Batuan sedimen marine umumnya banyak mengandung mineral karbonat (kapur) dan terbentuk dari sisa-sisa cangkang hewan laut, seperti moluska, alga, dan foraminifera.
Pengendapan material hasil sedimentasi secara fluvial maupun marine secara terus menerus dalam jangka waktu lama dapat merubah landscape pesisir maupun muara sungai, danau, waduk dan rawa, wujud baru yang dihasilkan membentuk hamparan atau daratan baru dan memberikan kontribusi positif secara ekologi juga tidak jarang berdampak negatif dalam aspek sosial ekonomi.
Secara ekologi hasil sedimentasi dapat bernilai konservasi karena dapat menjadi perintis sistem ekologi baru, menyediakan habitat alami dan menjaga sistem ekologi tetap sustein dalam jangka panjang.
Selain itu secara ekologi lahan akibat proses sedimentasi dapat menjadi penahan abrasi bahkan tsunami, tentunya jika sedimen dapat dikelola dengan baik.
Namun kita juga jangan menutup mata bahwa ada persoalan lain pada aspek sosial dan ekonomi yaitu adanya kekuatiran klaim sepihak kepemilikan oleh sebagian orang/komunitas tertentu terhadap hak pengusaan lahan yang terbentuk akibat proses sedimentasi.
Tekanan ekonomi yang semakin tinggi mendorong naiknya upaya eksploitasi sumberdaya alam. Fenemona ini dapat menjadi triger konflik pengelolaan ruang pesisir dan laut di masa mendatang.Â
Dapat kita bayangkan jika pada suatu kawasan muara, pesisir atau laut terbentuk daratan baru akibat sedimentasi, maka kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan lahan tersebut akan sangat besar, dalam kurun waktu tertentu jika tidak diimbangi dengan regulasi untuk mengatur hal ini maka sangat mungkin berpotensi sebagai pemicu konflik baru dari upaya mengelola dan memanfaatkan ruang laut.
Penurunan tinggi permukaan tanah dari sebelumnya yang terjadi secara bertahap atau tiba-tiba akibat pergerakan butiran tanah di bawah permukaan tanah dikenal sebagai land subsidence. Sederhananya memaknai fenomena ini adalah dengan menyandingkan secara kontradiktif proses sedimentasi.
Jika sedimentasi adalah pembentukan lahan baru, maka land subsidence sebaliknya. Land subsidence tidak hanya terjadi secara regional dalam area yang luas namun juga dapat terjadi secara lokal.
Kondisi ini sering terjadi di kota-kota besar yang dibangun di atas lapisan sedimen, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Namun bukan berarti bahwa fenomena ini tidak dapat dialami pada kota kecil lain.