Kedua, penumpang yang naik dan turun tidak terlalu banyak
Saat naik KRL jogja-Solo, hal yang paling saya hindari adalah saat sesak oleh penumpang. Sebagian besar penumpang memang naik dari Stasiun Yogyakarta. Meski naik dari stasiun tersebut yang merupakan stasiun terminus, saya tetap tak mendapatkan tempat duduk karena lebih memilih berdiri. Makanya, opsi nyaman saat naik adalah kunci.
Beberapa kali kaki saya tergencet oleh penumpang saat naik KRL dari Stasiun Yogyakarta. Terutama, saat jam berangkat atau pulang kerja. Badan ini rasanya susah untuk bergerak maju dan nyaman untuk naik. Apalagi, stasiun tersebut juga merupakan stasiun keberangkatan kereta api jarak jauh (KAJJ). Sudah sesak oleh penumpang KRL sesak pula oleh penumpang KAJJ dan Prameks. Maksud hati ingin menikmati pengalaman naik KRL akhirnya berujung badan sakit semua.
Begitu pun saat turun. Antrean untuk tap out kartu uang elektronik atau pemindaian kode QR di aplikasi serasa tiada ujungnya. Keinginan untuk segera pergi ke kamar mandi atau tempat lain harus tertahan lebih dahulu.
Berbeda halnya saat turun di Stasiun Maguwo. Tak banyak penumpang yang turun dan tak ada penumpang KAJJ yang juga turun. Stasiun ini memang khusus melayani penumpang KRL. Saya tak perlu antre untuk melakukan tap in atau tap out pada mesin pemindai.
Ketiga, peron yang lebih lega
Lantaran hanya melayani keberangkatan dan kedatangan KRL Jogja-Solo, maka tak banyak bangunan yang berdiri di Stasiun Maguwo. Hanya deretan kursi yang jumlahnya juga cukup banyak untuk menunggu kereta tiba. Colokan listrik pun juga tersedia dengan banyak sehingga saya bisa mengisi daya ponsel dengan lebih leluasa.
Kondisi peron yang lebih lega juga membuat saya bisa mengabadikan momen KAJJ yang melintas langsung di stasiun ini. Terlebih, kereta api kelas eksekutif Argo yang dikenal sebagai kereta dengan kecepatan tingkat tinggi.Â