Mohon tunggu...
Ilham Andriyanto
Ilham Andriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada

Mempelajari orang lain dan belajar darinya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pakaian Seragam Sekolah di Indonesia: Kesetaraan, Resistensi, dan Pembentukan Subjek Warga Negara

27 Juni 2024   00:28 Diperbarui: 27 Juni 2024   00:39 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sekolah, selain menjadi arena belajar mengajar ilmu pengetahuan, juga menjadi arena pembentukan subjek warga negara. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seperangkat aturan yang dibuat oleh otoritas negara dijalankan secara ketat oleh otoritas sekolah sebagai perpanjangan tangan negara. Tata aturan ini mencoba untuk mengatur segala tingkah laku peserta didik di sekolah---bahkan terkadang mengikat sampai di luar sekolah---untuk menjadi subjek warga negara yang memiliki kepribadian tertentu. Pembentukan kepribadian tersebut, salah satunya disalurkan melalui tata aturan mengenai bagaimana para peserta didik di sekolah harus berpakaian. Tulisan ini akan mengulas bagaimana tata aturan mengenai pakaian seragam sekolah mencoba membentuk peserta didik sebagai subjek warga negara yang mempunyai kepribadian tertentu.

Tata Aturan Pakaian Seragam Sekolah

Saat ini, tata aturan mengenai pakaian seragam sekolah di Indonesia diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permedikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Menengah. Dalam aturan tersebut, ditetapkan bahwa pakaian seragam sekolah terdiri atas pakaian seragam nasional dan pakaian seragam pramuka. Selain itu, aturan tersebut juga memberi kewenangan kepada sekolah untuk mengatur pakaian seragam khas sekolah dan juga kepada pemerintah daerah untuk mengatur pengenaan pakaian adat bagi peserta didik di sekolah.

Dalam tata aturan tersebut, juga disebutkan secara eksplisit bahwa pengaturan pakaian seragam sekolah bertujuan untuk: (1) menanamkan dan menumbuhkan nasionalisme, kebersamaan serta memperkuat persaudaraan di antara peserta didik; (2) menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan di kalangan peserta didik; (3) meningkatkan kesetaraan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi orang tua atau wali peserta didik; dan (4) meningkatkan disiplin dan tanggung jawab peserta didik.

Sebagaimana tertulis dalam aturan di atas, bahwa pengaturan seragam sekolah dimaksudkan untuk membentuk para peserta didik untuk mempunyai kepribadian tertentu seperti berjiwa nasionalis, mempunyai rasa kebersamaan dan persaudaraan, persatuan dan kesatuan, serta membentuk peserta didik menjadi individu yang disiplin dan bertanggung jawab. Bagaimana pakaian seragam sekolah bisa dijadikan media pembentukan kepribadian tersebut?

Nasionalisme Berpakaian

Nasionalisme Indonesia dibangun dari keragaman latar belakang budaya yang berbeda-beda. Hal inilah yang kemudian menghasilkan aturan mengenai pembagian jenis pakaian seragam, yaitu pakaian seragam nasional, pakaian seragam khas sekolah, dan pakaian adat di sekolah. Pakaian seragam nasional berupaya membentuk imajinasi persatuan dan kesatuan. Sedangkan pakaian seragam khas sekolah dan pakaian adat merepresentasikan keragaman dan lokalitas kebangsaan.

Penyeragaman pakaian sekolah yang disebut sebagai pakaian seragam sekolah nasional, berupaya membentuk imajinasi para peserta didik sebagai satu kesatuan komunitas berbangsa dan bernegara. Misalnya, peserta didik yang bersekolah di pusat kota Jakarta akan mengenakan pakaian sekolah yang sama dengan pakaian seragam sekolah yang dikenakan oleh peserta didik yang bersekolah di pegunungan Sulawesi. Oleh sebab itu, melalui kesamaan bentuk dan warna pakaian yang mereka kenakan, negara bermaksud membangun imajinasi nasionalisme dalam diri peserta didik mengenai rasa satu persatuan, kesatuan, dan persaudaraan sebagai sebuah bangsa.

Sementara untuk pakaian khas sekolah, saat ini banyak didominasi oleh pakaian jenis batik, dengan motif batik yang disesuaikan dengan ciri khas dan keunikan masing-masing daerah. Beberapa sekolah di daerah tertentu, misalnya di Yogyakarta, menerapkan aturan pakaian adat yang harus dikenakan oleh peserta didik pada hari-hari tertentu. Kedua jenis pakaian ini, merupakan upaya negara untuk membangun imajinasi peserta didik mengenai lokalitas mereka, bahwa keragaman budaya tersebut tercermin dari pakaian khas yang dikenakan oleh para peserta didik.

Kita perlu mengakui bahwa bayangan imajinasi nasionalisme melalui penggunaan pakaian seragam sekolah nasional dan pakaian khas sekolah mungkin saja bisa dibilang berhasil. Namun demikian, terkadang upaya-upaya yang demikian cenderung mensimplifikasi gagasan nasionalisme yang hanya ditampilkan melalui penggunaan simbol-simbol semata.

Kesetaraan

Aturan penyeragaman pakaian sekolah ternyata juga mengandung cita-cita kesetaraan sosial. Artinya, tata aturan ini mencoba untuk mengaburkan batas-batas perbedaan kelas dan latar belakang sosial para peserta didik; melambangkan bahwa semua peserta didik mempunyai posisi yang setara di sekolah, entah itu anak pejabat tinggi negara ataupun anak petani miskin pedesaan, semuanya mempunyai hak yang sama di sekolah. Bayangkan apabila para peserta didik dibebaskan untuk berpakaian ke sekolah, akan nampak jelas sekali perbedaan sosial diantara peserta didik yang pada akhirnya bermuara pada kecemburuan sosial.

Namun demikian, idealisme ini tidak semudah yang dibayangkan. Bahwa ternyata, di dalam upaya penyeragaman tersebut selalu ada upaya untuk "tampil beda". Misalnya, mungkin dalam hal pakaian seragam yang digunakan semua peserta didik memakai pakaian yang sama, tetapi mereka menunjukkan status sosial melalui sepatu yang mereka gunakan dan atribut lain yang bisa menunjukkan status sosial mereka.

Menjadi Siswa yang Taat

Pengaturan penggunaan pakaian seragam yang dimaksud di atas berupaya untuk membentuk karakter kepribadian peserta didik yang taat. Idealisme ini, terkadang membawa pada perbedaan antara peserta didik yang taat dan tidak taat, yang biasanya dengan mudah diidentifikasi melalui bagaimana cara mereka berpakaian. Misalnya, peserta didik yang saban harinya berpakaian seragam dengan baju yang dikeluarkan dan atribut tidak lengkap, dipandang sebagai peserta didik yang tidak taat, begitu sebaliknya. Hal ini bahkan terkadang dijadikan alat pengkategorian sosial di lingkungan sekolah untuk melihat mana peserta didik yang baik dan mana peserta didik yang nakal.

Refleksi

Dengan melihat bagaimana tata cara berpakaian diatur di sekolah, kita bisa melihat bahwa pengaturan pakaian seragam sekolah ternyata merupakan upaya negara untuk membentuk peserta didik di sekolah untuk menjadi warga negara yang mempunyai kepribadian tertentu, seperti misalnya berjiwa nasionalisme, menjunjung kesetaraan sosial, dan menjadi warga negara yang taat. Namun, kita juga melihat bahwa dibalik pengaturan tersebut, para peserta didik selalu punya cara untuk mensiasati tata aturan berpakaian di sekolah, bahkan terkadang dijadikan sarana menunjukkan jati diri, baik dengan cara melanggar aturan berseragam, atau membuat orang lain terkesan dengan ketaatan berpakaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun