Sebagaimana ditulis oleh Bennett (2011), perubahan ini menunjukkan bagaimana kapitalisme mampu mengakomodasi gerakan kontra-budaya, menjadikannya komoditas yang mudah dikonsumsi. Punk tidak lagi tentang perjuangan melawan struktur sosial, tetapi seringkali sekadar simbol yang bisa dijual .
Punk di Indonesia: Dari Jalanan Hingga Komersialisasi
Di Indonesia, subkultur punk mulai berkembang pada awal 1990-an dan menjadi fenomena di kota-kota besar. Punk di Indonesia awalnya mengikuti jejak gerakan global, dengan semangat anti-otoritarianisme dan penolakan terhadap tatanan masyarakat yang ketat.
Namun, seperti di negara lain, punk di Indonesia juga menghadapi komersialisasi. Meskipun tetap ada komunitas yang memperjuangkan ideologi perlawanan, banyak pengikut punk yang akhirnya terjebak dalam gaya hidup dan fashion, jauh dari semangat radikal awalnya. Hal ini ditegaskan oleh Heryanto (2010) yang menunjukkan bahwa pengaruh media dan komersialisasi telah mengikis makna asli dari subkultur ini .
Ilusi Anti-Kemapanan: Perlawanan atau Pelarian?
Dalam banyak kasus, semangat anti-kemapanan punk hanya ilusi. Anti-kemapanan sering kali dipersepsikan sebagai bentuk penolakan terhadap tanggung jawab pribadi. Padahal, kemapanan adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan oleh setiap individu untuk mencapai stabilitas hidup yang lebih baik.
Sebagaimana ditulis oleh Schneider (2015), pelarian dari kemapanan sering kali bukanlah solusi, melainkan tanda ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi kenyataan hidup. Dengan semakin banyak orang yang mencapai kemapanan, semakin banyak energi positif yang bisa disebarkan untuk membantu orang lain. Ini menandakan bahwa kemapanan tidak harus dilihat sebagai musuh, melainkan sebagai capaian positif yang bisa memberikan dampak sosial yang lebih besar .
Punk: Masihkah Sebuah Gerakan Sosial, atau Sekadar Gaya Hidup?
Dengan perubahan yang terjadi, kita patut bertanya: Apakah punk masih menjadi gerakan sosial, ataukah telah kehilangan maknanya dan menjadi sekadar gaya hidup? Sebagian pengikut punk di era modern tetap mempertahankan semangat perlawanan sosial melalui aktivisme, namun sebagian lainnya terjebak dalam komersialisasi budaya pop.