Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mental Health Booming: Kenapa Masih Ada Stigma di Balik Mencari Bantuan Psikologis?

13 September 2024   05:46 Diperbarui: 13 September 2024   13:25 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental semakin menjadi topik yang ramai dibicarakan. Banyak orang mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental, sama seperti menjaga kesehatan fisik. Di Indonesia sendiri, aplikasi kesehatan mental, layanan konseling, hingga kampanye kesehatan mental mulai bermunculan. Namun, ada satu hal yang masih menjadi penghalang: stigma. Mengapa di tengah perkembangan positif ini, stigma terkait kesehatan mental tetap ada?

Perubahan Positif dalam Kesadaran Kesehatan Mental

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Menurut survei Kementerian Kesehatan, semakin banyak orang yang kini secara terbuka mencari bantuan psikologis. Aplikasi konseling online telah menjadi pilihan populer, terutama di kalangan generasi muda. Dalam jurnal International Journal of Mental Health Systems (2022), penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aksesibilitas layanan kesehatan mental berkontribusi besar dalam memperbaiki kualitas hidup banyak orang. Namun, meskipun akses lebih mudah, masih ada rasa ragu untuk mencari bantuan secara terbuka.

Stigma: Pandangan Sosial yang Masih Kuat

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Salah satu alasan utama mengapa stigma tetap ada adalah pandangan masyarakat terhadap orang yang mengalami masalah kesehatan mental. Banyak yang masih beranggapan bahwa orang yang pergi ke psikolog atau psikiater berarti "gila" atau "lemah". Dalam jurnal Mental Health Review Journal (2021), disebutkan bahwa stigma ini sering kali dikaitkan dengan budaya di mana masalah psikologis dianggap tabu untuk dibicarakan.

Di Indonesia, konsep menjaga "muka" atau citra diri di hadapan masyarakat juga memainkan peran besar. Orang takut dicap "tidak kuat" atau "tidak normal" jika mereka mengungkapkan masalah yang mereka alami. Penelitian di jurnal Psychological Medicine (2020) menekankan bahwa stigma tidak hanya menghalangi orang mencari bantuan, tetapi juga dapat memperburuk kondisi mental mereka.

Peran Media Sosial dan Edukasi

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran media sosial dan kampanye kesehatan mental telah membuka pintu bagi perubahan. Platform seperti Instagram dan TikTok dipenuhi dengan konten tentang self-care, therapy, dan pengalaman pribadi tentang kesehatan mental. Meskipun ini langkah yang baik, dampak dari media sosial juga dapat menjadi pedang bermata dua. Banyak orang yang merasa tertekan untuk selalu terlihat "baik-baik saja" di depan layar, padahal di baliknya mereka mungkin berjuang dengan masalah mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun