Night at the Museum juga kini menjadi tren museum date bagi pasangan yang akan bertemu atau berkencan. Terlebih, jika tempat-tempat kencan seperti mall, kafe, atau taman sudah dirasa membosankan. Maka, mengunjungi museum saat malam hari bisa jadi pilihan bagi pasangan.
Selain menikmati suasana malam, kadang ada peristiwa romantis seputar kisah para pahlawan yang harus meninggalkan pasangan dan keluarganya untuk berlaga di medan perang.
Perhalan tapi pasti, Night at the museum mulai dilirik banyak wisatawan. Saat mencoba berkunjung ke Museum Benteng Vredeburg, saya pun takjub dengan antusias wisatawan yang berjalan-jalan ke Malioboro untuk masuk ke area museum. Apalagi, saat itu tiket gratis masih diberlakukan. Orang-orang pun berduyun-duyun untuk masuk ke museum hingga harus antre cukup panjang.
Kondisi serupa juga terjadi di Museum Tugu Pahlawan Surabaya. Biasanya, museum ini cukup sepi pengunjung. Namun, saat Night at the Museum diberlakukan, maka warga berbondong-bondong untuk datang. Padahal, warga harus membayar dua kali, yakni untuk masuk ke area Tugu Pahlawan dan masuk ke area museum.
Fenomena ini menyiratkan sebenarnya meski gratis atau berbayar, museum masih bisa diminati warga. Selama ini, ada persepsi bahwa tiket museum yang murah atau bahkan gratis membuat masyarakat merasa kondisi museum tidak akan menarik dibandingkan tempat lainnya. Nyatanya, gratis atau berbayar pun minat masyarakat mengunjungi museum saat malam hari masih tinggi.
Akan tetapi, minat masyarakat yang tinggi untuk mengunjungi museum pada malam hari tidak dibarengi dengan konsep pembelajaran sejarah yang menarik di dalam museum.
Sebagian besar masyarakat masih bertujuan untuk mencari spot foto dan membuat konten estetik di dalam museum. Bukan untuk belajar sejarah dari benda-benda yang ada dalam museum.