Mohon tunggu...
Ilham Marasabessy
Ilham Marasabessy Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen/Peneliti

Belajar dari fenomena alam, membawa kita lebih dewasa memahami pencipta dan ciptaannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengintip Sedimentasi dan Land Subsidence di Muara dan Pesisir

29 Oktober 2024   20:19 Diperbarui: 30 Oktober 2024   08:29 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerentanan kawasan pesisir (Sumber foto; Koleksi pribadi 2014)

Tongkat estafet kepemimpinan Negeri ini telah diserahkan ke Presiden Baru, bersamaan dengan kebijakan yang telah ditetapkan pada presiden sebelumnya. 

Menariknya di penghujung kepempimpinan Presiden Jokowi telah menetapkan regulasi ekspor pasir laut yang kemudian direvisi menjadi ekspor sedimen. Tentu hal ini akan menjadi tanggung jawab Presiden Prabowo dalam meramu dan mendesain bentuk pemanfaatan material tersebut. 

Harus diakui bahwa Implikasi kebijakan ini akan berdampak secara luas pada sistem sosial dan ekologi di pesisir dan laut.

Harapan besarnya ialah kebijakan Prabowo sejak awal terkait pro terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang berbasis kerakyatan, mencegah terjadinya kebocoran pemanfaatan sumberdaya alam dan mendukung hilirisasi menjadi suplay booster untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Pasir maupun sedimen merupakan material penting di kawasan pesisir dan laut pada Negara pantai, Negara Pulau dan Kepulauan hampir diseluruh dunia. Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang melimpah termasuk material pasir dan sedimen.

Pada dasarnya seluruh material ini merupakan bagian dari sumberdaya alam dan menjadi kekayaan nasional. Kekayaan alam Indonesia yang sudah terkenal dan mendunia harus disadari menjadi incaran banyak pihak.

Hal ini mendorong upaya negosiasi Negara lain untuk mendapatkan sumberdaya alam milik Indonesia demi memenuhi kepentingan nasional mereka. 

Mirisnya sering kali sumberdaya yang diinginkan selalu dalam bentuk mentah (belum diolah). Strategi ini bermain pada level bisnis kerena mengejar keuntungan ganda yang lebih besar.

Upaya memenuhi permintaan pasar dengan ekspor produk mentah tidak hanya berdampak terhadap kemerosotan sumberdaya alam, pencemaran lingkungan pesisir dan laut, penurunan fungsi ekosistem dan kepunahan sumberdaya alam tertentu, tetapi juga akan mempengaruhi sistem sosial masyarakat khususnya yang menempati wilayah pesisir dan pulau kecil.

Harus diakui bahwa potensi konflik pemanfaatan sumberdaya alam sering kali muncul karena kesalahan dalam mengelola dan memberikan akses pemanfaatan tanpa mempertimbangkan karakteristik ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat.

Krisis sumberdaya alam yang terjadi dalam beberapa dekade lalu dan semakin merosot pada beberapa tahun terakhir perlu dipertimbangkan, hal ini menjadi bukti bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang kita miliki belum berjalan efektif dan masih membutuhkan upaya perbaikan, sehingga perlu menjadi perhatian serius pemerintah.

Kerentanan kawasan pesisir (Sumber foto; Koleksi pribadi 2014)
Kerentanan kawasan pesisir (Sumber foto; Koleksi pribadi 2014)

Retorika tentang potensi sumber daya pesisir dan laut tidak hanya terbatas pada jenis biota hidup, logam dan sumberdaya mineral saja, melainkan juga berkaitan dengan sumberdaya material/ substrat, termasuk jasa ekosistemnya.

Itu artinya saat berdiskusi tentang sumberdaya alam di kawasan pesisir, laut dan kepulauan tidak dapat dipahami secara parsial, memisahkan setiap entitas dan membuat dikotomi yang tajam antara setiap entitas tersebut seolah tidak memiliki keterkaitan.

Dalam sistem ekologi pesisir dan laut terdapat konektivitas yang erat sehingga saling mempengaruhi. Perubahan terhadap satu entitas dalam ekosistem, cenderung mempengaruhi entitas lain dan berdampak secara luas dalam mekanisme alami ekologi. 

Paling tidak untuk mengetahui peran penting sistem ekologi pada kawasan pesisir dan laut, maka perlu kita memahami dua entitas yang sering kali mempengaruhi sistem ekologi dan sosial pada kawasan ini, yaitu sedimentasi (sedimentation) dan Penurunan permukaan tanah (land subsidence).

Sedimentasi

Sedimen yang sering kali kita temui pada bantaran sungai, muara dan pesisir laut merupakan akumulasi material tersuspensi yang terbawa dari hulu melalui arus sungai menuju muara, juga karena mekanisme pelapukan organisme laut dalam proses alami yang diendapkan dan terkumpul di pesisir pantai dalam kurun waktu yang lama.

Penjelasan ilmiah dalam berbagai literature geologi juga ekologi pesisir dan laut, menjelaskan bahwa sedimen adalah hasil pelapukan, pengikisan, dan pengendapan dari pecahan-pecahan material, yang mana keberadaannya pada suatu tempat umumnya berasal dari tempat berbeda yang terbawa oleh proses transport material. Sedimen dapat berupa mineral, organik, atau material yang melayang dalam air atau larutan kimia.

Proses ini sering dikenal dengan sebutan sedimentasi, perlu dipahami bahwa sedimentasi merupakan kelanjutan dari proses erosi yang mengendap di suatu wilayah, dengan kata lain sedimentasi adalah proses penimbunan atau pengendapan material hasil pengikisan dan pelapukan oleh air dan angin atau fenomena alam lain pada suatu tempat yang relatif terlindungi.

Namun proses sedimentasi juga dapat terjadi akibat aktivitas manusia dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam di hulu sungai maupun di pesisir.

Proses sedimentasi akan sangat ditentukan oleh kecepatan arus air, kekuatan angin, tingkat kemiringan tanah, elevasi daratan, juga pada kasus sedimen di pesisir sangat bergantung pada, arus laut, gelombang dan pasang surut laut.

Perlu dipahami bahwa proses sedimentasi juga berlangsung secara periodik mengikuti pola siklus angin musim (monsun) yang berkembang di Indonesia. 

Sedimentasi juga ditentukan arah tiupan angin barat dan timur, siklus tiupan angin ini akan berpengaruh pada pola dan arah gelombang, arus dan pasang surut laut, artinya bahwa pola siklus sedimentasi yang terjadi di pesisir dapat berganti sesuai perubahan musim.

Kemampuan proses sedimentasi akan menurun seiring semakin lemahnya faktor pendorong sedimentasi tersebut dan umumnya mencapai akhir pada wilayah yang semi tertutup dan terlindungi dari aktivitas hidrologi dan oseanografi.

Proses ekologi pesisir berkontribsui terhadap keanekaragaman hayati laut (Sumber foto; Koleksi pribadi, 2023)
Proses ekologi pesisir berkontribsui terhadap keanekaragaman hayati laut (Sumber foto; Koleksi pribadi, 2023)

Proses sedimentasi tidak hanya dapat ditemui pada wilayah muara sungai, melainkan juga terdapat di tepian danau, waduk dan rawa yang dikenal dengan sebutan sedimentasi Fluvial.

Sedimentasi fluvial terjadi kerena material yang diangkut dan diendapkan berasal dari air sungai, danau waduk dan rawa atau dengan kata lain terjadi pada perairan darat.

Proses ini umumnya ditemui pada wilayah perairan yang memiliki daratan relatif rendah dan berbentuk cekungan, biasanya karekteristik sedimen semakin ke hilir butirannya semakin halus.

Sedangkan sedimentasi laut (marine), sesuai penamaannya proses ini merupakan hasil pelapukan material, biasa terjadi di laut menuju ke arah pantai. 

Material yang diendapkan berupa bahan yang tidak larut di air, seperti batu, partikel tanah, lempung dan material vulkanik bahkan pada kasus tertentu material ini dapat berasal dari luar bumi seperti pecahan meteor dan benda asteroid lain yang pernah mencapai bumi.

Sedimentasi marine juga bertanggung jawab terhadap pembentukan bentang alam, seperti pesisir, tombolo, jurang laut, gua laut, lengkungan laut, dan bukit pasir di pesisir.

Batuan sedimen marine umumnya banyak mengandung mineral karbonat (kapur) dan terbentuk dari sisa-sisa cangkang hewan laut, seperti moluska, alga, dan foraminifera.

Pengendapan material hasil sedimentasi secara fluvial maupun marine secara terus menerus dalam jangka waktu lama dapat merubah landscape pesisir maupun muara sungai, danau, waduk dan rawa, wujud baru yang dihasilkan membentuk hamparan atau daratan baru dan memberikan kontribusi positif secara ekologi juga tidak jarang berdampak negatif dalam aspek sosial ekonomi.

Secara ekologi hasil sedimentasi dapat bernilai konservasi karena dapat menjadi perintis sistem ekologi baru, menyediakan habitat alami dan menjaga sistem ekologi tetap sustein dalam jangka panjang.

Selain itu secara ekologi lahan akibat proses sedimentasi dapat menjadi penahan abrasi bahkan tsunami, tentunya jika sedimen dapat dikelola dengan baik.

Namun kita juga jangan menutup mata bahwa ada persoalan lain pada aspek sosial dan ekonomi yaitu adanya kekuatiran klaim sepihak kepemilikan oleh sebagian orang/komunitas tertentu terhadap hak pengusaan lahan yang terbentuk akibat proses sedimentasi.

Tekanan ekonomi yang semakin tinggi mendorong naiknya upaya eksploitasi sumberdaya alam. Fenemona ini dapat menjadi triger konflik pengelolaan ruang pesisir dan laut di masa mendatang. 

Dapat kita bayangkan jika pada suatu kawasan muara, pesisir atau laut terbentuk daratan baru akibat sedimentasi, maka kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan lahan tersebut akan sangat besar, dalam kurun waktu tertentu jika tidak diimbangi dengan regulasi untuk mengatur hal ini maka sangat mungkin berpotensi sebagai pemicu konflik baru dari upaya mengelola dan memanfaatkan ruang laut.

Land subsidence

Penurunan tinggi permukaan tanah dari sebelumnya yang terjadi secara bertahap atau tiba-tiba akibat pergerakan butiran tanah di bawah permukaan tanah dikenal sebagai land subsidence. Sederhananya memaknai fenomena ini adalah dengan menyandingkan secara kontradiktif proses sedimentasi.

Jika sedimentasi adalah pembentukan lahan baru, maka land subsidence sebaliknya. Land subsidence tidak hanya terjadi secara regional dalam area yang luas namun juga dapat terjadi secara lokal.

Kondisi ini sering terjadi di kota-kota besar yang dibangun di atas lapisan sedimen, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Namun bukan berarti bahwa fenomena ini tidak dapat dialami pada kota kecil lain.

Hal ini, karena mekanisme land subsidence tidak hanya berkaitan dengan kemampuan tanah menahan beban material bangunan besar dan banyak di atasnya, namun juga sangat berhubungan dengan karakteristik tanah dan batuan, tingkat eksploitasi air tanah secara berlebihan, gempa yang merusak struktur tanah, ketidakstabilan bidang tanah dan kontur tanah yang secara alami telah terbentuk.

Umumnya fenomena ini sering terjadi pada kawasan pesisir, terutama pada wilayah yang struktur tanahnya labil dengan tingkat porositas pasir yang tinggi. Dampaknya dapat menyebabkan berbagai kerugian, seperti banjir, intrusi air laut, dan perubahan aliran sungai.

Penurunan permukaan tanah berdampak terhadap kerusakan pesisir (Sumber foto; Koleksi pribadi, 2023)
Penurunan permukaan tanah berdampak terhadap kerusakan pesisir (Sumber foto; Koleksi pribadi, 2023)

Fakta menariknya ialah, kecenderungan kejadian land subsidence di kawasan pesisir dapat terjadi lebih cepat dan meningkat jika terdapat aktivitas pengerukan atau penambangan tanah/sedimen/pasir, sebagai material laut yang berproses mengikuti siklus alam.

Semakin massif dan intensif proses pengerukan lahan pesisir untuk pengambilan sedimen atau pasir laut, maka semakin mempercepat tekanan lahan pesisir untuk kehilangan kestabilan tanah atau ambles, dan pada waktu tertentu dapat berdampak pada penurunan tanah yang sulit untuk dihindari.

Konsekuensi yang harus diterima ialah wilayah kota pesisir menjadi sangat rentan terhadap kerusakan dan kehilangan daratan.

Dampak land subsidence tidak hanya secara ekologi melainkan juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi.

Penurunan permukaan tanah menyebabkan terjadi kerusakan ekologi, sebagian ekosistem mangrove yang seharusnya tidak terendam air laut akhirnya rusak karena terendam secara permanen, merubah siklus kehidupan biota pesisir dan laut, berdampak terhadap ketersediaan nutrient dan berpengaruh luas terhadap siklus iklim global.

Sedangkan secara sosial dan ekonomi, fenomena ini dapat mengganggu industri pesisir (pabrik perikanan dan pariwisata), menghambat usaha khususnya budidaya tambak ikan dan udang, penurunan nilai estetika kota pesisir, kehilangan infrastruktur jalan di pesisir, mengganggu jalur transportasi, dan pada kondisi ekstrim terjadi kehilangan daratan selamanya karena tenggelam.

Pengelolaan dan Implikasi Eksploitasi Sedimen Pesisir

Upaya eksploitasi material pesisir (sedimen maupun pasir laut) secara komersial dalam skala besar untuk kebutuhan ekspor dapat menjadi ancaman ekologis sekaligus sosial di masa mendatang.

Sistem ekologi pada kawasan pesisir dan laut merupakan mekanisme yang kompleks, tersusun membentuk trofik level dengan konektivitas yang rumit dan relatif stabil pada kondisi alami, walaupun penuh ketidakpastian (uncertainty) namun saling mempengaruhi di setiap levelnya.

Eksploitasi dalam jumlah besar akan berdampak pada fungsi ekosistem pesisir dan laut seperti; ekosistem terumbu karang, padang lamun, ekosistem mangrove, pescaprea, formasi barringtonia, pantai berpasir/berbatu/berlumpur dan pada akhirnya akan berdampak pada keanekaragaman sumberdaya hayati dan non hayati pesisir dan laut.

Sulit untuk memisahkan material yang berbentuk pasir dan sedimen dalam proses eksploitasi sumberdaya alam ini.

Perhitungan manfaat ekonomi berlaku dalam proses eksploitasi material sedimen, setiap perusahan tentu telah melakukan perhitungan untung dan rugi sebelum aktivitas tersebut dilakukan, prinsipnya ialah mendapatkan keuntungan besar dengan biaya yang kecil.

Rendahnya pengawasan terhadap aktivitas eksploitasi juga dapat memicu kerusakan ekosistem yang lebih luas.

Pengambilan sedimen atau pasir pada skala industri eksportir tentu tidak menggunakan pacul, sekop, linggis atau alat sederhana lainnya, tetapi menggunakan alat berat yang dimuat dalam kapal dengan tonase yang besar.

Mekanisme pengambilan material dilakukan dengan cara menghisap atau menyedot lapisan tanah yang dikategorikan sebagai sedimen. Sistem ekologi yang telah terbentuk dalam sedimen akan terputus, mengalami penurunan fungsi ekosistem atau bahkan rusak.

Pergerakan kapal pengambil sedimen dengan tonase besar mengancam kerusakan terumbu karang dan juga padang lamun yang hidup pada perairan dangkal.

Pengelolaan pesisir dan laut melalui integrasi sistem sosial dan ekologi (Sumber foto; Koleksi pribadi, 2014)
Pengelolaan pesisir dan laut melalui integrasi sistem sosial dan ekologi (Sumber foto; Koleksi pribadi, 2014)

Konektivitas sistem ekologi di pesisir yang saling terintegrasi juga dipengaruhi oleh setiap material dan komponen lain dalam sistem alami itu, jika proses eksploitasi material tersebut dilakukan dan harus memenuhi kuota eksploitasi dalam jumlah besar tentu material ini akan berkurang di habitat alaminya. 

Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan dangkal dan habitat bentik di sekitarnya. Dalam jangka waktu lama, kestabilan ini akan berdampak pada biodiversitas perairan Indonesia.

Pertanyaannya apakah kita siap menanggung beban moral untuk generasi mendatang karena keputusan yang dibuat saat ini, ketika sebagian keanekaragaman hayati laut yang dimiliki tidak akan terlihat lagi?

Di lain sisi pemerhati lingkungan dunia sedang menggalakan untuk menumbuhkan konsep regenerative susteinability pada setiap upaya pemanfaatan sumberdaya alam.

Harus diakui bahwa keberadaan sedimen pasir pantai secara alami mampu berkontribusi dalam menjaga dan meningkatkan nilai ekosistem pesisir sehingga mendukung peningkatan dan pertumbuhan sektor pariwisata bahari.

Selain itu, dapat menjadi pelindung alami pantai dari gelombang pasang. Sedangkan sedimen lumpur dapat dimanfaatkan untuk rehabilitasi ekosistem mangrove, menyediakan jasa regulating yang mampu mengendalikan siklus carbon, penyedia nutrisi alami dan zona perlindungan organisme pesisir.

Masyarakat telah mempercayakan pemerintah untuk menjaga, mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam termasuk pasir dan sedimen pesisir secara bijak, agar tidak hilang atau rusak sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan sebaliknya menjadi persoalan baru yang memicu konflik berkepanjangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang cara mengelola hasil sedimentasi di laut. Menyatakan bahwa material sedimen di perairan laut dapat digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menjadi dilematis terhadap pengelolaan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut, seperti "dua mata pisau" Secara ideal implementasi ini dapat berjalan baik dengan memenuhi prosedur yang tepat dan dalam pengawasan yang kuat, namun jika pada akhirnya implementasi regulasi ini gagal dan bertentangan dengan prinsip konservasi, maka kemungkinan terburuk adalah kerusakan ekosistem pesisir dan kehilangan sumberdaya alam.

Regulasi yang dibuat seharusnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan perlindungan dan peningkatan daya dukung ekosistem pesisir dan laut, bukan sebaliknya.

Prinsip keberlanjutan adalah menempatkan kawasan yang dikelola dan dimanfaatkan secara sesuai dan membatasi pemanfaatan secara berlebihan, focus pada capaian konservasi yang efektif bukan sebaliknya di eksploitasi secara komersil (imfb).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun