Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengapa Saya Lebih Memilih Stasiun Maguwo untuk Naik dan Turun KRL Jogja-Solo?

5 Agustus 2024   08:00 Diperbarui: 6 Agustus 2024   06:23 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KRL Jogja-Solo tiba di Stasiun Maguwo. -(Dokumentasi Pribadi)

Naik KRL Jogja-Solo atau kini lebih sering disebut sebagai KRL Jogja-Palur adalah sebuah pengalaman yang kini dicari oleh wisatawan saat berlibur ke Jogja atau Solo.

Tidak hanya menikmati sensasi untuk berkeliling dua kota tersebut, tetapi pengalaman mendapatkan perjalanan berbeda akan bisa dirasakan. Salah satunya adalah melihat pemandangan sawah, gunung, atau lainnya selama perjalanan. Tak heran, pada tiap musim liburan, okupansi KRL yang diresmikan sejak 2021 ini selalu penuh.

Biasanya, penumpang KRL ini memulai perjalanan dari Stasiun Yogyakarta Tugu. Alasannya, stasiun ini berada di pusat kota, dekat dengan Maioboro, dan jika naik dari sana berkesempatan untuk mendapatkan tempat duduk. Berfoto di depan Stasiun Yogyakarta Tugu juga seakan menjadi ritual wajib sebelum naik KRL sebagai kenang-kenangan.

Namun, kegiatan naik dan turun dari stasiun tersebut mulai saya tinggalkan perlahan jika sedang naik KRL Jogja-Solo. Kini, saya mulai beralih naik dan turun dari Stasiun Maguwo yang berada di dekat Bandara Adisucipto. Stasiun ini merupakan stasiun kelas II dan menjadi stasiun bandara pertama yang dikelola oleh PT KAI selain Stasiun Bandara Soekarno-Hatta.

Walau sering dikeluhkan oleh teman saya yang lebih senang naik dan turun dari Stasiun Yogyakarta Tugu, saya memilih tetap melakukan perjalanan KRL dari stasiun ini. Lalu, mengapa saya memilih stasiun ini padahal jaraknya cukup jauh dari pusat kota?

Pertama, akses menuju Halte Trans Jogja yang dekat

Dibandingkan Stasiun Yogyakarta Tugu, jarak antara pintu keluar stasiun dengan Halte Trans Jogja atau Teman Bus Jogja di Stasiun Maguwo jauh lebih dekat. Sebagai perbandingan, halte terdekat dari pintu keluar Stasiun Yogyakarta Pasar Kembang adalah Halte Malioboro 1. 

Jarak dari pintu keluar stasiun ke halte sekitar 750 meter yang bisa ditempuh dengan jalan kaki selama sekitar 10 menit. Jika keluar dari pintu keluar utama di Jalan Mangkubumi, maka halte terdekat adalah Halte Mangkubumi 2 yang jaraknya sekitar 500 meter.

Halte Trans Jogja yang lebih dekat. - (Dokumentasi Pribadi)
Halte Trans Jogja yang lebih dekat. - (Dokumentasi Pribadi)

Sedangkan, jarak dari pintu keluar Stasiun Maguwo ke Halte Trans Jogja Bandara Adisucipto kurang dari 200 meteran saja. Bahkan, dari pintu keluar Stasiun Maguwo sudah tampak bus Trans Jogja dan Teman Bus Jogja yang berjejer. Alhasil, saya lebih mudah dan nyaman untuk menuju halte BRT tersebut dari Stasiun Maguwo terlebih saat membawa barang dengan jumlah banyak. Untuk rute kedua BRT tersebut di Halte Malioboro maupun Bandara Adisucipto juga hampir sama dan lengkap.

Kedua, penumpang yang naik dan turun tidak terlalu banyak

Saat naik KRL jogja-Solo, hal yang paling saya hindari adalah saat sesak oleh penumpang. Sebagian besar penumpang memang naik dari Stasiun Yogyakarta. Meski naik dari stasiun tersebut yang merupakan stasiun terminus, saya tetap tak mendapatkan tempat duduk karena lebih memilih berdiri. Makanya, opsi nyaman saat naik adalah kunci.

Beberapa kali kaki saya tergencet oleh penumpang saat naik KRL dari Stasiun Yogyakarta. Terutama, saat jam berangkat atau pulang kerja. Badan ini rasanya susah untuk bergerak maju dan nyaman untuk naik. Apalagi, stasiun tersebut juga merupakan stasiun keberangkatan kereta api jarak jauh (KAJJ). Sudah sesak oleh penumpang KRL sesak pula oleh penumpang KAJJ dan Prameks. Maksud hati ingin menikmati pengalaman naik KRL akhirnya berujung badan sakit semua.

Penumpang di Stasiun Yogyakarta yang sesak. - (Dokumentasi Pribadi)
Penumpang di Stasiun Yogyakarta yang sesak. - (Dokumentasi Pribadi)

Begitu pun saat turun. Antrean untuk tap out kartu uang elektronik atau pemindaian kode QR di aplikasi serasa tiada ujungnya. Keinginan untuk segera pergi ke kamar mandi atau tempat lain harus tertahan lebih dahulu.

Penumpang di Stasiun Maguwo yang lebih sepi- (Dokumentasi Pribadi)
Penumpang di Stasiun Maguwo yang lebih sepi- (Dokumentasi Pribadi)

Berbeda halnya saat turun di Stasiun Maguwo. Tak banyak penumpang yang turun dan tak ada penumpang KAJJ yang juga turun. Stasiun ini memang khusus melayani penumpang KRL. Saya tak perlu antre untuk melakukan tap in atau tap out pada mesin pemindai.

Ketiga, peron yang lebih lega

Lantaran hanya melayani keberangkatan dan kedatangan KRL Jogja-Solo, maka tak banyak bangunan yang berdiri di Stasiun Maguwo. Hanya deretan kursi yang jumlahnya juga cukup banyak untuk menunggu kereta tiba. Colokan listrik pun juga tersedia dengan banyak sehingga saya bisa mengisi daya ponsel dengan lebih leluasa.

Peron yang lebih lega. - (Dokumentasi Pribadi)
Peron yang lebih lega. - (Dokumentasi Pribadi)

Kondisi peron yang lebih lega juga membuat saya bisa mengabadikan momen KAJJ yang melintas langsung di stasiun ini. Terlebih, kereta api kelas eksekutif Argo yang dikenal sebagai kereta dengan kecepatan tingkat tinggi. 

Saya juga bisa mengabadikan momen kereta BBM dan kereta barang yang juga tengah melintas. Bahkan, dari stasiun ini, saya juga bisa melihat kereta sudah mulai tiba dari perlintasan kereta atau JPL 340. JPL ini berada di sisi timur stasiun.

Kereta yang akan melintas atau singgah di stasiun ini akan bisa terlihat dengan jelas. Beberapa railfans menjadikan PJL ini spot andalan untuk hunting kereta. Dari stasiun, keberadaan mereka juga bisa terlihat dengan cukup jelas.

Keempat, suara announcer yang lebih jelas

Alasan lain yang membuat saya lebih memilih Stasiun Maguwo adalah suara pengumuman atau announcer yang lebih jelas. Stasiun ini tidak memutar lagu khas daerah seperti di Stasiun Yogyakarta. 

Stasiun kelas besar di Pulau Jawa memang sering memutar lagu khas daerah sebagai penyambutan penumpang. Walau menyenangkan dan membuat semangat penumpang, tetapi adakalanya suara tersebut membuat suara pengumuman tidak terdengar jelas.


Lantaran Stasiun Maguwo adalah stasiun kelas II dan bukan stasiun kelas besar, maka suara tersebut tidak diputar. Saya jadi tahu kereta apa yang akan singgah atau melintas langsung. Berbeda halnya saat saya naik KRL dari Stasiun Yogyakarta yang sering mengira-ira isi dari pengumuman yang diberikan oleh petugas stasiun. Mungkin ada baiknya pengelola stasiun tidak memutar musik dahulu saat ada pengumuman diberikan dan baru melakukannya jika pengumuman telah selesai diperdengarkan.

Terakhir, bisa menikmati kesunyian Bandara Adisucipto

Sejak dipindahkannya keberangkatan dan kedatangan pesawat terbang ke bandara YIA, praktis tak banyak pesawat yang singgah di bandara ini selain pesawat militer. Alhasil, ruang kedatangan dan keberangkatan bandara ini sangat sepi. Nah sepinya bandara ini sebenarnya bisa dijadikan wisata dadakan.

Kita bisa berfoto di eksalator yang tak terpakai, bekas minimarket, atau troli yang berjejer tanpa ada yang menggunakannya. Yah bisa dikatakan sebagai ikon foto di stasiun yang anti mainstream. Dari barang-barang terbengkalai ini, ada pelajaran berharga bahwa bandara di tengah kota memang memudahkan para penumpangnya. Namun, jika bandara tersebut sudah terlalu sesak dan kapasitasnya terbatas, maka sudah saatnya dipindah ke tempat lain.

Pintu masuk bandara yang sepi. - (Dokumentasi Pribadi)
Pintu masuk bandara yang sepi. - (Dokumentasi Pribadi)

Tidak hanya itu, keberadaan Stasiun Maguwo dan Halte Trans Jogja sebenarnya digunakan untuk menunjang penumpang pesawat yang akan menuju tempat lain di Jogja. Upaya untuk mengintegrasikan tiga moda tranportasi adalah upaya yang patut diapresiasi meski kini malah bandaranya yang sepi. Walau demikian, masih adanya penumpang yang naik dan turun di Stasiun Maguwo adalah bukti bahwa jika moda transportasi telah terintegrasi, maka penumpang masih akan tetap setia untuk menggunakannya.

Itulah beberapa alasan mengapa saya lebih memilih Stasiun Maguwo sebagai stasiun anadalan untuk naik dan turun KRL. Meski demikian, stasiun ini memiliki kelemahan yakni tidak mempunyai atap pada jalur keretanya sehingga saat berpindah peron bisa kepanasan atau kehujanan. Petugas stasiun jumlahnya juga lebih sedikit sehingga cukup sulit jika meminta bantuan saat ada kendala yang dihadapi.

Saya tidak memilih Stasiun Lempuyangan karena rute Trans Jogja di sana terbatas dan headway-nya sangat lama. Semua memang kembali kepada pilihan masing-masing. Asal saat naik KRL bisa nyaman dan mendapatkan pengalaman serta tentunya keselamatan adalah kunci utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun