Mohon tunggu...
Roman Krama Wijaya
Roman Krama Wijaya Mohon Tunggu... kuli panggul -

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Dirun dan Sang Senator

19 September 2016   16:44 Diperbarui: 19 September 2016   17:02 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(tucsoncitizen.com)

Sejak musim cengkih, Dirun memang rajin bangun lebih pagi untuk memungut cengkih di kebun milik kakeknya di belakang rumah.

Dirun girang bukan main sambil berlari-larian pulang ke rumah, setelah mengantongi uang hasil keringatnya. Dia baru saja menjual cengkih kering yang ia kumpulkan ke warung tengkulak.

"Horeee... cengkehku laku Rp 15 ribu, bu," ujar bocah delapan tahun itu, sambil pamer duit hasil menjual cengkih kering 0,5 kilogram kepada sang ibu.

Sejak musim cengkih, Dirun memang rajin bangun lebih pagi untuk memungut cengkih di kebun milik kakeknya di belakang rumah. Setiap hari rata-rata dia mengumpulkan hampir satu ons.

Setelah sebulan, Dirun akhirnya berhasil mengumpulkan cengkih basah sekitar dua kilogram. Namun setelah dijemur, berat timbangan cengkihnya menyusut menjadi 0,5 kilogram.

"Mah, nanti kalau uangku sudah banyak aku mau beli ayam jago," celetuk Dirun, sambil memasukan uangnya ke celengan bambu.

"Iya, nanti juga Dirun bisa beli ayam jago, kalau rajin menabung. Ibu doakan semoga uangnya cepet terkumpul," ujar sang ibu.

Namun belum genap dua bulan Dirun menabung, kebun cengkih milik kakeknya terbakar. Kebakaran disebut-sebut lantaran ada pembakaran lahan untuk perkebunan sawit.

Dirun pun kini kehilangan sumber penghasilan. Dia tak bisa lagi menabung dari hasil menjual cengkih. Tapi dia berusaha mencari penghasilan lain, dengan memancing ikan di sungai.

Hasil tangkapan ikan dia jual ke pasar, tapi Dirun kesulitan menangkap ikan. Karena sungai pun kini terus mengering, imbas penggundulan hutan.

"Dirun sekarang harus bersabar ya, Allah sedang menguji semangat kamu. Makanya kamu harus rajin berdoa dan tetap menabung supaya bisa beli ayam jago nanti," ujar sang ibu menasihati bocah yatim itu, sambil duduk di balai rumah.

"Apapun yang Allah berikan saat ini kita harus bersyukur," tegas sang ibu seraya mengelus kepala Dirun.

Dari penggalan kisah Dirun tersebut kita dapat mengambil pelajaran, bahwa masih banyak saudara kita yang hidup dengan keterbatasan, tapi mereka tetap bisa bersyukur.

Haus Kekayaan

Beberapa hari lalu, persisnya 16 September 2016, masyarakat digegerkan dengan penangkapan Ketua DPD Irman Gusman, dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya.

Penangkapan Irman disebut-sebut lantaran menerima dugaan suap senilai Rp 100 juta dari seorang pengusaha asal Sumatera Barat. KPK menyita barang bukti itu dari tangan Irman, setelah tiga orang tamu itu meninggalkan rumah dinasnya.

Penangkapan Irman merupakan bagian dari deretan pejabat lembaga tinggi negara yang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, setelah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, Sekjen Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.

Namun, yang lebih mengejutkan ketika kita melihat kekayaan Irman yang ternyata mencapai Rp 31,9 miliar. Itu belum termasuk harta dalam bentuk mata uang asing, yakni 40.995 dolar AS. Kekayaan itu terdiri dari harta bergerak dan tidak bergerak.

Uang suap senilai seratus juta rupiah itu sepertinnya tidak ada apa-apanya bagi kekayaan Irman. Lantas yang menjadi pertanyaan, kenapa putra asal Sumatera Barat itu bisa menerima suap 'recehan' itu?

Apakah itu baru uang tanda jadi, atau benar seperti yang disebutkan pengacaranya bahwa Irman tidak tahu isi bingkisan dari pengusaha itu? Tentu kita tidak bisa berandai-andai dalam perkara hukum. Biarlah KPK yang menuntaskan kasus ini.

Tapi terlepas benar atau salahnya sang senator menerima suap, kita bisa mengambil pelajaran bahwa seberapa pun harta yang kita miliki tak akan ada cukupnya. Manusia selalu haus kekayaan dan bergelimang harta.

Sudah punya sepeda motor ingin beli mobil. Sudah punya mobil ingin beli rumah mewah. Sudah punya rumah mewah ingin beli kapal pesiar. Harta kekayaan sudah punya, ingin punya istri lagi. Ketika harta dan wanita sudah punya, manusia akan mengejar tahta atau kekuasaan.

Mata hati manusia akan buta ketika tiga hal itu menggoda. Mereka akan terjebak di lubang yang dalam jika tergoda ketiga hal itu. Manusia akan tersadar dan berhenti mengejar tiga hal itu, ketika sudah berada dalam liang lahat.

Gaya Hidup

Semakin konsumtif atau tinggi gaya hidup seseorang, maka kebutuhan akan semakin tinggi pula. Ketika manusia tak bisa memenuhi kebutuhannya, tak jarang dari mereka akan mencari jalan pintas karena gelap mata.

Di tengah gempuran produk-produk asing, tak dipungkiri pula munculnya gaya hidup konsumtif--meski pemerintah berupaya mendobrak dengan ekonomi kreatif. Minimarket menjamur hingga pelosok desa. Begitu juga pusat perbelanjaan yang hadir memadati sudut kota-kota besar.

Fenomena baru pun bermunculan. Masyarakat kini lebih suka belanja di mal yang nyaman ketimbang di pasar tradisional yang panas dan bau. Anak-anak muda sekarang juga lebih bangga nongkrong di kafe-kafe berkelas, ketimbang membantu orangtua bekerja.

Masyarakat akan bangga memakai pakaian bermerek dari asing, ketimbang pakaian sederhana hasil olahan negeri sendiri. Bahkan, murid sekolah dasar memiliki gadget seharga belasan juta rupiah bukan hal aneh sekarang ini.

Memang masyarakat tidak salah dengan kemajuan pembangunan dan kecanggihan teknologi yang kian pesat. Melalui ponsel pintar di tangan, masyarakat kini bisa memilih barang sesuka hati. Tinggal klik, barang pesanan sudah sampai ke tujuan.

Maka itulah yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah menanamkan kesederhanaan dan gaya hidup produktif, bukan konsumtif. Inilah pekerjaan rumah bagi para orangtua, guru, dosen, dan tenaga pengajar lainnya. Terutama pemerintah dan pihak terkait lainnya.

Didiklah anak-anak dengan kesederhanaan dan produktif sedini mungkin, agar kelak mereka tumbuh menjadi manusia yang sederhana dan produktif, serta lebih mandiri. Tidak lupa pula pendidikan akhlak dan moral yang memuat nilai-nilai kejujuran.

Mudah-mudahan dengan menanamkan gaya hidup sederhana dan produktif, serta nilai-nilai kejujuran, anak-anak muda tumbuh menjadi manusia yang mandiri dan berpegang pada nilai kejujuran, serta jauh dari gaya hidup materialistis. Alhasil, kita bisa mengurangi korupsi di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun