Mohon tunggu...
Ilham Amanah R.K.
Ilham Amanah R.K. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi

NIM 55523110011 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Besar 2: Diskursus Model Dialektika Hegelian dan Hanacaraka pada Pemeriksaan Pajak

25 November 2024   21:25 Diperbarui: 25 November 2024   21:25 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: modul TB2 Pemeriksaan Pajak (dokpri Prof. Apollo)

Dialektika Hegelian: Kerangka Dinamis untuk Memahami Perubahan

Dialektika Hegelian adalah salah satu metode pemikiran yang paling berpengaruh dalam filsafat Barat. Dialektika ini dikembangkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf asal Jerman.

Hegel hidup pada era penuh gejolak di Eropa, seperti Revolusi Prancis, kebangkitan kapitalisme, dan perubahan besar dalam tatanan politik dan sosial. Perubahan ini memberikan inspirasi bagi pemikirannya bahwa realitas dan sejarah tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang tetap atau final. Sebaliknya, ia melihat sejarah sebagai arena perjuangan ide yang saling bertentangan, yang menghasilkan sintesis baru.

Sebagai seorang idealis, Hegel percaya bahwa realitas pada dasarnya adalah ekspresi dari ide-ide. Namun, berbeda dengan filsuf idealis sebelumnya seperti Immanuel Kant, yang memisahkan dunia ide dari dunia material, Hegel melihat keduanya saling terkait melalui proses dialektika.

Dengan dialektika, Hegel berusaha menjelaskan bagaimana ide, sejarah, dan realitas berkembang melalui serangkaian konflik yang pada akhirnya menghasilkan resolusi. Bagi Hegel, dunia tidak bersifat statis, melainkan selalu berada dalam proses perubahan dan transformasi yang dinamis. Pandangan ini sangat revolusioner karena menolak gagasan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa kebenaran muncul melalui proses yang terus bergerak maju, di mana kontradiksi menjadi motor utama perkembangan.

Konsep Tesis, Antitesis, dan Sintesis

Salah satu konsep utama dalam dialektika Hegelian adalah trilogi tesis, antitesis, dan sintesis. Ketiga elemen ini menggambarkan bagaimana perubahan terjadi melalui konflik dan penyatuan antara gagasan-gagasan yang saling bertolak belakang.

sumber: modul TB2 Pemeriksaan Pajak (dokpri Prof. Apollo)
sumber: modul TB2 Pemeriksaan Pajak (dokpri Prof. Apollo)
  • Tesis: Tesis adalah gagasan awal atau status quo yang ada dalam suatu sistem. Ia menjadi titik awal dalam proses dialektika, tetapi selalu mengandung keterbatasan atau kelemahan yang mengundang pertentangan.
  • Antitesis: Antitesis muncul sebagai reaksi atau kontradiksi terhadap tesis. Ia menantang dan mengkritik tesis, sering kali menonjolkan aspek-aspek yang tidak terakomodasi oleh gagasan awal. Antitesis inilah yang menciptakan konflik atau ketegangan yang perlu diselesaikan.
  • Sintesis: Sintesis adalah resolusi dari konflik antara tesis dan antitesis. Ia menggabungkan elemen-elemen dari kedua gagasan untuk membentuk pemahaman baru yang lebih maju dan kompleks. Namun, sintesis ini tidak bersifat final; ia akan menjadi tesis baru yang kemudian menghadapi antitesis berikutnya, sehingga siklus terus berlanjut.

Memahami Proses Dialektika Hegelian melalui Contoh Konkret

Dialektika Hegelian adalah metode untuk memahami dinamika perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam pemikiran, sejarah, maupun struktur sosial. Proses dialektika ini melibatkan tiga tahap utama: tesis (keadaan awal atau ide yang dominan), antitesis (reaksi atau kontradiksi terhadap tesis), dan sintesis (resolusi yang mengintegrasikan elemen dari kedua gagasan tersebut menjadi sesuatu yang baru). Beberapa contoh konkret penerapan dialektika Hegelian adalah sebagai berikut:

1. Dialektika dalam Pemikiran Abstrak

Pemikiran abstrak sering kali melibatkan gagasan-gagasan yang bertolak belakang, tetapi interaksi antara gagasan-gagasan ini memungkinkan pemahaman yang lebih kaya.

  • Tesis: Semua manusia sama.
    Pernyataan ini mencerminkan prinsip universal yang menjadi dasar dari berbagai dokumen hak asasi manusia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Gagasan ini menekankan kesetaraan hak dan martabat setiap individu tanpa memandang latar belakang.
  • Antitesis: Semua manusia berbeda.
    Antitesis ini muncul dari kenyataan bahwa setiap individu memiliki identitas, budaya, pengalaman, dan kemampuan yang berbeda. Misalnya, perbedaan etnis, gender, atau budaya sering kali menunjukkan keragaman manusia yang tidak dapat disamaratakan.
  • Sintesis: Semua manusia pada dasarnya setara, tetapi memiliki keunikan individu yang harus dihargai.
    Resolusi ini mengakui kesetaraan mendasar yang dimiliki semua manusia, sekaligus menghormati keberagaman mereka. Sintesis ini menjadi dasar bagi konsep pluralisme, yang menekankan penghormatan terhadap perbedaan di dalam kerangka kesetaraan hak.

2. Dialektika dalam Sejarah: Revolusi Prancis

  • Tesis: Sistem monarki absolut di Prancis.
    Sebelum revolusi, Prancis berada di bawah kekuasaan monarki absolut, di mana raja memiliki otoritas penuh atas pemerintahan dan masyarakat. Sistem ini mencerminkan tatanan lama yang hierarkis dan terpusat.
  • Antitesis: Revolusi Prancis dengan semboyan "Libert, galit, Fraternit" (Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan).
    Revolusi ini menolak sistem monarki absolut, menuntut kebebasan individu, hak politik, dan kesetaraan di hadapan hukum. Namun, revolusi ini juga membawa periode kekacauan, seperti pemerintahan teror.
  • Sintesis: Munculnya republik modern.
    Hasil dari konflik ini adalah pembentukan republik yang berusaha mengintegrasikan prinsip kebebasan individu dengan struktur pemerintahan demokratis. Republik ini menjadi fondasi bagi sistem pemerintahan yang lebih seimbang, meskipun terus berkembang melalui tantangan baru.

3. Dialektika dalam Perubahan Sosial: Teori Marx tentang Perjuangan Kelas

Karl Marx, yang terinspirasi oleh dialektika Hegelian, mengadaptasi proses ini untuk menganalisis dinamika perjuangan kelas dalam masyarakat kapitalis.

  • Tesis: Sistem kapitalis.
    Sistem kapitalisme menciptakan hierarki kelas, di mana kelas borjuis (pemilik modal) menguasai sarana produksi dan mengakumulasi kekayaan. Dalam sistem ini, kelas pekerja (proletar) hanya menjual tenaga kerja mereka untuk bertahan hidup.
  • Antitesis: Perlawanan kelas proletar.
    Proletar, yang merasa dieksploitasi oleh kelas borjuis, melakukan perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Perlawanan ini dapat berupa gerakan buruh, serikat pekerja, atau bahkan revolusi sosial yang bertujuan untuk menghapus eksploitasi.
  • Sintesis: Munculnya masyarakat tanpa kelas.
    Marx meramalkan bahwa konflik ini akan menghasilkan masyarakat baru, di mana sarana produksi dimiliki bersama dan eksploitasi dihapuskan. Dalam masyarakat komunis ideal, tidak ada lagi perbedaan kelas, dan produksi diarahkan untuk kesejahteraan semua orang.

Dialektika Hegelian memiliki pengaruh besar dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam filsafat, ia memberikan dasar bagi perkembangan pemikiran Karl Marx, Friedrich Engels, dan filsafat eksistensialisme. Dalam sejarah, metode ini digunakan untuk menganalisis bagaimana perubahan besar terjadi, seperti peralihan dari feodalisme ke kapitalisme. Dalam sosiologi, teori-teori konflik sosial sering menggunakan pendekatan dialektika untuk menjelaskan bagaimana struktur masyarakat berkembang.

Bahkan dalam ilmu alam, ide serupa dapat ditemukan dalam teori evolusi. Proses seleksi alam sering kali menciptakan "konflik" antara spesies dan lingkungannya, menghasilkan adaptasi baru yang dapat dipahami sebagai "sintesis."

Filosofi Jawa dan Cikal Bakal Hanacaraka

Pemikiran Jawa mengandung kedalaman filosofis yang melampaui batas-batas suku atau etnis. Kata "Jawa" sendiri tidak hanya merujuk pada identitas kultural, tetapi juga menggambarkan kemampuan manusia untuk memahami atau mengerti melalui refleksi mendalam. Pemahaman ini tidak sekadar berbasis rasionalitas, tetapi juga mencakup dimensi intuitif, spiritual, dan estetika. Filosofi Jawa kaya dengan metafora, bahasa berlapis, serta konsep dialektika kosmos yang menjadikan alam semesta sebagai "logos" atau prinsip dasar kehidupan.

Dalam pemahaman Jawa, kesadaran sejati dicapai melalui mata batin yang terasah. Mata batin ini memungkinkan manusia untuk tidak hanya melihat fenomena lahiriah, tetapi juga memahami esensi yang tersembunyi di baliknya. Dalam bahasa Jawa, ada ungkapan:

"Sadulur ingkang karimatan lan mboten karimatan"

Artinya, "saudara yang memiliki penglihatan batin dan yang tidak."

Hal ini mencerminkan perbedaan tingkat pemahaman antara mereka yang hanya mengandalkan indera fisik dengan mereka yang mampu menembus kedalaman makna melalui refleksi batin. Pemahaman Jawa tidak mengabaikan rasionalitas, tetapi mengintegrasikannya dengan intuisi dan estetika, termasuk seni tiruan atau mimesis, untuk menangkap kebenaran.

Bahasa dalam filosofi Jawa bersifat Dasanama, yang berarti satu kata memiliki banyak makna. Istilah ini berasal dari kata dasa (sepuluh) dan nama (sebutan atau arti). Dengan demikian, konsep atau kata dalam pemikiran Jawa tidak dapat dimaknai secara tunggal, tetapi selalu melibatkan berbagai interpretasi kontekstual.

Sebagai contoh, kata "langit" dalam bahasa Jawa tidak hanya mengacu pada hamparan di atas bumi, tetapi juga menggambarkan keluhuran, keterbukaan, dan takdir. Kekayaan makna ini memungkinkan pemikiran Jawa untuk fleksibel dan adaptif terhadap berbagai situasi tanpa kehilangan substansinya.

Dalam filosofi Jawa, alam semesta dianggap sebagai logos, prinsip dasar yang mendasari semua kehidupan. Pemahaman ini bersifat dialektis, mencakup interaksi antara:

  1. Jagat Gumelar: Alam semesta yang tampak, yaitu realitas lahiriah yang bisa diamati oleh indera manusia.
  2. Jagat Gumulung: Alam semesta yang tersembunyi, yaitu esensi atau makna batiniah yang tidak terlihat secara langsung.

Interaksi antara keduanya menghasilkan Buwono Langgeng, yaitu konsep keberadaan yang abadi, di mana yang lahiriah dan batiniah menyatu dalam harmoni. Dalam pandangan Jawa, setiap elemen dalam alam semesta memiliki tempat dan perannya, dan manusia harus hidup selaras dengan keseimbangan ini.

Tiga Tingkatan Kosmos: Buwono Agung, Alit, dan Langgeng

Pemikiran Jawa tentang kosmos merupakan sebuah sistem filosofi yang mendalam, mencerminkan pandangan holistik terhadap hubungan antara manusia, alam semesta, dan dimensi spiritual. Tiga tingkatan utama dalam pemikiran ini---Buwono Agung (Makrokosmos), Buwono Alit (Mikrokosmos), dan Buwono Langgeng (Keabadian)---mencerminkan harmoni dan keterkaitan antara aspek lahiriah dan batiniah kehidupan. Berikut adalah pengembangan konsep-konsep tersebut:

1. Buwono Agung (Makrokosmos)

Buwono Agung mencerminkan alam semesta dalam skala besar, yang mencakup dunia fisik, masyarakat, bangsa, hingga negara. Dalam pemikiran Jawa, Buwono Agung adalah manifestasi lahiriah dari kehendak dan keberadaan ilahi. Konsep ini tidak hanya terbatas pada dimensi fisik, tetapi juga mencakup nilai-nilai moral dan spiritual yang mengatur keteraturan kosmik.

  • Keterhubungan dengan Tuhan: Buwono Agung dianggap sebagai wujud nyata dari Manunggaling Kawula Gusti, yaitu konsep kesatuan antara manusia dan Tuhan. Hal ini menegaskan bahwa setiap elemen dalam makrokosmos memiliki tujuan untuk merefleksikan keharmonisan ilahi.
  • Keselarasan dengan Alam: Dalam filosofi Jawa, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmoni di Buwono Agung. Gangguan terhadap alam, seperti kerusakan lingkungan, dianggap dapat mengganggu keseimbangan kosmik, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.

2. Buwono Alit (Mikrokosmos)

Buwono Alit, atau alam semesta kecil, mengacu pada individu dan lingkungan langsungnya, seperti keluarga atau komunitas kecil. Filosofi ini memandang bahwa setiap individu adalah cerminan dari alam semesta besar, sehingga terdapat hubungan erat antara Buwono Alit dan Buwono Agung.

  • Tanggung Jawab Individu: Setiap tindakan individu dipercaya memiliki dampak terhadap keseimbangan kosmos secara keseluruhan. Oleh karena itu, filosofi Jawa menekankan pentingnya laku prihatin (pengendalian diri) dan nglakoni (menghidupi nilai-nilai kebajikan).
  • Harmoni dalam Hubungan Sosial: Buwono Alit juga mencerminkan pentingnya menjaga hubungan harmonis dalam keluarga dan komunitas. Nilai seperti rukun (kebersamaan) dan gotong royong menjadi landasan penting untuk menciptakan keseimbangan di tingkat mikrokosmos.

3. Buwono Langgeng (Keabadian)

Buwono Langgeng mengacu pada dimensi keabadian yang melampaui ruang dan waktu. Konsep ini menyoroti bahwa kehidupan tidak bersifat linear, melainkan siklis, yang dikenal dengan istilah Cakramanggilingan atau roda kehidupan. Siklus ini meliputi kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali.

  • Dimensi Lahiriah dan Batiniah: Dalam pandangan Jawa, waktu bukan sekadar penanda peristiwa, tetapi juga memiliki dimensi spiritual. Dimensi lahiriah meliputi aktivitas kehidupan sehari-hari, sementara dimensi batiniah berkaitan dengan pencapaian keseimbangan spiritual.
  • Kesadaran akan Siklus Hidup: Kesadaran akan sifat siklis waktu mendorong manusia untuk hidup selaras dengan hukum alam dan spiritual. Filosofi ini mengajarkan bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju kesempurnaan batin, di mana manusia terus belajar dan memperbaiki diri hingga mencapai harmoni dengan Buwono Langgeng.

Ketiga tingkatan kosmos ini saling berhubungan dalam sebuah sistem yang terintegrasi. Buwono Agung memengaruhi Buwono Alit, begitu pula sebaliknya. Keseimbangan di Buwono Agung tercipta jika individu-individu di Buwono Alit mampu menjalani hidup dengan prinsip harmoni dan tanggung jawab. Akhirnya, pencapaian keseimbangan di kedua tingkatan ini akan membawa manusia mendekati Buwono Langgeng, yaitu keabadian spiritual yang merupakan tujuan akhir kehidupan.

Asal Muasal Hanacaraka

Aksara Brahmi merupakan salah satu sistem tulisan paling kuno yang dikenal di dunia dan memiliki peran penting dalam sejarah peradaban Asia. Aksara ini mulai berkembang di India sekitar abad ke-5 SM, dan menjadi fondasi dari banyak aksara di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Sebagai aksara yang pertama kali digunakan secara luas untuk menuliskan bahasa-bahasa Indo-Arya, aksara Brahmi menjadi alat penting dalam penyebaran ajaran agama, budaya, dan administrasi pemerintahan di berbagai kerajaan kuno.

Salah satu bukti sejarah paling awal dan terkenal yang menggunakan aksara Brahmi adalah Maklumat-maklumat Asoka. Maklumat ini terdiri dari serangkaian inskripsi yang dipahat di batu, menggambarkan kebijakan moral dan sosial yang diterapkan oleh Raja Asoka dari Dinasti Maurya, yang memerintah sekitar tahun 268-232 SM.

Inskripsi tersebut ditemukan di berbagai wilayah di India tengah-utara, mencerminkan upaya Raja Asoka dalam menyebarkan ajaran Buddha serta menjaga ketertiban sosial dan keadilan di wilayah kerajaannya.

sumber: ancientscripts.com
sumber: ancientscripts.com

Di wilayah selatan India, aksara Brahmi mengalami perkembangan menjadi aksara Pallava (atau Pallawa), yang mendapatkan namanya dari Dinasti Pallava, sebuah dinasti besar yang berkuasa di wilayah tersebut dari abad ke-4 hingga abad ke-9 Masehi. Dinasti ini dikenal sebagai salah satu kekuatan politik, budaya, dan agama yang penting di India Selatan, dan aksara Pallava menjadi salah satu warisan penting mereka.

Aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Sanskrit (Sanskerta), bahasa yang memainkan peranan sentral dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha di Asia. Dalam periode ini, aksara Pallava tidak hanya digunakan untuk kegiatan administratif dan ritual keagamaan, tetapi juga menjadi alat penting dalam penyebaran pengetahuan dan nilai-nilai agama ke berbagai wilayah di luar India, termasuk Asia Tenggara dan Nusantara.

Melalui interaksi perdagangan dan misi keagamaan, para pedagang dan pendeta dari India membawa aksara Pallava ke wilayah-wilayah lain di Asia, termasuk ke kepulauan Nusantara. Proses ini menandai fase penting dalam perkembangan budaya di Asia Tenggara, di mana pengaruh India menjadi sangat kuat, terutama dalam konteks agama Hindu-Buddha. Aksara Pallava menjadi medium utama dalam penyebaran ide-ide spiritual, politik, dan sosial dari India ke Asia Tenggara, dan secara bertahap diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lokal untuk menuliskan dokumen-dokumen penting dan prasasti resmi mereka.

Salah satu bukti paling awal dari keberadaan aksara Pallawa di Nusantara adalah Prasasti Mulawarman yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi ini ditulis dalam bahasa Sanskrit menggunakan aksara Pallava.

Prasasti ini mencatat persembahan Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai kepada para Brahmana, yang menunjukkan bahwa pada masa itu, sudah ada interaksi kuat antara kerajaan lokal dan kebudayaan India. Penggunaan aksara Pallawa pada prasasti ini juga menandakan bahwa bahasa Sanskrit telah menjadi bahasa istana dan ritual keagamaan di Kerajaan Kutai.

Selain di Kalimantan, aksara Pallava juga ditemukan di Jawa Barat melalui Prasasti Tarumanagara, yang merupakan bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Prasasti ini juga ditulis dalam bahasa Sanskrit dengan aksara Pallava, dan mencatat kegiatan Raja Purnawarman, penguasa Tarumanagara, termasuk proyek pembangunan irigasi dan perbaikan sungai.

Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi. Aksara Kawi banyak digunakan dalam prasasti-prasasti kerajaan kuno di Jawa seperti Kerajaan Mataram Kuno, yang memerintah sekitar abad ke-8 hingga ke-10. Salah satu prasasti yang terkenal adalah Prasasti Canggal (732 Masehi), yang ditulis dalam aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta, menandai keberadaan aksara India di Jawa.

Seiring berjalannya waktu, aksara Kawi terus berevolusi menjadi aksara yang lebih sesuai dengan fonologi bahasa Jawa. Pada abad ke-14 hingga ke-15, aksara Kawi mulai berubah menjadi aksara Hanacaraka yang dikenal saat ini. Aksara ini semakin disederhanakan dan digunakan secara luas oleh masyarakat Jawa untuk menulis berbagai teks, termasuk teks keagamaan, kesusastraan, dan sejarah.

Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, aksara Hanacaraka digunakan dalam berbagai teks kesusastraan, naskah keagamaan, serta dokumen resmi kerajaan. Penggunaan aksara ini tercatat dalam karya-karya besar seperti Serat Ramayana dan Serat Pararaton.

sumber: Modul TB2 Pemeriksaan Pajak (dokpri Prof. Apollo)
sumber: Modul TB2 Pemeriksaan Pajak (dokpri Prof. Apollo)

Mitologi Aji Saka, Asal Muasal Aksara Hanacaraka

Selain sejarah linguistiknya, aksara Hanacaraka juga memiliki dimensi filosofis dan simbolik yang kuat. Dalam legenda tanah Jawa, aksara hanacaraka terkait erat dengan kisah Aji Saka.

Aji Saka adalah seorang tokoh legendaris, seorang petualang yang datang ke tanah jawa. Menurut legenda, Aji Saka pertama kali tiba di Jawa ketika pulau ini masih berada di bawah kekuasaan raja zalim bernama Prabu Dewata Cengkar, seorang raja kanibal yang memerintah dengan kekejaman di Medang Kamulan (sebuah kerajaan kuno yang disebutkan dalam berbagai sumber Jawa). Prabu Dewata Cengkar sering meminta korban manusia untuk dimakan, sehingga rakyat hidup dalam ketakutan.

Aji Saka, yang dianggap sebagai sosok cerdas dan berani, datang ke Jawa untuk menghadapi Dewata Cengkar dan mengakhiri kekejaman sang raja. Dalam beberapa versi cerita, Aji Saka menggunakan kecerdikannya untuk menipu raja, meminta sebidang tanah seluas ikat pinggangnya. Namun, ketika ikat pinggang tersebut direntangkan, tanah yang diminta ternyata mencakup seluruh wilayah kerajaan, memaksa Dewata Cengkar terpojok.

Pada akhirnya, Dewata Cengkar berhasil dikalahkan oleh Aji Saka dan dijatuhkan ke laut selatan, mengakhiri kekuasaannya yang tiran. Setelah kemenangan ini, Aji Saka diangkat sebagai raja baru di Medang Kamulan, membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyat.

Bagian yang paling terkenal dari mitologi Aji Saka adalah kisah tentang dua pengikut setianya, Dora dan Sembada. Sebelum pergi ke Medang Kamulan untuk melawan Dewata Cengkar, Aji Saka memberikan sebuah pusaka keramat kepada Sembada dan memerintahkannya untuk menjaga pusaka tersebut dengan nyawanya. Ia menegaskan bahwa Sembada tidak boleh memberikan pusaka itu kepada siapa pun, termasuk Aji Saka sendiri, kecuali jika Aji Saka sendiri yang memintanya secara langsung.

Setelah Aji Saka berhasil menjadi raja, ia mengirim Dora untuk mengambil pusaka yang dititipkan pada Sembada. Namun, ketika Dora sampai di tempat Sembada dan meminta pusaka tersebut, Sembada menolak karena ia merasa belum menerima perintah langsung dari Aji Saka. Terjadilah perdebatan sengit antara keduanya. Karena sama-sama setia pada perintah tuannya, Dora dan Sembada akhirnya terlibat dalam pertempuran yang tragis, di mana keduanya tewas.

Pertarungan inilah yang diabadikan menjadi urutan dalam aksara Hanacaraka, yang berbunyi:

Ha Na Ca Ra Ka               : Ada dua utusan. 

Da Ta Sa Wa La                : Mereka bertarung. 

Pa Dha Ja Ya Nya            : Keduanya sama kuat. 

Ma Ga Ba Tha Nga          : Keduanya mati bersama.

Makna Filosofis Hanacaraka

Mitologi Aji Saka mengandung berbagai pelajaran moral dan filosofis yang mendalam dan relevan bagi kehidupan masyarakat Jawa.

Pertama, kisah ini menekankan pentingnya kesetiaan terhadap tugas dan amanat. Dora dan Sembada menerima perintah dari Aji Saka untuk menjaga pusaka yang diberikan kepada mereka, dan meskipun akhirnya terjadi kesalahpahaman, keduanya tetap teguh menjalankan amanat tersebut.

Hal ini menggambarkan betapa pentingnya komitmen terhadap tanggung jawab, meski menghadapi tantangan yang sulit. Dalam konteks kehidupan modern, pelajaran ini mengajarkan kita untuk memegang teguh janji dan tanggung jawab, baik dalam hubungan pribadi maupun profesional, serta bagaimana kesetiaan dan integritas dapat membentuk fondasi kepercayaan dalam masyarakat.

Kedua, legenda ini juga menyoroti nilai kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai elemen penting dalam menyelesaikan konflik. Aji Saka tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik untuk mengalahkan Dewata Cengkar, raja zalim yang suka memakan manusia, tetapi menggunakan strategi dan kecerdasan untuk memenangkan pertarungan. Alih-alih menggunakan cara kekerasan, Aji Saka menyusun siasat dengan bijaksana untuk mengalahkan musuhnya.

Ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi masalah yang rumit, kecerdasan dan kebijaksanaan sering kali lebih efektif daripada kekerasan. Bagi masyarakat, pelajaran ini mendorong untuk berpikir kreatif dan bijak dalam menyelesaikan konflik sehari-hari, baik dalam skala individu maupun sosial, dengan menekankan bahwa kemenangan yang diperoleh melalui kebijaksanaan jauh lebih berarti daripada kemenangan yang dicapai dengan kekerasan.

Ketiga, mitologi ini mengajarkan pentingnya konsep keseimbangan dan kesetaraan dalam kehidupan. Pertarungan antara Dora dan Sembada, yang akhirnya mengorbankan nyawa mereka berdua, merupakan simbol dari dua kekuatan yang sama kuat namun berlawanan. Kematian keduanya dapat diinterpretasikan sebagai lambang dari keseimbangan kosmis, di mana dua kekuatan yang berlawanan harus seimbang untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan.

Dalam konteks filsafat Jawa, keseimbangan antara baik dan buruk, terang dan gelap, selalu menjadi kunci dalam menjaga keharmonisan alam semesta. Ajaran ini relevan dengan pandangan hidup yang menekankan perlunya menjaga keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, baik dalam hubungan antarmanusia, lingkungan, maupun diri sendiri. Harmoni ini bukan hanya persoalan luar, tetapi juga melibatkan keseimbangan dalam batin, di mana manusia harus mampu mengelola emosi, pikiran, dan tindakan agar selalu berada dalam keselarasan dengan alam dan sesamanya.

Melalui ketiga pelajaran ini; kesetiaan, kebijaksanaan, dan keseimbangan, mitologi Aji Saka menawarkan wawasan yang kaya tentang cara hidup yang seimbang dan bermoral. Mitos ini tidak hanya berfungsi sebagai cerita rakyat, tetapi juga sebagai cermin dari nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan kepada generasi berikutnya, menekankan pentingnya tanggung jawab, kecerdasan dalam menghadapi tantangan, dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan.

PEMERIKSAAN PAJAK

sumber: modul TB2 Pemeriksaan Pajak (dokpri Prof. Apollo)
sumber: modul TB2 Pemeriksaan Pajak (dokpri Prof. Apollo)

Semenjak diberlakukannya Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk dapat menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak mereka sendiri, dalam prinsip self assessment. Hal ini tertuang dalam Pasal 12, yang berbunyi:

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.

Sebagai mekanisme check and balance, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pemeriksaan pajak. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2013 s.t.d.d PMK 184 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, disebutkan bahwa tujuan dari pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain.

Berdasarkan Pasal 4 PMK 184 Tahun 2015, pemeriksaan dapat disebabkan oleh:

  • Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
  • terdapat keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
  • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  • Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;
  • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
  • Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-Iamanya;
  • Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
  • Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; atau
  • Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko.

Tahap Awal dalam pemeriksaan pajak adalah pembuatan audit plan. Setelah Audit Plan dibuat, maka diterbitkanlah Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).

Surat Perintah tersebut disampaikan kepada Wajib Pajak melalui surat pemberitahuan pemeriksaan, bersamaan dengan Surat Panggilan dalam Rangka Pertemuan Sehubungan dengan Pemeriksaan Lapangan, serta dokumen-dokumen apa saja yang harus dibawa pada saat pertemuan tersebut.

Di dalam pertemuan pertama, diberikan informasi terkait alasan pemeriksaan, hak dan kewajiban dari wajib pajak, serta tahapan dalam seluruh proses pemeriksaan. Setelah itu, dilakukan proses pemberian keterangan oleh Wajib Pajak/Wakil Wajib Pajak terkait dengan proses bisnis secara umum, dan hal-hal khusus terkait operasi perusahaan yang ingin diketahui oleh pemeriksa.

Pemeriksa kemudian melakukan pengujian atas SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak. Jika informasi yang diperoleh dari pemberian keterangan masih kurang, Pemeriksa dapat memanggil kembali pihak-pihak terkait, untuk mengumpulkan informasi yang relevan dan reliabel. Pemeriksa juga dapat meminjam buku, catatan, dan dokumen perusahaan pada tahun tersebut.

Dalam hal pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan lapangan, Pemeriksa akan menjadwalkan kegiatan pemeriksaan yang langsung dilakukan di lokasi tempat kegiatan usaha wajib pajak.

Jangka waktu pemeriksaan lapangan adalah 4 (empat) bulan pengujian + 2 (dua) bulan pembahasan, untuk orang pribadi. Dan 6 (enam) bulan pengujian + 2 (dua) bulan pembahasan untuk Badan.

Setelah seluruh kegiatan pemeriksaan dan pengujian dilakukan, pemeriksa akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). SPHP merupakan satu set dokumen yang berisi perbedaan nilai dalam SPT dan nilai yang ditemukan oleh pemeriksa pajak. Dalam dokumen itu juga tertuang nilai pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak.

Wajib Pajak diberikan kesempatan 7 (tujuh) hari kerja untuk memberikan tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh pemeriksa. Setelah jangka waktu pemberian tanggapan habis, pemeriksa akan mengirimkan undangan pembahasan akhir kepada Wajib Pajak. Dalam pembahasan akhir ini akan dilakukan diskusi atas seluruh hasil pemeriksaan, baik dari sisi pemeriksa, maupun sisi wajib pajak.

Ada banyak dinamika yang mungkin terjadi dalam proses pembahasan akhir. Jika Wajib Pajak ragu-ragu atas penafsiran dasar hukum yang digunakan oleh pemeriksa, Wajib Pajak dapat mengajukan proses Quality Assurance. Namun jika Wajib Pajak tidak menyetujui hal-hal material dalam pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, hingga peninjauan kembali.

Filosofi Hegel dan Hanacaraka dalam Audit 

Menghubungkan konsep tesis, antitesis, dan sintesis dari dialektika Hegelian ke dalam framework pelaporan keuangan bisa memberikan pandangan pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana konflik, dialog, dan resolusi dapat terjadi dalam interaksi antara auditee dan auditor.

sumber: Modul TB2 Pemeriksaan Pajak (Dokpri Prof. Apollo)
sumber: Modul TB2 Pemeriksaan Pajak (Dokpri Prof. Apollo)
  • Tesis: Auditee menyusun laporan keuangan berdasarkan standar-standar yang lazim digunakan, seperti IFRS, SAK, SAK ETAP, SAK Syariah, dan standar lainnya.
  • Antitesis: Terdapat tiga antitesis dalam penyusunan laporan keuangan, yaitu Komite Audit, Internal Audit, dan Eksternal Audit. Ketiga unsur antitesis ini merupakan perwujudan dari three lines of defense, sebagai bentuk pengawasan dan pertanggungjawaban manajemen kepada stakeholder. Terjadi pengujian dan dialektika terhadap tesis pada proses ini. Akan ada penyesuaian, revisi, investigasi, hingga pada akhirnya pemberian opini terhadap kewajaran laporan keuangan.
  • Sintesis: Sintesis muncul dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit, di dalam laporan keuangan audit ini terdapat hal-hal material yang menjadi sumber konflik pada saat dialektika antara auditee dan auditor, serta bagaimana hal tersebut diselesaikan sehingga dapat menjadi sintesis yang dapat memberikan manfaat kepada stakeholder dan pemakai informasi.

Penerapan Dialektika Hegelian dalam Konteks Pemeriksaan Pajak

Sumber: Modul TB2 Pemeriksaan Pajak (Dokpri Prof. Apollo)
Sumber: Modul TB2 Pemeriksaan Pajak (Dokpri Prof. Apollo)

Dalam dinamika perpajakan, Dialektika hegel dan filosifi hanacaraka dapat memberikan pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana konflik, dialog, dan resolusi dapat terjadi dalam interaksi antara wajib pajak dan fiskus. Dalam konteks tersebut, proses pemeriksaan pajak dapat dilihat sebagai sebuah dialektika, di mana ada perbedaan pendapat atau posisi antara kedua pihak yang akhirnya harus diselesaikan melalui suatu bentuk sintesis atau kesepakatan.

sumber: olahan penulis
sumber: olahan penulis

Tesis: Posisi Wajib Pajak

Dalam proses pemeriksaan pajak, tesis mewakili posisi awal wajib pajak terkait kewajiban perpajakannya, yaitu dalam bentuk Surat Pemberitahuan Terutang (SPT), baik itu SPT Tahunan ataupun SPT Masa. SPT tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan yang telah dibuat sebelumnya.

Wajib pajak, dengan cara self assessment, menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Pada tahap ini, berdasarkan pasal 12 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa:

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak dengan benar adalah tanggung jawab Wajib Pajak, sehingga, SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak merupakan pernyataan tentang kebenaran perhitungan dan pembayaran tersebut.

Antitesis dan Sintesis: Pengujian oleh pihak internal dan eksternal 

Antitesis tingkatan pertama muncul dari pihak wajib pajak, baik itu dilakukan oleh manajemen, maupun menggunakan jasa konsultan pajak. Dalam antitesis pertama ini, draf SPT Wajib Pajak akan diuji tata cara penyusunan (dokumen Corporate Income Tax / CIT), keabsahannya, sertakorelasinya dengan laporan keuangan yang telah diterbitkan.

Setelah draf disetujui, SPT kemudian dilaporkan kepada DJP, melalui sistem efilling maupun eform. SPT terlapor ini merupakan sintesis pertama yang dihasilkan berdasarkan informasi dari laporan keuangan dan pemahaman wajib pajak terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SPT yang dilaporkan kemudian akan diuji oleh Account Representative (AR). Inilah antitesis tingkat kedua. AR akan menguji apakah wajib pajak telah melaporkan seluruh obyek pajaknya dengan benar, dengan berbagai teknik seperti analisis laporan keuangan dan ekualisasi. AR kemudian membuat dokumen Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK) atas hal-hal signifikan yang menurut AR belum jelas tertuang dalam laporan keuangan dan SPT. Serta potensi pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak.

Wajib Pajak kemudian memberikan tanggapan tertulis atas SP2DK tersebut. Pada tahapan ini akan terjadi dialog antara AR dan Wajib Pajak. Dialog ini akan menghasilkan sintesis yang baru, dimana Wajib Pajak menerima atau menolak data dari AR. Dalam hal Wajib Pajak menerima, maka sintesis yang baru terbentuk melalui pembetulan SPT.

Antitesis juiga bisa muncul ketika pemeriksa pajak melakukan pengujian atas SPT yang disampaikan oleh wajib pajak (baik itu SPT Normal maupun pembetulan). Sebagai mekanisme check and balance atas SPT yang telah dilaporkan, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pemeriksaan pajak.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2013 s.t.d.d PMK 184 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, disebutkan bahwa tujuan dari pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain. Pemeriksaan tersebut dapat berupa pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan lapangan, dan dapat dilakukan atas satu jenis pajak (single tax) maupun seluruh jenis pajak (all taxes).

Alur pemeriksaan pajak dimulai dengan penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) yang disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Panggilan dalam Rangka Pertemuan Sehubungan dengan Pemeriksaan Lapangan.

Di dalam pertemuan tersebut diberikan informasi terkait alasan pemeriksaan, hak dan kewajiban dari wajib pajak, serta tahapan dalam seluruh proses pemeriksaan. Setelah itu, dilakukan proses pemberian keterangan oleh Wajib Pajak/Wakil Wajib Pajak terkait dengan proses bisnis secara umum, dan hal-hal khusus terkait operasi perusahaan yang ingin diketahui oleh pemeriksa.

Berdasarkan pemberian keterangan dalam pertemuan dengan Wajib Pajak, pemeriksa kemudian akan membuat surat permintaan peminjaman dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dalam hal pemeriksaan merupakan pemeriksaan lapangan, pemeriksa akan menjadwalkan pemeriksaan yang dilakukan langsung di tempat kegiatan usaha dari Wajib Pajak.

Setelah seluruh kegiatan pemeriksaan dan pengujian dilakukan, pemeriksa akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Dalam SPHP ini tertuang perbedaan nilai SPT Wajib Pajak dan nilai yang seharusnya dilaporkan menurut pemeriksa.

Antitesis dapat dilihat dari SPHP tersebut, yang merupakan posisi yang diambil oleh pemeriksa pajak atas SPT yang dilaporkan. Ada cukup banyak alasan mengapa perbedaan-perbedaan dapat terjadi. Namun pada prinsipnya perbedaan tersebut terjadi karena:

  • Perbedaan penafsiran dan penerapan peraturan;
  • Perbedaan penggunaan standar antara akuntansi dan fiskal;
  • Terdapat data atau informasi yang belum diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Masa / Tahunan;

Atas antitesis tersebut, Wajib Pajak diberikan kesempatan 7 (tujuh) hari kerja untuk memberikan tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh pemeriksa. Setelah jangka waktu pemberian tanggapan habis, pemeriksa akan mengirimkan undangan pembahasan akhir kepada Wajib Pajak. Dalam pembahasan akhir ini akan dilakukan diskusi atas seluruh hasil pemeriksaan, baik dari sisi pemeriksa, maupun sisi wajib pajak.

Konflik pada saat pembahasan akhir merupakan dinamika atas tesis dan antitesis. Ada jangka waktu dua bulan dalam pembahasan akhir, agar keduanya mencapai kesepakatan, atau sintesis. Wajib Pajak juga bisa menggunakan proses quality assurance, untuk memastikan bahwa pemeriksa telah menggunakan aturan yang tepat.

Sintesis tidak selamanya ditemukan dalam pembahasan akhir. Terkadang terjadi kebuntuan di antara kedua pihak, sehingga Wajib Pajak mengajukan upaya hukum, agar dapat memperoleh kepastian. Baik itu dengan mengajukan keberatan, banding, ataupun peninjauan kembali (PK).

Pada umumnya sintesis dalam pembahasan akhir pemeriksaan pajak dilakukan dengan cara:

  • Pembuktian data dan informasi: Wajib Pajak memberikan data dan informasi atas hal-hal yang sebelumnya dijadikan temuan oleh Pemeriksa;
  • Dialog terkait dasar regulasi yang digunakan: Wajib Pajak dan pemeriksa berdiskusi terkait transaksi-transaksi yang dipermasalahkan, dengan menerapkan regulasi yang paling sesuai.
  • Pernyataan formal: Setelah dialog dan diskusi dilakukan, pemeriksa membuat pernyataan formal atas hal-hal yang telah disepakati dan belum disepakati oleh kedua belah pihak, dalam bentuk Risalah Pembahasan dan Ikhtisar Hasil Pembahasan Akhir.

Penyatuan dari dua posisi yang berbeda (tesis dan antitesis) menjadi sebuah kesepakatan baru atau keputusan yang lebih tinggi. Pada akhirnya, pemeriksaan pajak bukan hanya soal mencari kesalahan, tetapi juga tentang menemukan harmoni dalam penerapan peraturan perpajakan berdasarkan fakta dan hukum yang ada.

Kesimpulan

Dari analisis pemeriksaan pajak melalui perspektif dialektika Hegelian menunjukkan bahwa konflik antara wajib pajak dan pemeriksa pajak tidak semata-mata merupakan perbedaan pandangan yang bersifat destruktif. Sebaliknya, konflik ini adalah elemen esensial dalam sebuah proses dinamis yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang adil. Dalam bingkai dialektika Hegelian, tesis dan antitesis yang muncul antara kedua belah pihak melibatkan pertukaran argumen, bukti, serta interpretasi peraturan yang berbeda. Proses ini kemudian menciptakan ruang untuk sintesis, yaitu suatu kesepakatan yang lebih tinggi yang didasarkan pada pemahaman bersama dan keadilan substantif.

Lebih jauh, pendekatan ini dapat diperkaya dengan filosofi Hanacaraka, yang menawarkan nilai-nilai budaya Jawa seperti harmoni, keselarasan, dan penghormatan terhadap proses dialogis. Hanacaraka memberikan kerangka etis yang relevan untuk melandasi pemeriksaan pajak, dengan menekankan bahwa penyelesaian konflik harus selalu diarahkan pada pencapaian keseimbangan dan keadilan. Ketika dialektika Hegelian berfokus pada dinamika pergesekan antara tesis dan antitesis, filosofi Hanacaraka menambahkan dimensi kultural yang menghargai nilai-nilai musyawarah dan mufakat, sehingga sintesis yang dihasilkan tidak hanya memenuhi aspek legalitas, tetapi juga mengedepankan rasa keadilan yang lebih mendalam.

Dengan demikian, proses pemeriksaan pajak dapat dipahami bukan hanya sebagai mekanisme teknis dalam sistem perpajakan, tetapi juga sebagai arena dialog yang melibatkan prinsip-prinsip filosofis. Peran penting dialog dan negosiasi dalam mencapai sintesis yang adil tidak hanya meningkatkan kepatuhan pajak, tetapi juga memperkuat kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak. Kesimpulan ini menegaskan bahwa pemeriksaan pajak, ketika dikelola dengan pendekatan filosofis yang menyeluruh, memiliki potensi untuk menjadi alat yang tidak hanya memastikan penerimaan negara, tetapi juga membangun tatanan perpajakan yang lebih etis dan berkeadilan.

Referensi

  • Astutik, T. H. (2024). Kosmologi Jawa sebagai Landasan Filosofis Etika Lingkungan. Religia: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 20(2), 174--189. Diakses dari https://e-journal.uingusdur.ac.id/Religia/article/view/6797.
  • Fontein, J. (2010). The Sculpture of Indonesia. Washington: National Gallery of Art.
  • Modul TB 2 : Diskursus Dialektika Model Hegelian, oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.
  • Riboet, E. (2016). Aksara Hanacaraka dan Fungsinya dalam Kebudayaan Jawa. Jurnal Sejarah dan Budaya, 5(3), 45-56.
  • Subalidinata, N. (2010). Aksara dan Budaya Tulisan di Nusantara. Penerbit Universitas Indonesia.
  • Sukarto, B. (2014). Pengaruh Aksara Pallawa terhadap Aksara Jawa. Jurnal Filologi, 8(2), 20-33.
  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  • PMK Nomor 184 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
  • PER-23/PJ/2013 Tentang Standar Pemeriksaan
  • SE-65/PJ/2013 Tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun