Mohon tunggu...
Ilham Agung Satrio
Ilham Agung Satrio Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Univesitas Islam Indonesia

Bercita cita menjadi Ahli Hukum Pidana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perppu Cipta Kerja adalah Gejala Totalitarianisme Terbalik

21 Januari 2023   18:25 Diperbarui: 21 Januari 2023   18:40 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perppu Cipta Kerja Adalah Gejala Totalitarianisme Terbalik.

Presiden Joko Widodo, memberikan kado tahun baru untuk kita para pekerja dalam menghadapi ketidakpastian kondisi global. Kado tersebut berupa diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) pada 30 Desember 2022 lalu. Tentu saja kado tersebut ditolak masyarakat terutama pekerja. Mengingat, Pada tanggal 25 November 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) Inkonstitusional Bersyarat (cacat formal).

Dalam putusannya Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK memberi amanat kepada Pembuat Undang-Undang untuk memperbaiki UU Ciptaker dengan adanya partisipasi masyarakat (meaningfull participation) dalam pembahasannya hingga akhir tahun 2023, kalau tidak maka akan dinyatakan Inkonstitusional Permanen.

Alih alih diperbaiki bersama masyarakat, Pemerintah malah dengan arogansinya mengemas ulang sendiri UU Ciptaker yang kemudian diterbitkan melalui Perppu yang justru dinilai makin problematis. Penerbitan Perppu Ciptaker ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat hal ihwal kegentingan apa yang sampai-sampai Presiden Joko Widodo berani melawan MK “the guardian of the constitution”.

Alibi Pemerintah Berani Melawan MK

Pemerintah berdalih alasan diterbitkan nya Perppu Ciptaker karena, lembaga-lembaga International telah memprediksi kondisi perekonomian tahun 2023 akan diliputi dengan ketidakpastian yang tinggi. Ketidakpastian kondisi global tersebut disebabkan oleh mulai dari perang yang belum usai, pengaruh dari climate change dan bencana, kemudian krisis baik itu di sektor pangan, di sektor energi, maupun di sektor keuangan. Oleh karena itu, pemerintah percaya, bahwa kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah mendirikan pemerintahan yang kuat secara ekonomi untuk dapat bertahan dan melindungi masyarakat dalam ketidakpastian kondisi global dengan cara mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi.

Airlangga, menteri Koordinator Perekonomian (Menko), menegaskan pentingnya Perpu Ciptaker adalah sebagai langkah antisipatif atas ketidakpastian kondisi global tersebut. Terutama terkait investasi yang ditargetkan mencapai Rp1.400 triliun pada tahun 2023. Keberadaan Perppu Ciptaker diharapkan dapat memberikan iklim investasi yang kondusif dan sekaligus dapat mendorong lapangan pekerjaan.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti, menilai bahwa alasan pemerintah justru terkesan bahwa pemerintah terlalu memaksaan kegentingan, seharusnya Perppu diterbitkan ketika benar-benar terjadi situasi kegentingan memaksa dan krisis. Oleh karenanya banyak pakar hukum yang menilai bahwa penerbitan Perppu Ciptaker ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurut saya pribadi, penerbitan Perppu Ciptaker bukan gejala otoritarianisme akan tetapi merupakan gejala totalitarianisme terbalik.

Totalitarianisme Terbalik Dan Upaya Mengeksploitasi Negara

Totalitarianisme terbalik adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh seorang pemikir politik kontemporer, Sheldon Woolin, dalam bukunya Democracy Incorporated, yang menggambarkan bentuk pemerintahaan Amerika Serikat masa kini. Bukan turunan dari "totalitarianisme versi klasik" yang dahulu digunakan Hitler, di mana pemerintahan negara dipandang sebagai tokoh utama yang memiliki kekuatan yang sah untuk dapat memonopoli tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam negara.

Dalam totalitarianisme terbalik yang menjadi tokoh utama nya adalah pemilik modal. Totalitarianisme terbalik didefinisikan sebagai sistem demokrasi yang didominasi dan dipelintir oleh pemilik modal, sehingga ekonomi lebih berkuasa daripada politik.

Perppu Ciptaker merupakan salah satu contoh upaya rezim totalitarianisme terbalik mengeksploitasi negara. Pasalnya, Perppu Ciptaker yang harusnya diterbitkan untuk memperkuat ekonomi sehingga masyarakat terlindungi dari ketidakpastian kondisi global, Perppu Ciptaker justru merugikan masyarakat dan memperluas kekuatan Pemilik Modal atas masyarakat. Nining Elitos, ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), menilai bahwa terdapat penghapusan beberapa hak pekerja dalam Perpu Cipta Kerja antaralain; hak cuti panjang, kepastian kerja, dan hak pesangon.

Dalam Perppu Cipta Kerja, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan yang lama mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

Dalam Perppu Cipta Kerja juga tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Merujuk pada UU Ketenagakerjaan, pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi. Dengan begitu, ketentuan ini dinilai bisa memberikan peluang bagi perusahaan alih daya untuk bisa memberikan berbagai tugas kepada pekerja.

Kemudian dalam Perppu Ciptker, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan. Pemberian cuti panjang juga tidak lagi menjadi kewajiban perusahaan, melainkan opsional perusahaan. Ketentuan ini berpotensi memberikan keleluasan pengusaha untuk memperkerjakan pekerjanya tanpa ketentuan libur yang jelas. Dan masih banyak ketentuan lainnya yang sangat merugikan masyarakat.

Saat ini Pemerintah berupaya menipu publik dengan alibi ancaman ketidakpastian global terhadap bangsa, yang tentu saja hanya akal-akalan pemerintah semata demi memuluskan agenda pemerintahan, terutama terkait pembangunan dan investasi. Apalagi proyek utama pemindahan Ibu Kota Negara yang digadang-gadang menggunakan Investor yang nyatanya hingga kini menggunakan APBN. Oleh karena itu, wajar saja jika kita melihat Perppu Ciptaker tidak pro rakyat tetapi condong kepada Pemilik Modal. Ya di analogikan saja semacam ini “siapa yang butuh, ya ngikut dong”.

Feri Amsari, Akademisi dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas bahkan menilai bahwa Perppu Ciptaker sejatinya untuk investor, pasalnya, sebagaimana apa yang disampaikan oleh Menko Airlangga, bahwa Perppu ini adalah bentuk kepastian ekonomi investasi, dan ekonomi investasi yang diuntungkan adalah investor.

Kelalaian Kita Sebagai Warga Negara Kekuatan Totalitarianisme Terbalik

Sheldon Wolin berpandangan bahwa kita terjebak dalam totalitarianisme terbalik karena kelalaian dan ketidakmampuan kita sebagai warga negara untuk menanggapi dengan serius pelbagai persoalan dalam negara demokrasi. Karena tujuan dari totalitarianisme terbalik tidak untuk menghancurkan demokrasi tetapi justru mengelola demokrasi dan juga mengeksploitasinya demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Totalitarianisme terbalik tidak serupa rezim totalitarianisme klasik, yang secara terbuka memaksa masyarakat untuk tunduk kepada pemerintahan yang tirani. Dalam rezim totalitarianisme terbalik hanya perlu memanipulasi dan membodohi masyarakat dengan cara menciptakan dan menyebarkan budaya yang mengajarkan konsumerisme dan sensasioanalisme yang berlebihan sehingga masyarakat secara tidak langsung akan menyerahkan kebebasan serta partisipasi politiknya. 

Oleh karenanya masyarakat cenderung bersikap pasif bahkan bersikap “bodo amat” terhadap segala hal yang berhubungan dengan pemerintah. Padahal konsep “dari rakyat untuk rakyat” dalam demokrasi memerlukan keaktifan politik masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun