Mengapa Media Sosial Menjadi Sorotan Utama dalam Pilkada 2024?
Pilkada Serentak 2024 menjadi salah satu peristiwa politik terbesar yang menarik perhatian publik Indonesia. Namun, di balik antusiasme tersebut, ada satu isu yang mendominasi diskusi---peran media sosial dalam mengubah wajah kampanye politik. Jika kita melihat fenomena beberapa tahun terakhir, tren penggunaan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok untuk keperluan politik telah meningkat pesat. Platform-platform ini tidak hanya digunakan untuk menjangkau pemilih muda, tetapi juga sebagai sarana penyebaran informasi (dan disinformasi) yang masif.
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Media and Society, sejak 2019, penggunaan media sosial dalam kampanye politik di Indonesia telah meningkat sebesar 35%. Tidak mengherankan jika banyak pihak, baik dari kalangan politisi maupun pengamat, merasa resah bahwa kampanye yang sebelumnya dilakukan dengan tatap muka kini beralih ke dunia digital dengan cara yang sulit terkontrol.
Keresahan yang muncul pun sangat beralasan. Beberapa masalah utama yang dihadapi dalam penggunaan media sosial untuk kampanye antara lain:
- Polarisasi Pemilih yang Meningkat
- Penyebaran Hoaks dan Informasi Palsu
- Penggunaan Buzzer dan Troll untuk Mengintimidasi Lawan Politik
Lebih dari sekadar menjadi alat kampanye, media sosial saat ini dianggap berpotensi mempengaruhi preferensi politik secara ekstrem. Hal ini menciptakan dinamika yang lebih kompleks dan menuntut pemahaman yang lebih dalam dari para pemangku kebijakan serta masyarakat.
Bagaimana Media Sosial Mendorong Polarisasi Politik dan Menyebabkan Ketidakpastian
Polarisasi Pemilih yang Tidak Terkendali
Media sosial, jika digunakan dengan tidak bertanggung jawab, memiliki kemampuan untuk mengelompokkan audiens ke dalam "echo chamber" atau ruang gema. Ini adalah kondisi di mana seseorang hanya mendapatkan informasi yang sesuai dengan keyakinan dan pandangan mereka. Hal ini mengakibatkan kurangnya pemahaman terhadap perspektif yang berbeda, memicu sikap intoleransi, dan pada akhirnya membentuk polarisasi yang tajam di antara pemilih.
Menurut studi dari Indonesian Political Review Journal (2023), lebih dari 45% pengguna media sosial di Indonesia telah menunjukkan preferensi politik yang ekstrem setelah terpapar konten kampanye yang berulang-ulang. Keadaan ini diperparah oleh algoritma platform yang dirancang untuk menampilkan konten yang serupa dengan yang sering kita konsumsi, tanpa memberikan ruang untuk perbedaan pendapat. Akibatnya, masyarakat terpecah menjadi dua kubu yang berseberangan, yang lebih banyak saling menyerang daripada berdiskusi secara sehat.
Penyebaran Hoaks: Memecah Konsentrasi Pemilih
Dalam Pilkada Serentak, penyebaran informasi palsu atau hoaks telah menjadi senjata utama dalam menggiring opini publik. Setiap pihak yang berkepentingan akan menggunakan konten ini untuk memperkuat narasi tertentu dan merusak reputasi lawan. Hasil survei dari Komunitas Anti-Hoaks Indonesia menunjukkan bahwa selama Pilkada 2020 saja, tercatat lebih dari 12.000 kasus hoaks politik yang tersebar di berbagai platform, yang sebagian besar ditujukan untuk mendiskreditkan calon tertentu.
Fenomena ini tentunya akan berdampak besar pada Pilkada 2024, di mana hoaks yang sama sekali tidak berbasis fakta dapat beredar luas dalam waktu singkat. Bahkan, menurut temuan yang dipublikasikan oleh Indonesian Journal of Political Communication, 67% dari responden yang terpapar hoaks politik cenderung lebih percaya pada informasi palsu tersebut karena telah menguatkan sentimen atau prasangka yang sudah mereka miliki sebelumnya.
Penggunaan Buzzer: Kontrol Massa yang Berlebihan
Salah satu hal yang perlu diwaspadai adalah penggunaan buzzer. Buzzer adalah individu atau kelompok yang disewa untuk menyebarkan narasi tertentu di media sosial. Mereka seringkali bertindak dengan menyebarkan propaganda, menyerang lawan politik, atau memanipulasi opini publik. Ketika strategi ini digunakan secara masif, seperti yang ditemukan oleh Asian Digital Politics Journal (2022), hal ini dapat menciptakan kesan bahwa opini yang mereka suarakan adalah representasi nyata dari suara publik. Padahal, kenyataannya adalah rekayasa digital.
Penggunaan buzzer ini juga mengakibatkan iklim perdebatan yang tidak sehat di media sosial. Banyak netizen yang merasa takut untuk berpendapat karena khawatir akan diserang oleh akun-akun palsu ini. Ketidaknyamanan ini pada akhirnya menghambat diskusi publik yang sehat, memadamkan suara-suara kritis, dan membuat platform media sosial menjadi ruang yang penuh ancaman.
Bagaimana Mengatasi Tantangan Media Sosial dalam Pilkada 2024?
Regulasi dan Pengawasan yang Lebih Ketat
Pemerintah dan otoritas terkait perlu menerapkan regulasi yang lebih ketat terkait penggunaan media sosial untuk kampanye politik. Misalnya, setiap akun yang terindikasi menyebarkan hoaks atau melakukan kampanye hitam harus ditindak tegas dan dihapus dari platform. Selain itu, platform media sosial seperti Facebook dan Twitter harus bekerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan mekanisme deteksi dan penghapusan konten negatif secara cepat.
Sebagai contoh, pada pemilu di Jerman tahun 2021, pemerintah setempat bekerja sama dengan platform media sosial untuk membentuk tim pemantau independen yang bertugas memverifikasi informasi dan menghapus konten hoaks dalam waktu kurang dari 24 jam. Inisiatif serupa bisa diterapkan di Indonesia untuk meminimalisir penyebaran konten yang menyesatkan selama masa kampanye.
Pendidikan Digital dan Literasi Media
Tidak hanya pengawasan, tetapi pendidikan digital juga menjadi kunci penting dalam mengatasi dampak negatif media sosial. Menurut Southeast Asia Communication Journal (2023), masyarakat yang memiliki literasi digital tinggi cenderung lebih kritis dalam menanggapi informasi di media sosial, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh hoaks atau propaganda. Oleh karena itu, pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas perlu berkolaborasi untuk mengadakan pelatihan literasi media secara masif, baik di sekolah-sekolah maupun komunitas umum.
Mengembalikan Ruang Diskusi Sehat di Media Sosial
Salah satu strategi yang bisa diterapkan adalah menciptakan forum diskusi online yang sehat, di mana masyarakat bisa berbagi pendapat tanpa intimidasi. Ini bisa diwujudkan dengan membuat grup-grup diskusi yang diatur oleh moderator independen, atau menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berdiskusi dengan ahli politik dan akademisi secara langsung. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih terinformasi secara objektif dan mampu melihat suatu isu dari berbagai sudut pandang.
Tantangan di era digital tidak hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah atau lembaga tertentu saja, tetapi membutuhkan partisipasi aktif dari setiap pengguna media sosial. Bagaimana pendapat Anda tentang peran media sosial dalam Pilkada 2024? Apakah menurut Anda platform ini bisa memberikan manfaat positif, atau justru lebih banyak mendatangkan masalah? Silakan tinggalkan komentar Anda di bawah dan bagikan pemikiran Anda dengan kami!
Mari kita bersama-sama menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan konstruktif untuk masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI