Penumpang yang akan naik Trans Semanggi harus berjalan kaki ke Halte Basra yang berada di sebelah utara dari halte tersebut. Nah, jika tidak ada informasi pada halte, maka akan ada penumpang yang mengira halte tersebut bisa digunakan untuk naik Trans Semanggi.
Kedua, tidak semua penumpang bisa mengakses aplikasi pelacakan pada ponsel.Â
Biasanya, para lansia tidak piawai dalam menggunakan berbagai aplikasi pelacakan. Mereka sering mengandalkan informasi pada halte untuk mengetahui posisi mereka dan tujuan mereka.Â
Penumpang yang bukan lansia pun juga masih membaca informasi pada halte karena beberapa alasan tertentu. Semisal, malas membuka ponsel, takut ponsel kena jambret karena di tempat ramai, hingga tentunya baterai ponsel yang menipis.
Ketiga, informasi rute pada halte dibuat dalam bentuk sederhana sehingga lebih mudah dipahami.Â
Berbeda dengan aplikasi, informasi rute dibuat tanpa memerhatikan pola peta integrasi atau sesuai dengan Google map. Penumpang lebih mudah membaca peta dengan visualisasi garis lurus.Â
Mereka juga lebih mudah memahami di mana mereka harus transit yang sering digambarkan dengan tanda bulatan tebal pada halte transit. Saya sendiri juga sering terbantu saat membaca inormasi dengan model seperti ini karena lebih praktis.
Keempat, informasi pada halte tidak sekadar rute dan posisi bus.Â
Biasanya, informasi pada halte juga memuat tarif BRT, cara pembayaran, lokasi wisata terdekat, dan aturan lainnya. Informasi ini tidak ada pada aplikasi pelacakan BRT. Bahkan, pada beberapa titik, ada informasi mengenai nomor telepon penting jika ada saran atau laporan saat naik BRT.