Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kesehatan Mental di Era Digital: Apakah Kita Benar-Benar Lebih Kuat atau Hanya Pandai Berpura-pura?

9 November 2024   08:00 Diperbarui: 9 November 2024   08:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Era digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, bekerja, dan menjalani hidup. Dengan segala kemudahannya, teknologi juga membawa tantangan serius terhadap kesehatan mental. Di tengah serbuan informasi dan ekspektasi sosial yang tinggi, muncul pertanyaan: Apakah kita benar-benar lebih kuat secara mental, atau hanya pandai menyembunyikan rapuhnya kondisi mental kita di balik layar?

Gambaran Umum Kesehatan Mental di Era Digital

Studi menunjukkan bahwa penggunaan teknologi dan media sosial secara berlebihan berhubungan dengan peningkatan stres, kecemasan, dan depresi. Menurut laporan yang dipublikasikan di Journal of Affective Disorders, penggunaan media sosial yang intens bisa meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental hingga 70% di kalangan remaja dan dewasa muda. Penelitian lain oleh American Journal of Psychiatry menegaskan bahwa paparan konten negatif di internet dapat memicu gangguan mood dan meningkatkan rasa cemas.

Namun, media sosial bukan satu-satunya aspek teknologi yang berdampak pada kesehatan mental. Kehidupan yang dipenuhi notifikasi dan ekspektasi untuk selalu terhubung membuat batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Akibatnya, stres kronis pun meningkat.

Mengapa Kita Terlihat Kuat?

Ada alasan mengapa banyak orang terlihat kuat di dunia digital. Budaya hustle, yang mengagungkan produktivitas tanpa henti, mendorong individu untuk menunjukkan keberhasilan dan kebahagiaan secara konsisten. Selain itu, fenomena toxic positivity, di mana seseorang merasa harus selalu menampilkan sisi positif hidup mereka, menambah tekanan bagi banyak orang untuk tampil 'sempurna'.

Studi oleh Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking mengungkapkan bahwa individu yang aktif di media sosial sering merasa tertekan untuk menunjukkan kehidupan ideal, meskipun kenyataannya berbeda. Fakta ini menunjukkan bahwa kekuatan mental yang kita tampilkan di media sosial mungkin hanyalah topeng, bukan cerminan sejati dari kesehatan mental kita.

Sisi Gelap: Berpura-pura Kuat

Berpura-pura kuat bukan hanya kebiasaan yang tidak berbahaya; dampaknya bisa jauh lebih dalam. Fenomena ini dikenal sebagai "masking," di mana seseorang menutupi emosi dan rasa sakitnya demi menjaga citra di mata publik. Menurut penelitian di Frontiers in Psychology, individu yang terlalu sering menyembunyikan emosi mereka memiliki risiko lebih tinggi terhadap burnout dan depresi.

Salah satu contoh nyata datang dari studi kasus di The Journal of Clinical Psychiatry, di mana individu yang menekan perasaan stres dan cemas karena tuntutan digital akhirnya mengalami gangguan tidur kronis dan perasaan terisolasi. Mereka merasa bahwa membuka diri akan dianggap sebagai kelemahan, sehingga memilih untuk berpura-pura kuat.

Membedakan Kekuatan Mental Sejati dan Topeng Digital

Apa perbedaan antara kekuatan mental yang sejati dan hanya sekadar berpura-pura? Kekuatan mental sejati dicirikan oleh kemampuan untuk mengelola emosi, menghadapi tantangan dengan realistis, dan menjaga keseimbangan. Sebaliknya, berpura-pura kuat biasanya disertai dengan gejala seperti sulit tidur, kecemasan berlebihan, dan kelelahan emosional.

International Journal of Behavioral Science mengungkapkan bahwa individu dengan kekuatan mental sejati tidak takut untuk menunjukkan kerentanan mereka. Mereka memahami pentingnya beristirahat, meminta bantuan, dan menyeimbangkan antara aktivitas digital dengan waktu tenang. Sementara itu, mereka yang berpura-pura kuat sering menekan perasaan dan mengandalkan respons autopilot untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Tips Membangun Kesehatan Mental yang Sehat dan Autentik

Membangun kesehatan mental yang autentik membutuhkan usaha. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa membantu:

  • Batasi Penggunaan Media Sosial: Penelitian dari Journal of Mental Health menunjukkan bahwa mengurangi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari bisa meningkatkan suasana hati secara signifikan.
  • Tetapkan Batasan Digital: Matikan notifikasi di luar jam kerja dan beri diri Anda waktu offline untuk memulihkan energi.
  • Bicarakan Perasaan Anda: Jangan takut untuk membagikan perasaan dan meminta bantuan. Studi menunjukkan bahwa berbicara dengan orang terpercaya bisa mengurangi risiko depresi.

Membuka Topeng Digital: Jalan Menuju Kesehatan Mental Sejati

Era digital memang menuntut adaptasi dan fleksibilitas yang tinggi, tetapi tidak seharusnya membuat kita berpura-pura kuat dan mengabaikan kondisi mental yang sebenarnya. Mengakui kerentanan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan sejati. Di balik layar yang terang benderang, apakah Anda benar-benar merasa kuat, atau hanya pandai menampilkan ilusi? Mari refleksikan bersama dan temukan cara untuk hidup lebih jujur dan seimbang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun