Mohon tunggu...
Ilham Marasabessy
Ilham Marasabessy Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen/Peneliti

Belajar dari fenomena alam, membawa kita lebih dewasa memahami pencipta dan ciptaannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kawal Sumberdaya Pesisir dan Laut di Maluku dengan Adat

4 Juni 2023   13:56 Diperbarui: 4 Juni 2023   14:21 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAWAL SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT DI MALUKU DENGAN ADAT

(Oleh: Ilham Marasabessy)

Dosen Menajemen Sumberdaya Perairan UM Sorong

Terdapat beragam kebudayaan yang berkembang dan di wariskan dari generasi ke generasi oleh masayarakat Maluku. Kebudayaan itu seperti sistem kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. 

Berbagai jenis kepercayaan yang dianut oleh penduduk Maluku seperti agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan "Agama Suku" keseluruhan ini dimaknai sebagai modal sosial dan dijadikan sebagai kohesi sosial dan budaya dalam menyelesaikan pertikaian sosial intra maupun antar Negeri. Istilah Negeri di Maluku merupakan nama lain dari Desa atau Kampung pada wilayah lain di Indonesia. 

Negeri dalam prespektif masyarakat hukum adat Maluku adalah tatanan/sistem penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan aturan, norma dan hukum adat yang dihormati, disepakati dan dijalankan secara bersama. 

Sebagian besar wilayah administratif desa di Maluku menjalankan sistem pemerintahan Negeri, telah melekat sejak lama sebelum revolusi kemerdekaan Indonesia. Pemimpin Negeri disebut Raja (Upu Latu) yang dipilih berdasarkan garis keturunan Raja Negeri secara turun temurun dengan mekanisme pemilihan langsung. 

Perkembangan adat dan budaya di dalam suatu Negeri di Maluku, mengalami alkulturasi dengan budaya Arab, Portugis, Belanda, Spanyol, India dan Gujarat yang berbaur seiring dengan masuknya para pedagang Arab dan Mesir ke Maluku dan invasi kerajaan/kekaisaran Eropa untuk menguasai sumberdaya alam Maluku yang kaya pada masa itu.

Sedangkan Petuanan yang dimaksud, ialah bagian dari konsep pemerintahan Negeri di Maluku  yang mengandung arti dan makna adanya "wilayah" maupun "hak" kepemilikan, termasuk tata cara penguasaan dan pengelolaannya menurut hukum adat masyarakat Maluku. 

Wilayah petuanan di Maluku berdasarkan historiscal culture akan selalu ditemui beraviliasi dengan Negeri Adat sebagai wilayah Induk. Penetapan daerah Petuanan pada suatu Negeri dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendelegasian hak penguasaan dari penguasa Negeri Induk (Raja/Upu Latu) kepada kelompok masyarakat tertentu untuk mendiami, mengelola dan memanfaatkan potensi alam untuk kepentingan kelompok masyarakat tersebut berdasarkan batasan dan ketentuan yang diatur secara tidak tertulis namun disepakati bersama dan berlaku secara turun temurun dari generasi ke generasi. 

Konsep wilayah Petuanan/ hak Petuanan atau di Indonesia sekarang lebih dikenal dengan istilah Hak Ulayat. Merupakan hak masyarakat hukum adat (hak komunal) atau persekutuan hukum adat atas tanah (daratan) dan lautan, terkait pemanfatan atas vegetasi (pohon) yang tumbuh alami serta berbagai jenis hewan darat dan laut yang hidup secara alami di habitatnya.

Masyarakat hukum adat (adatrecht gemeenschap) adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, memiliki pemimpin/penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah bertumbuh itu atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. 

Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Maluku dapat dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat karena telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.

Masyarakat asli Maluku yang mendiami wilayah Negeri dan Petuanan di sekitarnya adalah masyarakat tradisional dan hukum adat yang masih memiliki kepercayaan kuat terhadap kekuatan Tuhan dan harmonisasi dengan alam. Mereka mendiami dataran tinggi di bagian perbukitan hutan hujan tropis pada daerah dataran tinggi (pegunungan) sampai wilayah pesisir pantai. 

Contohnya masyarakat asli di Pulau Seram, biasa disebut (Suku Wuahulu), masyarakat di Pulau Haruku disebut Jasirah Hatuhaha, juga masyarakat asli mendiami pesisir Ambon disebut Jazirah Leihitu dan Salahutu juga masyarakat Negeri Soya. Selain itu Negeri pesisir di Pulau Sapaurua (Jazirah Hatawano) dan Negeri-negeri adat di pesisir Pulau Nusa Laut. 

Adanya kemajemukan adat dan budaya ini memberikan dampak positif terhadap bentuk kearifan lokal yang tertanam dalam masyarakat Negeri di Maluku sejak lama, seperti contohnya budaya "SASI" hasil hutan, kebun dan laut yang secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap kelestarian lingkungan dan SDA di daerah tersebut. Sistem ini memberikan ruang dalam pengelolaan SDA dengan jangka waktu tertentu sebelum SDA tersebut diambil.

Pengaruh Negeri Adat yang kuat terhadap sistem pemerintahan Negeri memberikan ikatan toleransi yang lebih dalam di antara daerah-daerah Petuanan dalam Negeri tersebut. 

Secara alami kondisi ini menciptakan sistem nilai, norma dan hukum-hukum adat yang mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat di setiap daerah Petuanan, bahwa wilayah induk (Negeri) merupakan pemegang hak penuh terhadap pengelolaan ruang dan sumberdaya alam yang berada dalam wilayah tersebut.

Sistem tatanan nilai adat dan kearifan lokal yang umumnya ada di Maluku berkembang dan tumbuh membentuk sistem Pemerintahan Negeri. Susunan Pemerintahan Negeri merupakan warisan leluhur masyarakat Maluku secara turun temurun yang telah ada sejak lama, membentuk aturan adat baik tertulis maupun tidak tertulis yang disepakati dan dipatuhi secara bersama oleh seluruh komponen masyarakat Negeri. 

Warisan ini, oleh Pemerintah Belanda kemudian diatur dalam sistem hukum adat sesuai Keputusan LANDRAAD AMBOINA Nomor. 14 tahun 1919, bahwa Pemerintahan Negeri adalah EGENT ENDE atau Kepala Soas. 

Dalam sistem Pemerintahan Negeri di Maluku dikenal beberapa istilah yakni, Negeri adalah basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas disebut "PETUANAN NEGERI", sistem pemerintahan dipimpin oleh seorang Raja (Upu Latu), bersifat genologis atau garis keturunan; sedangkan Desa adalah wilayah administratif yang terbentuk dari pemekaran wilayah Negeri Induk. 

Jika ditelusuri lebih jauh dalam silsilah pembagian hak wilayah berdasarkan hukum adat di Maluku, maka sejatinya tata cara pemerintahan Negeri dan Petuanan di Maluku lahir dan berkembang seiring dengan tumbuhnya peradaban awal masyarakat Maluku, adat, norma dan kearifan lokal Masyarakat Hukum Adat yang telah mengakar jauh sebelum datangnya bangsa Eropa (Belanda, Spanyol, Portugis dan Inggris) juga bangsa Timur Tengah dan Asia Selatan (Arab, India dan Gujarat).

Daerah "Petuanan" mengatur secara administratif kemasyarakatan, bukan berkaitan secara aturan dan hukum adat. Batas wilayah darat dan laut masih diatur mengikuti Negeri Induk (Negeri Adat). Sistem pemerintahan bersifat umum dipiminpin oleh seorang Kepala Desa/Dusun. 

Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah, selaku kabupaten tertua di Maluku, Nomor 01 tahun 2006 tentang Negeri, merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Negeri dan Saniri Negeri dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sistem "Petuanan" dalam bentuk pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan di sekitar Wilayah Kepulauan di Maluku memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal dan keberlanjutan ekosistem juga sumberdaya alam. 

Bentuk pemerintahan Negeri yang masih dipengaruhi oleh nilai, norma, aturan adat dan budaya lokal menciptakan rasa kebersamaan, hormat dan patuh terhadap keputusan Pemerintahan Negeri. 

Hal itu tercermin dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada di sekitar kawasan kepulauan di Maluku. Melalui keputusan Negeri sumberdaya alam yang ada diawasi dan diatur secara bersama untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Negeri, Dusun dan Daerah petuanan dengan tetap menjaga kelestariannya. 

Sebagai contoh, secara aturan adat Negeri melarang penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom ikan) dan racun (potasium sianida), memberi batasan pengambilan pasir dan batu di pesisir pantai (batu karang), penebangan pohon mangrove untuk dijadikan bahan bangunan yang selama ini telah dilakukan pada beberapa lokasi tertentu. 

Sebagai alternatif lain, Pemerintah Negeri memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil sumberdaya alam tersebut pada lokasi lain yang jauh dan memiliki dampak relatif kecil terhadap kerusakan sumberdaya alam pesisir dan laut dengan ketentuan jumlah yang diambil sesuai kebutuhan rumah tangga (bukan untuk komersil).

Bentuk pengelolaan sumberdaya alam lainnya dalam sistem "Petuanan" di Maluku dapat terlihat pada proses pembagian ruang (zona) laut yang telah diatur dan ditetapkan oleh Pemerintah Negeri dan disepakti bersama oleh seluruh komponen masyarakat Negeri. 

Pembagian ruang (zona) laut itu mengatur tentang batasan wilayah pemanfaatan budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) yang dapat dilakukan oleh masyarakat umum dalam suatu Negeri dan zona pemanfaatan khusus untuk Pemerintah Negeri yang dikelola oleh perangkat Negeri (Saniri). 

Sistem "Petuanan" yang diterapkan oleh Negeri sebagai wilayah Induk, meliputi beberapa desa dan dusun di sekitarnya dan secara hukum adat dipatuhi bersama. Jika terjadi pelanggaran dalam keputusan adat tersebut maka akan diberikan sanksi sesuai hukum adat yang berlaku dalam Negeri Induk tersebut. 

Bentuk sistem pengelolaan ini memberikan gambaran bahwa bentuk pemanfaatan sumberdaya alam pada kawasan kepulauan dapat berjalan baik dengan menyesuaikan pada kearifan lokal masyarakat dan tetap menjalankan sistem "Petuanan" yang telah berlangsung lama serta menjadi dasar aturan hukum adat yang dipatuhi bersama.

Selain kemajemukan adat istiadat itu, Negeri-Negeri adat di Maluku juga memiliki berbagai macam kesenian (tarian maupun atraksi adat lainnya) yang dapat dijadikan sebagai modal besar untuk mengelola potensi-potensi lainnya dalam prespektif masyarakat pesisir dan kepulauan. 

Contohnya ialah tarian selamat datang (Sawat, Kalua, Rabana dan Cakalele) serta perlombaan perahu dayung cepat (Perahu Manggurebe) yang sebelumnya kesenian ini pernah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan kemudian sempat hilang, tetapi sekarang ini di angkat kembali oleh beberapa pemerintah Negeri di Maluku sebagai salah satu potensi wisata di wilayahnya.

 Potensi lainnya ialah beberapa gugusan kepulauan di Maluku merupakan pulau tidak berpenduduk dan di kelilingi oleh terumbu karang yang ekstotik serta topografi dasar laut yang unik dengan biota perairan maupun daratan pesisirnya yang menarik. Lokasi ini sering dijadikan destinasi wisata bahari bagi para wisatawan baik wisatawan nusantara, nusantara potensial maupun mancanegera (imfb).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun