Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah fenomena baru, tetapi ketika tindakan brutal ini dilakukan secara terbuka di media sosial, efeknya menjadi lebih mengerikan. Baru-baru ini, publik digemparkan dengan berita seorang suami yang tega membunuh istrinya saat live di Facebook, menyisakan berbagai pertanyaan dan spekulasi. Mengapa seseorang dapat bertindak begitu nekat? Apa yang mendorong seseorang melakukan kekerasan di hadapan publik, apalagi di media sosial?
Artikel ini akan menyingkap faktor-faktor penyebab dari perspektif psikologis, sosial, dan teknologi, didukung dengan studi jurnal internasional untuk memberi pemahaman lebih dalam tentang fenomena tragis ini.
Faktor Psikologis dan Emosional yang Mendukung Kekerasan Ekstrem
1. Gangguan Mental dan Emosi Tidak Stabil
Studi menunjukkan bahwa beberapa kasus kekerasan ekstrem memiliki kaitan dengan gangguan mental dan emosi yang tidak stabil. Penelitian dalam Journal of Affective Disorders mengungkapkan bahwa depresi berat, kecemasan, dan gangguan kontrol emosi sering kali menjadi pemicu tindakan kekerasan, terutama di kalangan individu yang tidak memiliki akses terhadap dukungan emosional atau mental yang memadai (Smith et al., 2019).
Dalam kasus ini, pelaku mungkin mengalami ketidakmampuan mengendalikan emosi dalam situasi tegang atau terpicu oleh masalah yang tak terselesaikan. Tanpa pengelolaan emosi yang baik, tindakan impulsif seperti kekerasan sering kali menjadi cara pelampiasan, terlebih ketika tekanan emosional tidak terkendali.
2. Pengaruh Trauma Masa Lalu
Paparan kekerasan di masa lalu, seperti yang dijelaskan dalam Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy, dapat membentuk pola pikir kekerasan. Individu yang tumbuh dalam lingkungan penuh trauma atau kekerasan memiliki kecenderungan untuk mereplikasi pola perilaku yang serupa dalam hubungan mereka sendiri, baik secara sadar maupun tidak (Walker et al., 2021).
Trauma masa lalu dan pola asuh yang keras ini bisa membentuk kepribadian yang sulit mengendalikan konflik, yang pada akhirnya meningkatkan risiko tindakan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi tekanan atau konflik dalam hubungan.