Aturan ini sangat disayangkan karena membuat biaya naik Teman Bus akan menjadi mahal. Bayangkan saja, jika harus transit lebih dari 2 kali, maka berapa nominal rupiah yang harus dibayarkan. Terutama, para pengguna Teman Bus di Surabaya yang tidak terintegrasi dengan Suroboyo Bus. Mereka minimal harus mengeluarkan uang sebesar 11.000 rupiah sekali jalan.
Untuk itulah, jika penumpang harus bayar lagi untuk transit bus, maka bisa dipastikan penumpang akan lebih memilih kendaraan pribadi. Layanan Teman Bus pun tak akan diminati lagi.
Ketiga, belum adanya petugas di dalam bus atau halte transit.
Selama ini, penumpang Teman Bus hanya dibantu oleh sopir bus atau feeder. Tidak ada kondektur layaknya layanan lain semisal Trans Jakarta, Trans Jogja, atau Trans Semarang. Tidak ada petugas pula yang berada di halte transit kecuali di halte terminus dari koridor Teman Bus.
Tidak adanya kondektur atau petugas ini kerap membuat penumpang bingung terutama mengenai rute yang dilewati. Tak hanya itu, kadang sopir tidak bisa mengontrol perilaku penumpang yang seenaknya sendiri melanggar aturan di dalam bus. Walau konsep seperti ini bisa jadi diadopsi dari bus perkotaan di negara lain, tetapi harus diakui penumpang di Indonesia belum siap jika diberlakukan hal demikian.
Keberadaan petugas atau kondektur di dalam bus dan halte transit cukup penting. Nah dengan aturan berbayar semoga saja Teman Bus bisa menyediakan petugas. Apabila nantinya sistem transit tanpa bayar bisa diterapkan, maka petugas bisa disiagakan pada halte-halte transit.
Keempat, halte Teman Bus yang masih belum maksimal.
Pada beberapa kota dan titik tertentu, bangunan halte sudah tampak baik. Salah satunya adalah di Banyumas dengan peta diagram integrasi transportasi yang tertempel rapi.