Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental semakin menjadi topik yang ramai dibicarakan. Banyak orang mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental, sama seperti menjaga kesehatan fisik. Di Indonesia sendiri, aplikasi kesehatan mental, layanan konseling, hingga kampanye kesehatan mental mulai bermunculan. Namun, ada satu hal yang masih menjadi penghalang: stigma. Mengapa di tengah perkembangan positif ini, stigma terkait kesehatan mental tetap ada?
Perubahan Positif dalam Kesadaran Kesehatan Mental
Menurut survei Kementerian Kesehatan, semakin banyak orang yang kini secara terbuka mencari bantuan psikologis. Aplikasi konseling online telah menjadi pilihan populer, terutama di kalangan generasi muda. Dalam jurnal International Journal of Mental Health Systems (2022), penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan mental berkontribusi besar dalam memperbaiki kualitas hidup banyak orang. Namun, meskipun akses lebih mudah, masih ada rasa ragu untuk mencari bantuan secara terbuka.
Stigma: Pandangan Sosial yang Masih Kuat
Salah satu alasan utama mengapa stigma tetap ada adalah pandangan masyarakat terhadap orang yang mengalami masalah kesehatan mental. Banyak yang masih beranggapan bahwa orang yang pergi ke psikolog atau psikiater berarti "gila" atau "lemah". Dalam jurnal Mental Health Review Journal (2021), disebutkan bahwa stigma ini sering kali dikaitkan dengan budaya di mana masalah psikologis dianggap tabu untuk dibicarakan.
Di Indonesia, konsep menjaga "muka" atau citra diri di hadapan masyarakat juga memainkan peran besar. Orang takut dicap "tidak kuat" atau "tidak normal" jika mereka mengungkapkan masalah yang mereka alami. Penelitian di jurnal Psychological Medicine (2020) menekankan bahwa stigma tidak hanya menghalangi orang mencari bantuan, tetapi juga dapat memperburuk kondisi mental mereka.
Peran Media Sosial dan Edukasi
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran media sosial dan kampanye kesehatan mental telah membuka pintu bagi perubahan. Platform seperti Instagram dan TikTok dipenuhi dengan konten tentang self-care, therapy, dan pengalaman pribadi tentang kesehatan mental. Meskipun ini langkah yang baik, dampak dari media sosial juga dapat menjadi pedang bermata dua. Banyak orang yang merasa tertekan untuk selalu terlihat "baik-baik saja" di depan layar, padahal di baliknya mereka mungkin berjuang dengan masalah mereka sendiri.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Mengurangi stigma kesehatan mental di Indonesia bukan hanya tugas satu pihak saja. Kita semua bisa berkontribusi. Mulailah dari hal kecil, seperti tidak menghakimi orang yang terbuka tentang masalah mental mereka. Dalam sebuah studi di Journal of Mental Health (2019), ditunjukkan bahwa komunitas yang mendukung dan tidak menghakimi mampu menciptakan lingkungan di mana orang merasa aman untuk berbicara dan mencari bantuan.
Kesehatan mental adalah hal yang kompleks, dan setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda. Bagaimana menurut Anda? Apakah stigma kesehatan mental di Indonesia sudah berkurang, atau masih ada perjalanan panjang yang harus ditempuh? Yuk, share pemikiran Anda di kolom komentar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H