Mohon tunggu...
Aulia Harridhi Khilal
Aulia Harridhi Khilal Mohon Tunggu... -

mahasiswa psikologi universitas islam negeri maulana malik ibrahim malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem 3F (Freeze, Flight, and Fight)

29 Mei 2015   07:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu cara klasik otak limbic untuk memastikan kelangsungan hidup kita sebagai spesies adalah dengan cara memproduksi sejumlah pertanda non verbal dengan meregulasi perilaku kita saat menemui bahaya. untuk memastikan kelangsungan hidup kita, respons otak terhadap tekanan atau ancaman sangatlah elegan yakni ada tiga bentuk: membeku (freeze), menghindar (flight), dan melawan (fight). otak limbik hewan bekerja dengan sistem 3F tesebut, begitu pula manusia. prinsip 3F ini telah terintegrasi dalam sistem syaraf dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup manusia sebagai spesies.

Saya yakin, anda telah mengenal ungkapan respon "fight-or-flight" (lawan atau pergi). ungkapan ini kerap digunakan untuk menjelaskan cara kita merespon ancaman atau situasi yang berbahaya. sayangnya, ungkapan ini tidak sepenuhnya sesuai! (ketika anda melihat suatu film yang bergenre action, lalu ada kejadian dimana sang protagonis terdesak dalam situasi yang berbahaya maka mereka sering menggunakan istilah ini) dalam kenyataanya, hewan, termasuk manusia bereaksi terhadap bahaya yang terjadi dengan urutan sebagai berikut: membeku (freeze), menghindar (flight), lawan (fight). Apabila reaksinya hanya "lawan atau pergi", maka sebagian besar dari kita akan memar-memar, terluka, dan kelelahan. karena kita telah memiliki dan menggunakan proses ini untuk mengatasi stress serta bahaya dan karena reaksi yang dihasilkan adalah perilaku nonverbal yang membantu kita memahami pikiran, perasaan, serta niat seseorang, maka tak ada salahnya bila kita mempelajari tiap respon dengan agak terperinci.

Membeku (Freeze)

Strategi untuk membeku, yang merupakan tahap pertama dalam sistem pertahanan otak limbik, digunakan saat menghadapi pemangsa (bagi hewan) atau bahaya lainnya dikarenakan suatu bentuk respon verbal atau umumnya sebuah gerakan dapat menimbulkan perhatian. Dengan diam membeku saat mendeteksi ancaman, otak limbik telah memberikan respon paling efektif untuk memastikan kelangsungan hidup kita (atau spesies hewan lainnya). Sebagian besar hewan, terutama para pemangsa bereaksi dan tertarik pada gerakan oleh karena itu diam membeku saat menghadapi bahaya atau ancaman adalah respon yang sangat sesuai.

Makhluk pemakan daging, terutama hewan pemangsa besar yang merupakan jenis pemangsa besar dan merupakan jenis pemangsa utama di jama purba, selalu mencari mangsa yang bergerak. mereka bertindak berdasarkan mekanisme "kejar-tangkap-gigit". Banyak hewan yang bereaksi dengan diam membeku, namun ada juga yang pura-pura tewas saat berhadapan dengan para pemangsa, ini adalah strategi yang digunakan oleh tupai. Dengan demikian, respons membeku telah diteruskan dari jaman manusia primitif hingga jaman manusia moderen dan bertahan hingga saat ini sebagai lapis pertama pertahanan untuk menghadapi ancaman atau bahaya.

Salah satu contoh yang nyata mengenai gerak respon ini adalah ketika kita semua sedang melihat pertunjukkan sirkus, dimana dalam pertunjukkan tersebut ada yang menampilkan harimau ataupun singa. saat singa atau harimau masuk dan berputar di arena pertunjukkan, para penonton yang duduk di baris pertama tidak akan melakukan gerakan yang tidak perlu, mereka akan duduk diam (bahkan sebagian ada yang menahan napas ketika hewan tersebut lewat di depannya). padahal para penonton tersebut tidak diberi peringatan untuk membeku sebelumnya, betul tidak?. hanya saja para penonton tersebut melakukannya karena otak limbik telah mempersiapkan manusia untuk bertindak dengan cara tertentu saat ada bahaya.

Di lingkungan moderen, respon membeku dilakukan dengan lebih halus dalam kehidupan sehari-hari. Anda dapat melihatnya saat seseorang ketahuan berbohong atau mencuri, atau saat mereka mengatakan sesuatu yang tidak relevan. Saat seseorang merasa terancam, mereka bereaksi seperti yang dilakukan para leluhur kita jutaan tahun lalu, mereka membeku. tak hanya manusia yang belajar untuk membeku saat ada bahaya, namun orang-orang disekitar kita belajar mencontoh perilaku kita dan turut membeku, bahkan tanpa melihat keberadaan bahaya secara langsung. Aksi membeku kadang disebut juga dengan efek "Deer in the Headlight", Saat terjebak dalam kondisi yang berbahaya, kita langsung membeku sebelum melakukan aksi apapun. Dalam Kehidupan sehari-hari, respon ini dimanifestasikan dalam peristiwa sederhana, seperti saat seseorang sedang berjalan di trotoar lalu tiba-tiba berhenti, memegang keningnya, sebelum berbalik pulang dan mematikan kompor.

"Kita perlu diam sekejap agar otak kita bisa melakukan penilaian cepat, apakah ada bahaya yang datang ataukah ada sesuatu yang baru kita ingat. Yang mana pun dari hal itu, kita harus seiap menghadapi kemungkinan bahaya." (Navarro, 2007, hal 141-163).

Menghindar (Flight)

Salah satu tujuan utam adari menghindar adalah menjauh dari deteksi pemangsa di situasi yang berbahaya. Tujuan kedua, untuk memberi kesempatan bagi subjek yang terancam untuk menganalisis situasi dan menentukan aksi terbaik yang harus dilakukan. Kalau membeku tidak cukup untuk menghilangkan bahaya (misalnya, sumber bahaya terlalu dekat), respon limbik kedua adalah dengan menghindari bahaya atau pergi menjauh. Tentunya, tujuan respon ini adalah menyelamatkan diri. Berlari pun bisa menjadi pilihan yang berguna sebagai mekanisme untuk menyelamatkan nyawa. Selama berabad-abad otak kita mengarahkan tubuh untuk mengadopsi taktik ini guna menyelamatkan diri dari bahaya.

Namun di dunia moderen, kita hidup di kota dan bukan di alam liar, sehingga susah untuk melarikan diri dari ancaman. Maka dari itu kita mengadopsi respon "pergi" agar sesuai dengan kebutuhan modern. Perilakunya nampak jelas, namun ditujukan untuk kebutuhan yang sama yaitu memisahkan atau menjauhkan diri kita dari keberadaan individu atau benda yang tidak kita inginkan. Apabila anda mengingat interaksi sosial yang terjadi di sekitar anda (maupun yang anda jalani), anda mungkin ingat saat-saat dimana anda menjauhkan diri dari perhatian atau orang yang tidak diinginkan. Seperti halnya dengan anak yang berusaha menjauhi makanan yang tidak disukainya, seperti mengalihkan muka ke kiri atau kanan menjauhi sendok yang sedang anda suapkan ke mulut anak. Tindakan "memblokir" dilakukan dengan cara menutup mata, menggosok kelopak mata atau menutup wajah dengant tangan.

Seseorang juga dapat menjauhkan dirinya dari orang yang tidak di inginkan (orang yang dimaksud disini  bersifat subjektif tergantung dari individu masing-masing) dengan cara bersandar menjauhi orang tersebut, menaruh barang (dompet) di paha, atau mengarahkan kakinya ke pintu keluar terdekat. Semua perilaku ini diatur oleh otak limbik dan mengindikasikan bahwa seseorang ingin menjauhkan diri dari sesuatu, seseorang, atau bahaya yang ada pada lingkungannya.

Melawan (Fight)

Respon Melawan adalah taktik terakhir otak limbik untuk bertahan hidup dengan cara menyerang. Saat seseorang menghadapi bahya dan tak dapat menghindari deteksi dengan cara membeku atau menyelamatkan diri dengan cara berlari (pergi) menjauh, satu-satunya alternatif adalah bertarung. Dalam evolusi kita sebagai spesies, kita dan mamalia lainnya, membangun strategi untuk mengubah rasa takut menjadi perlawanan untuk mengalahkan si penyerang (Panksepp, 1998, hal. 208). Karena upaya kita untuk mengungkapkan kemarahan kadang menjadi tidak praktis ataupun legal di dunia modern, maka otak limbik membangun strategi lain, selain respon perlawanan yang primitif.

Salah satu bentuk agresi di jaman moderen ini adalah argumen. Meskipun kata argumen awalnya berkaitan dengan debat dan diskusi, kata ini kemudian digunakan untuk menjelaskan pertengkaran verbal. Argumen yang memanas pada dasarnya adalah "perkelahian" tanpa kontak fisik. Hinaan, kata-kata yang menghakimi, tuduhan, kesangsian terhadap suatu integritas, provokasi, dan kata-kata sinis adalah persamaan perkelahian di jaman moderen, karena itu semua adalah bentuk agresi secara verbal. Apabila anda memikirkannya, perkara hukum dapat disamakan sebagai jenis hukuman sosial di jaman moderen atau agresi dimana kedua belah pihak yang bertikai saling mengungkapkan pandangan masing-masing. Walaupun saat ini manusia semakin jarang terlibat dalam perkelahian fisik, perkelahian masih menjadi senjata sistem limbik kita. Meskipun beberapa orang memiliki kecenderungan untuk lebih banyak terlibat dalam kejahatan dari yang lain, respon limbik kita muncul dalam berbagai bentuk selain menonjok, menendang, dan menggigit. Anda dapat menjadi agresif tanpa terlibat kontak fisik, contohnya, dengan menggunakan postur atau sorot mata anda, dengan membusungkan dada, atau dengan mengganggu "ruang" orang lain. Ancaman pada ruang personal mendorong respon limbik pada level individu.

Umumnya, respon ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada saat awal pengambilan keputusan, karena respon "perlawanan" adalah pilihan terakhir saat menghadapi ancaman, maka gunakan hanya setelah respon membeku atau menghindar tak berhasil. Karena pada dasarnya (pada jaman sekarang)  kebanyakan hal yang dapat menimbulkan bahaya adalah dari manusia itu sendiri. maka dari itu tindakan agresif dari respon "perlawanan" baik itu secara verbal maupun fisik sangat tidak dianjurkan. terlepas dari alasan legal ataupun fisik ketika melakukan agresi dapat menimbulkan gangguan emosi yang membuat kita susah untuk berkonsentrasi dan berpikir jernih mengenai situasi yang terjadi, pada akhirnya solusi yang ditempuh tidak akan baik atau memuaskan.

Dari ketiga respon tadi kita telah mengetahui bagaimana mekanisme dan pengertiannya bahkan hingga contoh-contoh kecil dari perwujudan respon tersebut. semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Sumber:

Navarro, J., Karlins, M. (2008). What Everybody is Saying.

Navarro, J. (2014). Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh. (edisi pertama, hlm. 40-53). CHANGE, Jakarta Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun