Pada saat ini kasus bullying sudah banyak sekali di Indonesia dalam berbagai lingkung jenjang pendidikan. Di mana korban dan pelaku baik individu atau kelompok merupakan pelajar. Kasus yang sudah terjadi biasnya karena tidak dalam pengawasan para guru atau pengajar. Biasanya pelaku dan kasus bullying tidak diketahui jika korban tidak melapor kepada para guru atau lembaga penanganan bullying. Akan tetapi, sudah banyak kasus korban takut melaporkan para pelaku bullying dikarenakan ancaman yang diberikan kepada korban atas tindakan kekerasannya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada tahun 2021 terdapat 17 kasus kekerasan fisik, yang mengakibatkan 6 siswa meninggal dan 1 orang lumpuh. UNICEF mempublikasikan pada tahun 2016 bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama kasus kekerasan terhadap anak di sekolah, dengan persentase sebesar 84%. Persentase ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan Nepal dengan persentase yang sama, yakni 79% (Weekly, 2017).
Kasus yang sudah diketahui dan ditangani memiliki banyak persamaan dengan media lokal pemberitaan. Di mana pelakunya merupakan siswa yang suka menghina, mencemooh, dan sebagainya untuk melemahkan harga diri korbannya. Adapun pelaku bullying menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi lawannya. Kebanyakan korban hanya bisa terdiam, menangis, ketakutan, dan sebagainya terhadap kelakuan yang sudah diterima dari para pelaku bullying. Karena dari situlah korban memiliki dampak yang buruk bagi psikologis atau fisiknya. Dengan demikian, keadaan di Indonesia sekarang telah disuguhkan banyak sekali 3 terkait kasus tidak bermoral salah satunya bullying. Keadaan inilah selalu dipertanyakan mengapa pendidikan karakter di Indonesia sangat rendah. Di mana masyarakat menuntut institusi pendidikan dan pemerintah untuk segera membenahi permasalahan tersebut. Sebab pendidikan karakter menjadi suatu metode alternatif yang dapat digunakan untuk memberantas bullying. Pada dasarnya pendidikan karakter terdapat nilai-nilai yang dapat baik dan mendidik untuk perkembangan anak.Â
Definisi Bullying
Bullying merupakan suatu jenis kekerasan yang terjadi di mana saja dan berdampak pada psikologis dan fisik seseorang. Pelaku bullying dapat terjadi secara berkelompok atau individu yang memiliki kekuasaan untuk melemahkan korban dengan segala jenis perbuatannya. Pelaku bullying memperspektifkan bahwa perbuatannya dapat melemahkan korban. Begitu pula dengan korban mempersepsikan bahwa dirinya selalu terancam, tidak berdaya, dan lemah.
Jenis-jenis Bullying
- Bullying Fisik
Bullying fisik adalah tindakan intimidasi yang dilakukan dalam upaya untuk menguasai korban dengan kekuatan pelaku. Bullying fisik adalah jenis bullying yang paling mudah dikenali dan biasanya orang tua dan guru lebih sensitif terhadap jenis bullying ini. Contoh intimidasi fisik termasuk menendang, memukul, menampar, mendorong, menghancurkan atau mencuri barang milik yang tidak dimiliki bersumber dari orang lain atau memerintahkan pihak lain untuk menyerang korban.
- Bullying Verbal
Bullying verbal adalah merupakan suatu bentuk kekerasan yang medianya menggunakan seperti perkataan, argumen, dan sebutan nama atau panggilan untuk menghina. Para pelaku bullying verbal akan terus-menerus menggunakan suatu bentuk penghinaan untuk mencemoohkan, merendahkan, dan menyakiti orang lain. Penelitian dari Harvard University (Cromie, 2007) menjelaskan bahwa bentuk kekerasan verbal dan nama panggilan buruk memiliki implikasi serius terhadap korban dan dapat membuat luka emosional yang dalam. Adapun tindakan kekerasan atau bullying verbal adalah memaki, merendahkan, meledek, dan sebagainya.Â
- Bullying Agresi Relasional
Bullying relasional merupakan bentuk kekerasan yang paling sulit untuk dideteksi dari luar. Bullying relasional adalah cara pelaku bullying untuk menjatuhkan harga diri si korban secara sistematis melalui pengabaian, segregasi, pengecualian, atau penghindaran. Menjauhkan dan menyingkirkan korban dari kehidupan sosial merupakan tindakan yang sering digunakan para pelaku untuk menjatuhkan korban.
- Cyber Bullying
Cyberbullying merupakan bentuk perundungan yang terjadi melalui perangkat digital. Cyberbullying mencakup mengirim, memposting, atau berbagi konten negatif, berbahaya, palsu, atau jahat tentang orang lain. Adapun dalam cyber bullying ini mencakup berbagi informasi pribadi atau pribadi tentang orang lain yang menyebabkan rasa malu atau terhina.
Faktor-faktor Penyebab Bullying
- Faktor Keluarga
Perkembangan psikososial anak dipengaruhi oleh faktor interaksi dalam keluarga. Jika implementasi pola asuh orang tua terhadap anaknya secara benar, maka ketika anak mencapai usia remaja, anak akan memiliki persepsi sendiri-sendiri terhadap pola asuh yang diajarkan orang tuanya (Wahyuni, 2011). Tindakan pola asuh yang diajarkan dan dibimbing orang tua kepada anaknya memungkinkan anak untuk diterapkan dalam kehidupannya yang sebagian besar terhadap teman-temannya. Dapat disimpulkan, bahwasannya pola asuh otoriter memiliki pengaruh yang dominan terhadap perilaku bullying anak (Rigby, 1994).
- Karakteristik Internal Individu
Karakter individu terlibat dalam perilaku yang mengintimidasi seperti balas dendam atau iri sebagai akibat dari pengalaman masa lalu, kemudian ada semangat ingin mengontrol korban melalui kekuatan fisik, daya tarik seksual, dan meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sebayanya (Astuti, 2008).
- Faktor Sekolah
Kekerasan/bullying dalam pendidikan terjadi akibat pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama hukuman badan. Sekolah dengan sistem dan kebijakan pendidikan yang buruk cenderung melakukan kejahatan yang halus dan tersembunyi seperti penghinaan dan pengucilan. Astuti (2008) menambahkan hipotesis tertentu bahwa pelecehan terjadi antara lain karena faktor berikut:
- Perbedaan ekonomi, agama, gender, etnisitas/rasisme. Â
- Senioritas.
- Keluarga yang tidak rukun.
- Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif.
- Persepsi nilai yang salah atas perilaku korbanÂ
 Dampak Korban Bullying
Penurunan kecerdasan dan kapasitas pengetahuan dan keterampilan siswa menurun yang disebabkan karena korban takut untuk melakukan kegiatan contohnya bepergian ke sekolah serta adaptasi sosial yang buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina saat di-bully, korban mengalami banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, ancaman) namun tidak berdaya untuk mengelolanya.Â
Akibat munculnya perasaan dendam, marah dan jengkel tersebut, korban pun bisa melakukan hal yang sama sebagai bentuk balas dendam atas apa yang menjadi korban alaminya. Penyesuaian diri dengan lingkungan sosial juga tampak pada diri korban. Mereka ingin dipindahkan ke sekolah lain atau keluar dari sekolah ini meskipun mereka masih di sekolah ini. Dampak psikologis yang paling ekstrim adalah kemungkinan terjadinya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti perasaan berlebihan yang berlebihan, selalu merasa takut, depresi, pikiran untuk bunuh diri dan gejala gangguan stres pasca trauma (gangguan stres traumatis).Â
Upaya Pencegahan Bullying Melalui Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan suatu karakteristik individu atau kelompok yang memiliki nilai, keterampilan, kapasitas moral, dan teguh serta konsisten dalam menghadapi masalah (Alkrienciechie, 2013). Dengan kata lain, setiap individu atau kelompok dapat mempertanggungjawabkan dari keputusan yang telah diperbuatnya. Dalam pasal 1 undang-undang menjelaskan bahwa tujuan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu menghasilkan mengembangkan potensi serta menghasilkan generasi yang cerdas, pintar, berkepribadian, serta berakhlak mulia. Menurut Ratna Megawangi (2003) terdapat 9 pilar dalam indikator pendidikan karakter, yaitu:
- Cinta terhadap Tuhan dan segala bentuk serta jenis ciptannya.
- Memiliki kerpibadian yang disiplin, tanggung jawab, dan mandiri.
- Tulus dan berpendidikan.
- Sopan dan santun.
- Saling membantu dan dermawan.
- Kreatif, percaya diri, dan kerja keras.
- Adil dan kepemimpinan.
- Rendah hati dan baik
- Cinta terhadap perdamaian, toleran, dan menjaga persatuan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dan mengatasi tindak kekerasan melalui pendidikan karakter sebagai berikut:Â
- Memperkuat kontrol sosial, hal ini dapat diartikan sebagai berbagai cara yang digunakan pendidik untuk mendisiplinkan peserta didik yang melakukan pelanggaran, termasuk tindakan kekerasan dengan memantau dan menindak.
- Mengembangkan budaya meminta dan mengampuni.
- Menerapkan prinsip-prinsip non-kekerasan.
- Memberikan pendidikan perdamaian terhadap sesama bagi generasi muda.
- Peningkatan dialog dan komunikasi intensif antar siswa di sekolah.
- Melakukan katarsis.
- Melakukan upaya-upaya pencegahan tindakan kekerasan (pelecehan) disekolah.
Adapun yang dapat bertanggung jawab atas penerapan pendidikan karakter adalah orang tua, sebab pola didik memberikan efek yang besar dan memegang peranan penting dalam perkembangan anak. Maka dari itulah pola didik orang tua harus diterapkan dengan benar dan membimbing anak untuk selalu mengimplementasikan pendidikan karakter sejak dini. Bukan hanya orang tua saja, gurupun TK/PAUD juga memegang peranan penting dalam mendidikan siswa untuk menerapkan pendidikan karakter. Dalam waktu inilah guru dapat menjadi role mode yang di mana harus berinteraksi aktif terhadap siswanya, serta menerapkan metode pembelajaran sambil bermain dalam pengembangan emosional siswanya. Dalam fase inilah, sebagai guru harus dapat membangun kecerdasan emosional siswanya secara benar dan intens.Â
Sebab menurut penelitian Daniel Goleman kecerdasan anak didominasi oleh kecerdasan emosional (EQ) sebanyak 80% sedangkan kecerdasan otak (IQ) hanya 20%. Selain peranan dari orang tua dan institusi pendidikan, pemerintah juga harus memegang peranan dalam membangun pendidikan karakter melalui kebijakan, regulasi, dan anggarannya. Sebab karena pendidikan karakter inilah akan menumbuhkan kepribadian nasionalsime, semangat, saling menghormati, saling menjaga, saling membantu, dan sebagainya. Negara yang maju bukan bertumpu pada kekayaan sumber daya alamnya (SDA) melainkan terhadap implementasi pendidikan karakter pada warganya (SDM) secara sistematis. Sudah banyak negara yang menerapkan pendidikan karakter secara sistematis, seperti negara : Jepang, Britania Raya, dan China.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H