislatif dan eksekutif.

Kerentanan MK dan Jebakan Oligarki

Sekalipun eksistensi MK berpijak di atas gagasan independensi yudikatif, namun terjadinya relasi saling mempengaruhi antarcabang kekuasaan merupakan keniscayaan lain yang tidak dapat dihindari. Sebab meski desain perlembagaan negara telah memisahkan cabang-cabang kekuasaan berdasarkan jenisnya, hal itu tetap saja menyisakan residu sebagai imbas praktik penyelenggaraan negara yang tidak dapat memutus habis hubungan antarlembaga. 

Misalnya pada kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi ranah DPR, MK akan selalu terbuka untuk terpengaruh dalam hal perubahan undang-undangnya. Hal itu ditambah lagi dengan peran DPR dan Presiden untuk mengajukan Hakim Konstitusi, di mana proses pengisian jabatan itu sarat kalkulasi politik.

Bila dibandingkan dengan MK di dunia, perubahan undang-undang dan intervensi melalui pengisian jabatan Hakim Konstitusi merupakan pola umum yang jamak terjadi. Sebutlah Hungaria, Rusia, Turki, dan Venezuela yang mengubah peraturan perundang-undangan ihwal mekanisme pengisian jabatan Hakim Konstitusi sebagai jalan bagi kekuatan politik untuk menyeludupkan hakim-hakim loyalis pada kekuasaan.

Menariknya, di Indonesia pola ini dimanfaatkan dengan begitu baik. Sebutlah perubahan undang-undang MK melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 yang menghapuskan periodesasi masa jabatan Hakim Konstitusi. Perubahan ini sejatinya mengandung paradoks. Di satu sisi penghapusan periodesasi jabatan Hakim Konstitusi terbilang baik karena menekan potensi persinggungan Hakim Konstitusi dengan praktik politik praktis melalui satu kali masa jabatan yang panjang. Di sisi lain perubahan undang-undang yang dilakukan pada momentum kritis tatkala MK kebanjiran perkara uji konstitusionalitas terkait revisi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Cipta Kerja memberi nuansa politik transaksional yang tak terhindarkan.

Fenomena itu diperparah dengan intervensi DPR melalui pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto di luar ketentuan undang-undang. Bahkan Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, terang menyatakan pemberhentian itu dilatarbelakangi Aswanto yang tidak loyal karena banyak menganulir undang-undang buatan DPR. Dari alasan itulah DPR memasang Guntur Hamzah sebagai gantinya yang tentu telah dipastikan loyal dan berkomitmen untuk tidak menganulir undang-undang buatan DPR. Intervensi DPR lekas membuahkan hasil lewat skandal pemalsuan putusan oleh Guntur Hamzah yang dilakukan hanya beberapa jam setelah ia dilantik sebagai Hakim Konstitusi.

Dari semua fenomena tersebut, ada satu hal yang membedakan gangguan independensi MK Indonesia dibandingkan negara-negara lainnya, yakni perkawinan politik antara Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Jokowi. Larangan perkawinan politik memang tidak ditemukan melalui pengaturan yang definitif, namun adanya hubungan semenda antara Ketua Hakim Konstitusi dengan Presiden adalah persoalan etis yang amat serius. Padahal terdapat Peraturan MK Nomor 9/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang bersendikan prinsip independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, serta kecakapan dan kebersamaan. 

Empat dari enam prinsip inilah yang dilanggar Anwar Usman, karena hubungan semenda itu mengakibatkan ia bias di hadapan prinsip independensi, ketakberpihakan, integritas, dan kepantasan, sedangkan MK mengemban lima tugas konstitusional yang keseluruhannya bersinggungan dengan kewenangan dan posisi politis Presiden. Hubungan semenda ini seharusnya dapat ditafsirkan sebagai keadaan yang mengakibatkan Anwar Usman berhalangan tetap untuk memenuhi tugasnya sebagai Hakim Konstitusi. Bukankah hukum mengapung di atas lautan etika, sebagaimana petuah Earl Warren?

Bila dirunut ke pangkal, seluruh perundungan politik kepada MK bermula dari mandeknya pengawasan legislatif kepada eksekutif akibat ketimpangan koalisi dan oposisi di DPR. Kemandekan itu merupakan dampak ketentuan Presidential Threshold yang menekan potensi terbentuknya oposisi di parlemen. Ambang batas pencalonan Presiden sebesar 20% dari perolehan kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional berdasarkan pemilu DPR sebelumnya mengakibatkan partai berlomba membangun koalisi sebesar-besarnya agar dapat mengusung calon Presiden di pemilu berikutnya. 

Saat ini saja koalisi pemerintah di DPR memenuhi angka 81,91% melawan oposisi yang hanya 18,09%. Koalisi tambun ini menghasilkan politik bagi-bagi kue yang telah membudaya di Indonesia, di mana koalisi pemenang pemilu Presiden akan terus menjadi magnet politik bagi partai-partai yang seharusnya bertahan sebagai oposisi. Maka yang terjadi kemudian adalah sejalannya arah dan tujuan politik legislatif dengan eksekutif, di sinilah lingkaran oligarki politik itu terbentuk dan semakin jauh menjamah independensi MK.

Jika pola ini terjadi terus-menerus di tengah kenyataan MK yang kehilangan nyali membatalkan ketentuan Presidential Threshold, ke depannya dapat dipastikan enam orang Hakim Konstitusi yang diajukan DPR dan Presiden secara langsung merefleksikan kepentingan politik dua lembaga pembentuk undang-undang tersebut. Hal itu tentunya didahului pengerucutan pendapat atas calon-calon Hakim Konstitusi yang akan diusulkan dengan bertumpu pada lobi-lobi politik sebagai instrumen utama. Hasilnya jelas, akuntabilitas dan transparansi pengisian jabatan Hakim Konstitusi berikut independensi MK tinggal utopia belaka.

Distopia ini belum berakhir. Preferensi politik Hakim Konstitusi akan sangat mempengaruhi pembentukan sekaligus kualitas putusan MK, karena oligarki politik telah mengantongi suara mutlak sebanyak 6:3. Itupun setelah berandai-andai jikalau tiga Hakim Konstitusi usulan MA memiliki independensi memadai untuk bertarung melawan arus kuat oligarki yang telah duduk sebagai sel kanker di Majelis Hakim Konstitusi, meski ketiganya dikalahkan berkali-kali. Bilamana distopia ini terjadi, MK tinggal menjadi petugas stempel konstitusional bagi seluruh produk legislasi DPR dan Presiden, sekaligus kantor politisi yang bertugas mengamini seluruh tindakan politik dua lembaga itu.

Di Simpang Jalan

Membincang dinamika MK dapat dilakukan dengan membagi perjalanannya secara periodik di tahun 2003-2013 dan tahun 2014-2023, baik itu dalam hal putusan maupun perangai Hakim Konstitusi.

Pertama, putusan. Dekade pertama MK diwarnai berbagai capaian yang tidak mungkin dilupakan. Misalnya Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang bermula dari permohonan uji materil Undang-Undang Ketenagalistrikan yang meliberalisasi cabang produksi vital. Dalam putusannnya MK menilai terdapat tiga materi yang terbukti inkonstitusional, namun Mahkamah menilai ketiganya merupakan jantung Undang-Undang Ketenagalistrikan. 

Akibatnya MK membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut dan untuk menghindari kekosongan hukum Mahkamah menyatakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan kembali berlaku sampai Pemerintah dan DPR menyepakati undang-undang baru. Ada juga Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009. Putusan ini adalah upaya konkret MK melindungi hak konstitusional warga negara yang berhak memilih namun tidak terdaftar dalam DPT untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP yang masih berlaku atau paspor bagi WNI yang berada di luar negeri.

Pada dekade kedua MK menghadapi konsolidasi oligarki di level berbeda yang begitu mempengaruhi keberaniannya. Hal itu terlihat pada Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 atas uji formil revisi Undang-Undang KPK yang jelas-jelas mengebiri lembaga antirasuah itu. Dari sembilan Hakim Konstitusi, hanya Wahidudin Adams yang mengajukan pendapat berbeda dan menilai adanya persoalan konstitusionalitas dan moralitas serius di balik perubahan Undang-Undang KPK. Lalu Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas pengujian Undang-Undang Cipta Kerja yang merupakan kali pertama MK mengabulkan permohonan uji formil. 

Sayangnya, MK kembali kehilangan nyali untuk membatalkan keseluruhan Undang-Undang Cipta Kerja meski mengamini adanya cacat prosedur dalam tahapan pembentukannya. Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 justru menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam tempo 2 tahun. Ketakberanian MK itulah yang kemudian dikangkangi pemerintah dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang kembali menyalahi aturan main penerbitan perppu.

Kedua, perangai Hakim Konstitusi. Dekade pertama MK dimulai dengan kasus Arsyad Sanusi yang membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak berperkara. Tidak butuh waktu lama bagi Arsyad untuk mengakui kesalahannya dan bersedia mengundurkan diri di tahun 2011.

Kasus suap sengketa pilkada yang dilakoni Akil Mochtar pada tahun 2013 merupakan pukulan telak bagi MK sekaligus menjadi titik balik pengadilan konstitusional itu, karena setelahnya pelanggaran etik Hakim Konstitusi kian ramai terjadi. Dekade kedua dapat dimulai dengan kasus suap Patrialis Akbar di tahun 2017 yang memperburuk stigma publik. Sementara dari sembilan Hakim Konstitusi yang tengah menjabat saat ini, terdapat tiga orang yang dapat dipertanyakan etika kenegarawanannya. Sebutlah Arief Hidayat yang melakukan pelanggaran etik beruntun di tahun 2018, lalu Anwar Usman dan Guntur Hamzah yang telah dibahas sebelumnya.

Betapa pun pahitnya, mau tak mau, harapan tetap harus ditumpangkan kepada MK bersama para Hakim Konstitusinya. Putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022 tentang sistem pemilu proporsional terbuka layak diapresiasi untuk kemudian diposisikan sebagai simpang jalan bagi pengadilan konstitusional itu. Keberanian MK patut dipuji karena kuatnya kepentingan politik partai penguasa yang menginginkan sistem proporsional tertutup di pemilu 2024 mendatang. Di titik inilah MK berada tepat di persimpangan jalan; kembali menjadi anak kandung Reformasi, atau kadung nyaman ditimang kekuasaan setelah bersalin asuh menjadi anak adopsi oligarki.

Jalan manapun, pilihan sepenuhnya berada di tangan sembilan Hakim Konstitusi. Bukankah UUD 1945 mengkualifikasikan mereka sebagai negarawan sehingga layak dibekali kewenangan sebagai satu-satunya penafsir yang sah atas konstitusi? Sebuah kewenangan besar yang tidak dapat diimbangi oleh cabang kekuasaan manapun di negara ini. Kewenangan yang hanya dimiliki oleh Sembilan Sulaiman di antara lebih dari 270 juta rakyat Indonesia yang menjadikan MK sebagai strong court dalam kategori Tushnet (2008).

Selamat ulang tahun ke-20 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang kami cintai sepenuh hati, sepenuh diri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun