Namun, ketika ikat pinggang tersebut direntangkan, tanah yang diminta ternyata mencakup seluruh wilayah kerajaan, memaksa Dewata Cengkar terpojok.
Pada akhirnya, Dewata Cengkar berhasil dikalahkan oleh Aji Saka dan dijatuhkan ke laut selatan, mengakhiri kekuasaannya yang tiran. Setelah kemenangan ini, Aji Saka diangkat sebagai raja baru di Medang Kamulan, membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyat.
Bagian yang paling terkenal dari mitologi Aji Saka adalah kisah tentang dua pengikut setianya, Dora dan Sembada. Sebelum pergi ke Medang Kamulan untuk melawan Dewata Cengkar, Aji Saka memberikan sebuah pusaka keramat kepada Sembada dan memerintahkannya untuk menjaga pusaka tersebut dengan nyawanya. Ia menegaskan bahwa Sembada tidak boleh memberikan pusaka itu kepada siapa pun, termasuk Aji Saka sendiri, kecuali jika Aji Saka sendiri yang memintanya secara langsung.
Setelah Aji Saka berhasil menjadi raja, ia mengirim Dora untuk mengambil pusaka yang dititipkan pada Sembada. Namun, ketika Dora sampai di tempat Sembada dan meminta pusaka tersebut, Sembada menolak karena ia merasa belum menerima perintah langsung dari Aji Saka. Terjadilah perdebatan sengit antara keduanya. Karena sama-sama setia pada perintah tuannya, Dora dan Sembada akhirnya terlibat dalam pertempuran yang tragis, di mana keduanya tewas.
Pertarungan inilah yang diabadikan menjadi urutan dalam aksara Hanacaraka, yang berbunyi:
Ha Na Ca Ra Ka        : Ada dua utusan.Â
Da Ta Sa Wa La         : Mereka bertarung.Â
Pa Dha Ja Ya Nya       : Keduanya sama kuat.Â
Ma Ga Ba Tha Nga      : Keduanya mati bersama.
Makna Filosofis Hanacaraka
Mitologi Aji Saka mengandung berbagai pelajaran moral dan filosofis yang mendalam dan relevan bagi kehidupan masyarakat Jawa.