Lukman yang memiliki nama lengkap bernama Lukman Nul Hakim lahir di kota Tegal, Jawa Tengah pada 26 februari 1920. Lukman yang sebelum dikenal sebagai kader Partai Komunis Indonesia, ia terlahir dan tumbuh kembang dari keluarga muslim yang sangat taat. Ayahnya yang mempunyai peranan penting dalam agama Islam sebagai kiai (Penyebutan kiai yakni gelar dalam keagamaan bagi suku Jawa, untuk tokoh agama yang memimpin sebuah Pondok Pesantren.) selain itu, ayahnya juga aktif di Sarekat Rakjat (pecahan organiasi Sarekat Islam).
Ayahnya yang lebih menganut ideologi Komunis, maka dari itu Sarekat Rakjat paling mendekati ideologi yang ia pilih. Pada 1926 pemberontakan Sarekat Rakjat terhadap kolonial Pemerintahan Belanda, yang kala itu sedang menduduki di tanah hamparan Hindia Belanda. Atas pemberontakannya yang dinilai membahayakan, ayah Lukman yakni Kiai Muchlas diasingkan di Kamp Boven Digoel, Papua pada 1927. Disitulah Lukman bertumbuh bersama tahanan politik dan mengenal Komunisme.
Pada 1934 di Kamp Boven Digoel, Papua kedatangan interniran baru yakni Mohamnmad Hatta dan Sutan Sjahrir yang juga sebagai pemberontak perjuangan kemerdekaan. Setelah beberapa hari, Hatta dan Sjahrir cukup dekat dan akrab dengan Kiai Muchlas dan kelurganya. Hatta yang terpelajar nampaknya tak lupa membawa berkotak-kotak buku hingga dimana Hatta menjadi guru bagi Lukman. Keterkaitan kedekatan Hatta dan Sjahrir dengan Lukman masa remaja, nampaknya tertulis di berita Harian Rakjat bahwasanya "Lukman banyak mendapat didikan langsung dari Hatta dan Sjahrir, tetapi perkenalannya dari dekat dengan dua orang pemimpin ini justru membawa Lukman, pada kesimpulan bahwa dia harus menempuh jalan yang lain daripada yang mereka tempuh". Berkat kekagumannya terhadap Hatta dari sosok ayah Lukman Yakni Kiai Muchlas, beliau menyelipkan nama anaknya didepan dengan sebutan Mohammad Hatta Lukman Nul Hakim atau yang kerap dikenal M.H. Lukman.
Jalan "Moralitas Komunisme" bagi M.H. Lukman
Moral M.H. Lukman di uji kala ia menjadi anggota parlemen dengan jabatan tertinggi sebagai wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) periode 1960-1965. Jabatan mentereng kala itu, membuka selebar-lebarnya seluruh pintu kemewahan bagi M.H. Lukman beserta keluarganya yang sepanjang hidupnya dilanda derita diatas derita.
1. Derita yang dimaksud, ialah menapaki kesederhanaan bagi M.H. Lukman. Bagaimana tidak mungkin, derita sepanjang hari M.H. Lukman bertinggal disebuah rumah kontrakan di Gang Buntu, Pasar Genjing, Jakarta yang rumahnya teramat sempit dan kumuh, dimana rumah kontrakan itu hanya mampu menampung dua kamar tidur yakni M.H. Lukman dan istrinya beserta lima anaknya tidur di satu kamar, sementara kamar yang lain ditempati adik iparnya, betapa sungguh sesaknya suasana tempat tidur kontrakan M.H. Lukman kala itu dan belum juga kedatangan ayahnya Kiai Muchlas dari Tegal. Belum lagi suasana rumahnya yang beralaskan semen dengan menimba air dari sumur.
Pada 1955 M.H. Lukman mulai pindah rumah kontrakan ke Jl. Percetakan Negara V beserta keluarganya. Suasana yang nampak lebih baik daripada rumah kontrakan sebelumnya yang sudah mulai berubin dan menggunakan air ledeng. Barulah M.H. Lukman mulai pindah kembali ke Kemayoran, Jakarta yang memiliki ruang kerja dan perpustakaan kecil. Namun ketambahan anggota keluarga adik ipar M.H. Lukman, tetap saja suasana di rumah itu sesak.
2. Setelah menapaki kesederhanaan tempat tinggal M.H. Lukman, nampaknya urusan makan juga menjadi hal yang biasa bagi M.H. Lukman terutama makanan sederhana, bahkan memakan daging ayam saja nampaknya sangat mewah bagi dirinya dan keluarga, karena sangat tidak terpikirkan dengan nominal gaji yang beliau dapat untuk memakan daging ayam, untuk bisa makan dan minum saja rasanya sudah sangat bersyukur. Pernah kala itu sang istri dari M.H. Lukman mengambil celana secara diam-diam yang biasa M.H. Lukman pakai, yang dengan begitu celana drill bisa ia tukar dengan daging ayam.
"Dimana celana panjangku?" tanya M.H. Lukman kepada istrinya.
"Celana panjang yang mana?" istrinya balik nanya.