Penyebaran Hoaks: Memecah Konsentrasi Pemilih
Dalam Pilkada Serentak, penyebaran informasi palsu atau hoaks telah menjadi senjata utama dalam menggiring opini publik. Setiap pihak yang berkepentingan akan menggunakan konten ini untuk memperkuat narasi tertentu dan merusak reputasi lawan. Hasil survei dari Komunitas Anti-Hoaks Indonesia menunjukkan bahwa selama Pilkada 2020 saja, tercatat lebih dari 12.000 kasus hoaks politik yang tersebar di berbagai platform, yang sebagian besar ditujukan untuk mendiskreditkan calon tertentu.
Fenomena ini tentunya akan berdampak besar pada Pilkada 2024, di mana hoaks yang sama sekali tidak berbasis fakta dapat beredar luas dalam waktu singkat. Bahkan, menurut temuan yang dipublikasikan oleh Indonesian Journal of Political Communication, 67% dari responden yang terpapar hoaks politik cenderung lebih percaya pada informasi palsu tersebut karena telah menguatkan sentimen atau prasangka yang sudah mereka miliki sebelumnya.
Penggunaan Buzzer: Kontrol Massa yang Berlebihan
Salah satu hal yang perlu diwaspadai adalah penggunaan buzzer. Buzzer adalah individu atau kelompok yang disewa untuk menyebarkan narasi tertentu di media sosial. Mereka seringkali bertindak dengan menyebarkan propaganda, menyerang lawan politik, atau memanipulasi opini publik. Ketika strategi ini digunakan secara masif, seperti yang ditemukan oleh Asian Digital Politics Journal (2022), hal ini dapat menciptakan kesan bahwa opini yang mereka suarakan adalah representasi nyata dari suara publik. Padahal, kenyataannya adalah rekayasa digital.
Penggunaan buzzer ini juga mengakibatkan iklim perdebatan yang tidak sehat di media sosial. Banyak netizen yang merasa takut untuk berpendapat karena khawatir akan diserang oleh akun-akun palsu ini. Ketidaknyamanan ini pada akhirnya menghambat diskusi publik yang sehat, memadamkan suara-suara kritis, dan membuat platform media sosial menjadi ruang yang penuh ancaman.
Bagaimana Mengatasi Tantangan Media Sosial dalam Pilkada 2024?
Regulasi dan Pengawasan yang Lebih Ketat
Pemerintah dan otoritas terkait perlu menerapkan regulasi yang lebih ketat terkait penggunaan media sosial untuk kampanye politik. Misalnya, setiap akun yang terindikasi menyebarkan hoaks atau melakukan kampanye hitam harus ditindak tegas dan dihapus dari platform. Selain itu, platform media sosial seperti Facebook dan Twitter harus bekerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan mekanisme deteksi dan penghapusan konten negatif secara cepat.
Sebagai contoh, pada pemilu di Jerman tahun 2021, pemerintah setempat bekerja sama dengan platform media sosial untuk membentuk tim pemantau independen yang bertugas memverifikasi informasi dan menghapus konten hoaks dalam waktu kurang dari 24 jam. Inisiatif serupa bisa diterapkan di Indonesia untuk meminimalisir penyebaran konten yang menyesatkan selama masa kampanye.