Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Seseorang Bisa Tega Melakukan Kekerasan Ekstrem di Media Sosial? Menyingkap Latar Belakang Kasus Kekerasan Live di Facebook

4 November 2024   20:20 Diperbarui: 4 November 2024   22:00 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah fenomena baru, tetapi ketika tindakan brutal ini dilakukan secara terbuka di media sosial, efeknya menjadi lebih mengerikan. Baru-baru ini, publik digemparkan dengan berita seorang suami yang tega membunuh istrinya saat live di Facebook, menyisakan berbagai pertanyaan dan spekulasi. Mengapa seseorang dapat bertindak begitu nekat? Apa yang mendorong seseorang melakukan kekerasan di hadapan publik, apalagi di media sosial?

Artikel ini akan menyingkap faktor-faktor penyebab dari perspektif psikologis, sosial, dan teknologi, didukung dengan studi jurnal internasional untuk memberi pemahaman lebih dalam tentang fenomena tragis ini.

Faktor Psikologis dan Emosional yang Mendukung Kekerasan Ekstrem

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

1. Gangguan Mental dan Emosi Tidak Stabil

Studi menunjukkan bahwa beberapa kasus kekerasan ekstrem memiliki kaitan dengan gangguan mental dan emosi yang tidak stabil. Penelitian dalam Journal of Affective Disorders mengungkapkan bahwa depresi berat, kecemasan, dan gangguan kontrol emosi sering kali menjadi pemicu tindakan kekerasan, terutama di kalangan individu yang tidak memiliki akses terhadap dukungan emosional atau mental yang memadai (Smith et al., 2019).

Dalam kasus ini, pelaku mungkin mengalami ketidakmampuan mengendalikan emosi dalam situasi tegang atau terpicu oleh masalah yang tak terselesaikan. Tanpa pengelolaan emosi yang baik, tindakan impulsif seperti kekerasan sering kali menjadi cara pelampiasan, terlebih ketika tekanan emosional tidak terkendali.

2. Pengaruh Trauma Masa Lalu

Paparan kekerasan di masa lalu, seperti yang dijelaskan dalam Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy, dapat membentuk pola pikir kekerasan. Individu yang tumbuh dalam lingkungan penuh trauma atau kekerasan memiliki kecenderungan untuk mereplikasi pola perilaku yang serupa dalam hubungan mereka sendiri, baik secara sadar maupun tidak (Walker et al., 2021).

Trauma masa lalu dan pola asuh yang keras ini bisa membentuk kepribadian yang sulit mengendalikan konflik, yang pada akhirnya meningkatkan risiko tindakan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi tekanan atau konflik dalam hubungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun