limbah elektronik sangatlah penting, hal ini diperlukan mengingat kebutuhan perangkat elektronik telah bermetamorfosis menjadi barang dengan kebutuhan primer khususnya pada komunitas masyarakat menengah ke atas.
Saat ini, diskursus tentang daur ulangDinamika itu terkonfirmasi dengan banyak ditemui barang elektronik dikonsumsi hampir setiap rumah, mulai dari kota sampai desa, perhotelan, warung makan mewah atau sederhana, kapal, mobil, pesawat, bahkan yang paling banyak dijumpai adalah handphone telah menjadi konsumsi umum yang tidak dapat dihindari di zaman milenial hingga gen Z.
Produksi peralatan elektronik juga meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasar.
Dari segi perekonomian, hal ini tentu positif. Namun ada juga kekhawatiran yang perlu diperhatikan, yaitu masalah sampah elektronik atau "E-waste".
Global E-garbage Monitor memperkirakan bahwa >53,6 juta ton sampah elektronik telah dihasilkan di seluruh dunia pada tahun 2023.
Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 110 juta ton pada tahun 2050, sungguh mencengangkan ya? Dan ironisnya, hanya 20% dari gadget usang yang didaur ulang pada tahun 2018.
Semakin meningkatnya jumlah sampah elektronik, membawa kabar buruk, karena sampah ini tergolong dalam jenis sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Umumnya limbah elektronik mengandung PCB (Printed Circuit Board) mengandung logam berat seperti Cr, Zn, Ag, Sn, Pb dan Cu. Selain itu terdapat pula CRT (Chatoda Ray Tube) yang mengandung oksida logam.
Sampah elektronik juga mengandung bahan kimia berbahaya seperti litium, timbal, nikel, merkuri dan berbagai bahan berbahaya lainnya.
Secara umum pengertian Electronic Waste atau yang lebih dikenal dengan Limbah Elektronik merupakan barang-barang elektronik atau listrik yang sudah memasuki masa akhir pakai dan siap digantikan dengan barang-barang baru yang lebih canggih dan berkualitas.
Limbah elektronik termasuk sebagai salah satu jenis limbah yang pertumbuhannya sangat cepat dari segi kuantitas ataupun tingkat bahannya. Jenis limbah ini terbagi menjadi limbah elektronik kering dan limbah elektronik basah.
Hasil riset Perumal dkk, 2023 di Tamil India terhadap akumulasi metal pada berbagai jenis ikan tropis dan riset polusi di pantai utara Mesir (laut mediterania) oleh Ozden dkk, 2021, mengkonfirmasi bahwa limbah elektronik mengandung senyawa plastik dimana setiap limbah tersebut akan menguraikan zat-zat kimia secara langsung ataupun tidak langsung di udara, air dan tanah, hal ini memicu kenaikan resiko pencemaran lingkungan.
Harus dipahami bersama bahwa banyak potensi sumber daya alam di lingkungan pesisir dan laut yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Seperti habitat padang lamun (seagrass ) mangrove, dan terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang dapat menyuplai manfaat langsung dan tidak langsung kepada manusia.
Banyak spesies ikan karang (Epinephelus sp.), gastropoda (Thrombus sp.), bivalvia (Anadara sp.), dan kepiting (Scylla serrata) menjadikan ekosistem tersebut sebagai habitat, tempat pemijahan, mencari makan dan berkembang dari satu fase ke fase berikutnya.
Di saat yang sama kawasan pesisir dan laut juga menjadi tempat yang paling rentan karena mudah terpengaruh dari buangan limbah di daratan.Â
Produktivitas primer perairan mengalami penurunan akibat meningkatnya kegiatan pengelolaan sumber daya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan daya dukung kawasan di bagian daratan, meskipun jaraknya relatif jauh dari pesisir, karena akumulasi buangan limbah masuk melalui aliran sungai (run off) menuju ke pesisir.
Semakin meningkatnya jumlah limbah elektronik seperti: Televisi, Radio, Ponsel, Pendingin ruangan, Penanak nasi, Laptop, Kulkas, Mesin cuci, Dispenser, termos listrik, catokan listrik, dan lain sebagainya, sangat dikhawatirkan semakin mengganggu kesehatan manusia dan sangat berpengaruh dalam kerusakan ekosistem, khususnya pada daerah aliran sungai hingga ke pesisir pantai.
Mirisnya banyak orang yang masih belum menyadari akan bahaya limbah elektronik jika mencemari kawasan pesisir dan laut.
Komponen berbahaya yang terdapat pada barang elektronik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak negatif pada ekosistem, biota perairan bahkan bagi kesehatan manusia.
Alasannya ialah konsentrasi pada komponen tersebut mengandung toxic yang dapat mencemarkan lingkungan dan merusak jaringan tubuh manusia bahkan menyebabkan berbagai penyakit berbahaya.
Manusia yang terpapar, berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan, di antaranya masalah lambung hingga kanker.
Begitupun sebaliknya meskipun tidak masuk melalui aliran air tetapi limbah elektronik yang terbuang di pesisir dalam jumlah besar, akan terakumulasi dalam tanah dan kemudian pada batas waktu tertentu akan menghasilkan senyawa beracun seperti; merkuri, timbal, litinium dan senyawa beracun lain yang dampaknya meningkatkan keasaman pada perairan dan menghambat proses-proses biologi organisme air.
Beberapa contoh konkrit yang dapat kita lihat ialah proses pembakaran kabel untuk mendapatkan logam tembaga, proses ini melepaskan asap yang mengandung dioksin atau polychlorinated dibenzo-p-dioxin/furan (PCDD/F), juga dari proses pelelehan aki bekas menghasilkan asap yang mengandung logam berat timbel (Pb).
Sementara itu dari ekstraksi dengan larutan asam, menghasilkan limbah berupa logam berat seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), khromium (Cr), cadmium(Cd) dan dioksin ke tanah juga air.
Hasil riset Muto dkk, 2012 mengkonfirmasi bahwa ibu-ibu yang bekerja di lokasi daur ulang limbah elektronik di Vietnam, diketahui bahwa air susu mereka terdeteksi mengandung PCB (polychlorinated biphenyls), Brominated flame retardans (BFR) seperti Polybrominated diphenyl ether (PBDE) dan Hexabromocyclododecane (HBCD)).
Riset serupa oleh Xing dkk, 2009, terhadap para pekerja pabrik elektronik di China dan India diketahui bahwa dalam darah mereka mengandung logam berat dan senyawa beracun seperti PCB, PCDD/F, PBDE, dan Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dan logam berat.
Dalam konteks pencemaran global saat ini, seharusnya manusia dapat mengandalkan sistem ekologi pesisir dan laut sebagai pengendali iklim global, yang sejatinya memiliki kemampuan secara alami untuk meredam dan menetralisir dampak perubahan iklim, tetapi perlu diketahui bahwa sistem ini memiliki batas toleransi yang dapat diterima secara ekologis.
Sifat eksploitasi sumberdaya alam yang serakah oleh manusia dan aktivitas tidak ramah lingkungan mempercepat kerusakan ekosistem, penurunan nilai ekologis dan pada tahap selanjutnya berdampak secara luas pada kesehatan manusia.
Fungsi ekologi antara lain; habitat ikan, burung, crustacea, gastropoda, reptile, suplai nutrient, menjaga kestabilan pantai, mencegah abrasi, meredam gelombang pasang, sebagai areal budidaya ikan tambak, areal rekreasi dan sumber material alami untuk kesehatan dan bangunan dan nilai manfaat lain.Â
Selain itu ekosistem pesisir dan laut berperan sebagai penyerap karbondioksida (CO2) dari udara.
Mangrove, lamun dan terumbu karang menyerap sebagian karbon dalam bentuk CO2 yang dimanfaatkan untuk proses fotosintesis, sedangkan sebagian lainnya tetap berada di atmosfer.Â
Peningkatan CO2 yang ada di atmosfer, memicu terjadinya perubahan iklim secara global dan berdampak pada sistem ekologi di pesisir dan laut, misalnya: akar mangrove, khususnya Rhizophora apicullata dan R. mucronata berperan sebagai perangkap sedimen terhadap komunitas padang lamun dan terumbu karang.
Demikian juga peranan terumbu karang sebagai penghalang hempasan gelombang terhadap komunitas padang lamun.
Kriterium baik atau buruknya parameter lingkungan perairan pantai bergantung pada hubungan interaksi ketiga komunitas tersebut.
Perubahan dalam suatu ekosistem seringkali menyebabkan ekosistem lain menjadi tidak stabil, yang kemudian seluruh aktivitas di dalam ekosistem menjadi terganggu.
Aktivitas masyarakat di pesisir dan laut yang tinggi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat menyebabkan naiknya kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi barang primer sampai tersier.
Pola hidup masyarakat yang mengalami perubahan dalam memenuhi kebutuhan hidup, seperti barang elektronik saat ini telah menjelma menjadi barang dengan kebutuhan primer, sebagai contoh kecil adalah handphone.
Dinamika ini menyebabkan produksi limbah elektronik meningkat dari waktu ke waktu. Limbah yang tidak terpakai ini kemudian dibuang ke berbagai lahan kosong termasuk ke sungai dan pesisir.
Harus diakui kerusakan ekosistem pesisir dan laut secara nasional sampai saat ini belum bisa ditanggulangi dengan optimal. Bahkan yang terjadi saat ini, berbagai kerusakan lingkungan di wilayah pesisir semakin meluas.
Penyebab kerusakan lingkungan di wilayah pesisir tersebut lebih didominasi oleh pencemaran minyak, sampah, dan lain-lain.
Selain eksploitasi manusia terhadap sumberdaya pesisir dan laut yang kian meningkat, ternyata limbah elektronik juga menjadi masalah serius yang harus diselesaikan untuk mencegah semakin luasnya kerusakan ekosistem dan menjaga kesehatan masyarakat pesisir.
Dari bahasan ini penyebab kerusakan tersebut diketahui bahwa aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
Padahal kalau dilihat dari dampak kerusakan tersebut sebagian besar akan berdampak kepada manusia dan lingkungan, seperti rusaknya biota mangrove, terancamnya pemukiman nelayan, terancamnya mata pencaharian nelayan, kerusakan iklim global dan sebagainya.
Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan baik maka dikhawatirkan sumber daya pesisir dan laut akan semakin terdegradasi (imfb).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H